Issues Politics & Society

Dear WNI yang Masih Diam, UU TNI Bakal Bikin Hidupmu Jadi Lebih Sulit 

UU TNI tak cuma mempersubur bibit kekerasan terhadap perempuan tapi juga mungkin membuatmu sulit baca buku yang dianggap “progresif”.

Avatar
  • March 20, 2025
  • 8 min read
  • 7926 Views
Dear WNI yang Masih Diam, UU TNI Bakal Bikin Hidupmu Jadi Lebih Sulit 

Hari ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Kendati telah diketok palu, gelombang protes lewat tagar #TolakRUUTNI masih menyesaki media sosial. Protes lain juga mewujud dalam petisi yang dimulai oleh (The Indonesian Human Rights Monitor) Imparsial Indonesia. Hingga (19/3) kemarin, petisi itu sudah ditandangani lebih dari 20.00 orang. 

Kehebohan soal penolakan RUU TNI sendiri muncul usai terbongkarnya rapat panitia kerja DPR di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, (15/2) oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Rapat yang membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) dari revisi UU TNI ini digelar tertutup, minim partisipasi publik, dan tidak disiarkan langsung layaknya rapat panitia kerja DPR pada umumnya. 

 

Selain tertutup, pembahasan revisi UU ini juga menimbulkan kontroversi karena dilakukan secara tergesa-gesa. Mengutip BBC Indonesia, UU TNI tidak masuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang ditetapkan pada 19 November 2024.  

Revisi UU TNI baru diusulkan masuk Prolegnas Prioritas sebagai inisiatif pemerintah pasca-dikeluarkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 pada (13/2). Surpres itu disetujui melalui rapat paripurna, (18/2). Sejak saat itu, pembahasan revisi UU TNI gencar dilakukan, melampaui pembahasan RUU lain yang lebih mendesak buat kepentingan rakyat, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU Masyarakat Adat

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers mereka menyatakan, pembahasan tertutup dan terkesan terburu-buru ini jelas telah menyalahi salah satu dasar proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.   

Bukti lain seperti keberadaan naskah akademik, DIM, hingga draf UU TNI teranyar yang masih simpang siur, sebut ICW, semakin memperjelas bahwa pembahasan revisi UU itu dilatarbelakangi kepentingan yang bertolak belakang dari semangat Reformasi. Draf UU TNI bahkan hingga hari ini masih belum bisa diakses di laman resmi DPR dengan status pembahasan baru pada tahap “mulai”.  

Selain mekanisme pembahasan yang tertutup dan tidak partisipatif, revisi UU TNI juga memuat substansi bermasalah. Hal inilah yang dikritik habis-habisan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam siaran pers mereka. 

“Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan militerisme di Indonesia berpotensi mengembalikan dwi fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.” 

Kembalinya dwi ungsi TNI dan militerisme tentu bukan persoalan sepele. Ada beberapa dampak besar yang bakal langsung dirasakan warga: 

Baca Juga: Dari Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Poles Citra demi Kuasa 

Bakal Mempersubur Kekerasan terhadap Perempuan 

Perempuan rentan menjadi target kekerasan militer, termasuk kekerasan seksual, penyiksaan, hingga pembunuhan. Aliansi Perempuan Indonesia menyebutkan seksualitas perempuan dikontrol lewat peran gender yang timpang, sehingga tubuh dan reproduksinya diatur menjadi objek kekerasan.  

Pun, sejarah membuktikan, aparat militer ajeg jadi sponsor kekerasan perempuan. Misalnya, kekerasan seksual pasca-peristiwa 1965, pemerkosaan massal pada Mei 1998, pemerkosaan dan penyiksaan seksual selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989–1998), Timor Leste (1975-1976), dan pendudukan Papua. 

Di Papua, Asia Justice and Rights (AJAR) pada 2014-2017 pernah meneliti 40 perempuan korban kekerasan negara. Korban menyebutkan, ada tiga periode kekerasan yang mereka alami, yaitu ketika Operasi Militer tahun 1977 – 1978, Operasi militer 2005, dan peristiwa pengejaran OPM pada 2007. 

ICW mencontohkan kasus penindakan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Henri Alfiandi pada 2023 lalu. Henri yang saat itu juga berstatus sebagai TNI aktif, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, penetapan tersangkanya ditentang oleh TNI dengan dalih bahwa penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa dilakukan selain oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. 

Mereka yang mengalami kekerasan seksual, kini masih diliputi trauma. Rasa malu, stigma, ketakutan akan dihakimi oleh keluarga dan masyarakat, kekhawatiran soal kerahasiaan, dan ketidakpastian tentang sistem peradilan membayangi para korban. 

Selain itu, ada pula kasus pembunuhan Marsinah pada 1993. Buruh Marsinah yang getol memimpin aksi demonstrasi untuk kenaikan upah buruh di pabrik tempatnya bekerja diculik, diperkosa, dan dibunuh. Beberapa bukti mengindikasikan keterlibatan militer dalam pembunuhan Marsinah. Di antaranya adalah pengamanan pabrik tempat Marsinah bekerja oleh militer, dikumpulkannya Marsinah dan 12 buruh lainnya di Kodim Sidoarjo, serta pemaksaan penandatanganan surat pengunduran diri karena telah melakukan rapat ilegal.  

Namun sama seperti pelanggaran HAM terhadap perempuan lain, kasus Marsinah dipetieskan. Anggota militer sering kali dapat impunitas dari negara atau melalui peradilan militer yang tidak transparan. 

Menguatnya Impunitas dan Terhambatnya Pemberantasan Korupsi 

Salah satu poin penting penolakan revisi UU TNI terkait rencana perluasan jabatan dan fungsi sosial politik yang dapat ditempati militer. Sebelumnya, terdapat 10 kementerian dan lembaga strategis yang jabatannya dapat diduduki oleh TNI. Namun berdasarkan draft UU TNI, kini ada 15 lembaga yang diusulkan dapat diduduki militer.  

ICW mengungkapkan dalam siaran pers mereka, perluasan jabatan dan penempatan TNI pada jabatan-jabatan sipil dapat berbahaya karena berdampak pada fungsi utama kerja mereka, yaitu pertahanan dan keamanan negara. Perluasan jabatan TNI juga dikhawatirkan semakin berdampak pada menguatnya impunitas dari anggota TNI, termasuk ketika terlibat dalam kasus korupsi.  

ICW mencontohkan kasus penindakan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Henri Alfiandi pada 2023 lalu. Henri yang saat itu juga berstatus sebagai TNI aktif, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, penetapan tersangkanya ditentang oleh TNI dengan dalih bahwa penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa dilakukan selain oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.  

Atas latar belakang tersebut, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf mewakili instansinya.  

“Kasus ini menegaskan, penempatan TNI pada jabatan-jabatan sipil justru berdampak buruk pada terhambatnya penindakan dan juga pemberantasan kasus korupsi,” tegas ICW. 

Baca juga: Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan? 

Pelarangan dan Pembakaran Buku Jilid Kesekian 

Pada 2018 silam, dikutip dari Tirto.id razia buku terjadi di beberapa kota, seperti Kediri, Padang dan Tarakan. Razia dilakukan oleh aparat gabungan TNI–Polri. Mereka menilai sejumlah buku yang diperdagangkan di toko-toko tersebut memuat propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Usai revisi UU TNI disahkan, pelarangan buku kemungkinan bakal semakin massif lagi. Perluasan jabatan TNI berdampak kuat pada penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dengan dalih menjaga stabilitas negara. Masyarakat Indonesia bisa kembali mencicipi era kelam pembungkaman berekspresi dan nalar kritis lewat pelarangan buku semasa Orde Baru. 

Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) menyampaikan dalam laporan mereka pada 2010. Bahwa di bawah kepemimpinan militeristik Orde Baru, pelarangan buku diikuti dengan pemusnahan seluruh karya penulis bahkan penangkapan beberapa penulis. 

Berkaca pada sejarah, berbagai buku dilarang terbit tidak hanya karena isinya. Namun, sudut pandang politis penulis atau penerbit buku dan pengaruhnya terhadap pembaca. Dalih yang selalu dipakai dalam pelarangan buku adalah untuk menjaga stabilitas negara. Pelarangan lantas makin gencar ketika pada 1989 kerjas ama informal antara Jaksa Agung dan lembaga-lembaga (militer) lainnya diformalkan ketika Kejaksaan Agung membentuk Clearing House yang berfungsi meneliti isi buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung.  

Tidak cuma penulis dan penerbit, membaca buku-buku yang dilarang pemerintah pun jadi ikutan kena sasaran. PR2Media dan FES mencatat pada 1989, Bambang Subono, Bonar Tigor Naipospos, dan Bambang terpaksa harus mendekam di penjara selama lebih dari empat tahun karena kedapatan membawa buku sastra Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. 

Kritik Agraria Direspons Moncong Senjata 

Kekuatan militer selalu digunakan pemerintah untuk memuluskan jalan mereka melakukan pembangunan. Di masa Orde Baru, cara ini biasa dilakukan mulai dari pembangunan Waduk Kedung Ombo, Revolusi Hijau, proyek transmigrasi, hingga beberapa proyek tambang besar seperti Freeport di Papua dan tambang minyak di Sumatera. Di beberapa kasus, warga harus kehilangan nyawa dan kebebasannya. Misal di kasus Wadung Kedung Ombo, ada lima warga tewas dan penolak pembangunan waduk disebut disusupi komunis sehingga KTP mereka diberi tanda ET (eks tapol). 

Jauh setelah Orde Baru runtuh, pelibatan militer dalam proyek pembangunan nasional tetap dilakukan. Salah satunya dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). KontraS mencatat sedikitnya 79 peristiwa pelanggaran HAM yang berkaitan dengan PSN sepanjang November 2019-Oktober 2023.  Temuan itu sejalan dengan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mendapati 115 letusan konflik agraria akibat PSN, sepanjang 2020-2023. 

Dengan adanya revisi UU TNI, kekerasan pada masyarakat sipil oleh aparat dalam proyek pemerintah akan berpotensi meningkat. Hal ini sempat disampaikan Siska, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam aksi Tolak RUU TNI, di Dago, Bandung (18/03). 

Dilansir dari Bandung Bergerak, sebelum ada heboh-heboh soal revisi UU TNI saja, masyarakat Papua yang tanahnya sudah jadi target PSN tiap hari sudah dihadapkan dengan moncong senjata. 

“Jadi dengan adanya RUU ini tuh pasti akan melegalkan semua kekejaman yang mereka lakukan,” kata Siska. 

Baca Juga: 5 Catatan Penting dari 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran 

Rakyat Tak Bebas di Internet 

Dalam draf UU TNI bakal mendapatkan tugas baru, yakni terlibat dalam pertahanan siber. Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum dikutip dari Media Indonesia menyebut, perluasan menyatakan kewenangan perluasan operasi militer selain perang (OMSP) untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan.  

Nenden menjelaskan perluasan OMSP pada ranah digital sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber. Ini nantinya bakal membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti. Selain itu, negara dapat menjadikan narasi “ancaman siber” sebagai bentuk justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). 

Dalam cuitan terpisah, SAFEnet Indonesia bilang bagaimana UU TNI berpotensi memperluas tugas Satuan Siber Tentara Nasional Indonesia (Satsiber TNI).  

Lewat Satsiber TNI, pemerintah bisa melakukan pengawasan ketat terhadap akun atau konten di media sosial. Atas dasar menjaga keamanan siber negara, akun atau konten media sosial ini bisa ditangguhkan (takedown). Satsiber TNI juga bisa mengarahkan kontra opini terhadap akun media sosial melalui kecerdasan buatan atau AI.  Akibatnya ruang gerak masyarakat sipil di ruang siber semakin terimpit. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *