Daya Tarik ‘Boys Love’ yang Bikin Perempuan Terpikat
Boys Love (BL) menawarkan ruang untuk perempuan mengeksplorasi seksualitas mereka dan menjadi subjek yang aktif.
Akhir 2019 silam, linimasa Twitter saya dipenuhi oleh serial genre BL The Untamed dan TharnType. Apalagi khusus The Untamed, sejak ditayangkan di Netflix, saban hari ada saja konten serial yang muncul di beranda saya, sampai-sampai mutual Twitter saya yang berasal dari Amerika dan Eropa mengunggah live tweet perjalanan mereka menonton serial ini. Sementara, serial BL TharnType konsisten menduduki posisi top 10 trending Twitter di 2019.
BL atau akrab juga disebut yaoi (perdebatan masalah istilah pernah saya bahas sebelumnya) memang merupakan genre yang ditulis dari perempuan untuk perempuan. Dalam penelitian Mark J McLelland, Profesor Studi Gender dan Seksualitas dari Wollongong, Australia berjudul The Love Between ‘Beautiful Boys’ in Japanese Women’s Comic dijelaskan, genre ini muncul sebagai subgenre shoujo pada awal 1970-an yang khusus ditulis untuk demografi perempuan muda. Ini sekaligus melawan dominasi penulis lelaki pada awal 1950-an.
Hal yang menarik dari BL adalah bagaimana penikmat genre ini sebagian besar berasal dari kalangan perempuan heteroseksual. Dalam survei daring ang dilakukan Dru Pagliassotti pada 2008, akademisi Universitas Lutheran California mencatat, 63% pembaca BL adalah perempuan heteroseksual. Lalu kenapa, sih perempuan heteroseksual menyukai BL?
Baca Juga: Rekomendasi Drama BL Thailand Terbaru di 2021
BL Menawarkan Ruang bagi Perempuan untuk Mengeksplorasi Seksualitas
Sosiolog feminis Ueno Chizuko dikutip dalam artikel Girls And Women Getting Out Of Hand: The Pleasure And Politics Of Japan’s Amateur Comics Community (2004) yang ditulis oleh Rachel Thorn, profesor di Universitas Seika menerangkan, homoseksualitas laki-laki dalam karya yang ditulis oleh perempuan adalah alat pengaman (safety device). Ini memungkinkan perempuan untuk mengeksplorasi seksualitas, melampaui pengalaman tubuh mereka sendiri
Senada dengan Ueno Chizuko, Sueen Noh, akademisi dari Universitas North Park lebih lanjut mengatakan dalam penelitiannya Reading Yaoi Comics: An Analysis of Korean Girls’ (2001) Fandom, sebanyak 10 subjek penelitian yang ia teliti, semuanya mengungkapkan bagaimana mereka tidak pernah merasa nyaman untuk memuaskan hasrat seksual dalam masyarakat yang masih didominasi nilai-nilai tradisional normatif. Seksualitas dalam masyarakat patriarkal adalah hal yang ditakuti dan dipermalukan, bukan sesuatu yang bisa dieksplorasi secara terus terang dan agresif, terutama bagi perempuan.
Perempuan dalam hal ini pun terjebak dalam duplicity of women, kondisi di mana perempuan berusaha memuaskan hasrat seksual mereka, sementara di saat bersamaan, terpenjara oleh “nilai kesucian” dan “ideologi keperawanan”. James Walker, profesor dari Universitas Kanagawa dalam penelitiannya Beautiful, Borrowed, and Bent: “Boy’s love” as Girl’s Love (2006) juga lebih lanjut mengungkapkan manga BL membuka cakrawala bagi pembacanya untuk bereksperimen dengan isu gender dan praktik-praktik seksualitas yang termarjinalisasi dan berperan dalam pembentukan identitas mereka.
Dengan kata lain, BL pun dapat dilihat sebagai media yang yang membebaskan perempuan dari paradigma patriarki, dualisme gender, dan normatif heteroseksual. Penulis dan penikmat BL dalam hal ini di mampukan menggunakan suara karakter laki-laki yang secara sosial lebih dibebaskan dalam masyarakat untuk mengekspresikan seksualitas mereka.
Baca Juga: Bagaimana ‘Manga Yaoi’ atau ‘Boys Love’ Masih Meromantisasi Kekerasan Seksual
BL Menawarkan Cerita yang Keluar dari Formula Cringey Romansa Hetero yang Mengecilkan Agensi Perempuan
Dalam genre romansa heteroseksual, masih banyak karakter perempuan yang digambarkan sebagai perempuan “lembek” yang kerap galau soal laki-laki bajingan. Mereka sering kali tidak diberikan agensi, mengemis cinta pada karakter yang sebenarnya secara emosional abusif. Jelas sekali ada relasi timpang di sini, tapi dengan narasi toksik the power of love, perempuan-perempuan sudah seharusnya legowo mendapatkan perlakuan semena-mena karakter laki-laki yang mereka suka.
Dalam tesis yang ditulis Chyuzu Zhang dari universitas Iowa State, `My double love of boys’: Chinese women’s fascination with `Boys’ Love’ fiction (2014) disebutkan, bagaimana BL berfungsi sebagai medium negosiasi perempuan dengan tatanan gender di masyarakat patriarkal yang menempatkan mereka sebagai individu yang “tertindas” oleh laki-laki melalui ide kesetaraan cinta.
Baca Juga: 5 Serial ‘Boys Love’ yang Bikin Pipi Merona dan Mata Basah
Ideologi patriarki hierarkis masih mendarah daging dalam cerita cinta heteroseksual. Sementara, perempuan penikmat BL ini tidak puas dengan tatanan gender yang tidak setara ini. Oleh karena ini melalui BL, perempuan dapat mengekspresikan keinginan untuk merdeka dan setara yang sebenarnya menurut Zhang berfungsi untuk menyuarakan perlawanan mereka terhadap tatanan gender yang sampai sekarang masih berpusat pada wacana maskulin.
Hal lain yang menjadi alasan kenapa perempuan menyukai BL adalah bagaimana BL memberikan perempuan kesempatan bagi mereka untuk menavigasikan diri sebagai subjek bukan objek seksual. Genre romansa heteroseksual masih sering sekali dipenuhi dengan narasi yang mengobjektifikasi perempuan bahkan menseksualisasi mereka dalam kacamata male gaze. Namun, dalam BL hal ini tidak terjadi karena yang menuliskan narasinya adalah perempuan sendiri.
Dalam artikel SavyTokyo, Kirsty Kawano menjelaskan, dalam BL, perempuan menjadi subjek aktif dalam narasi yang ada yang mendorong otonomi ekspresi diri perempuan. Ia mengambil contoh bagaimana penulis BL menggambarkan media yaoi sebagai alternatif perempuan untuk pornografi konvensional yang dibuat untuk laki-laki. Sehingga, imbuhnya, kebebasan berekspresi perempuan melalui BL ini merupakan langkah penting menuju feminisme.
Apakah Laki-laki Gay Menikmati BL juga?
Hal yang kemudian tetap harus ditekankan dalam perbincangan mengenai BL ini adalah dengan memasukkan perspektif laki-laki gay, kelompok yang diangkat representasinya dalam genre ini. Lantaran BL adalah genre yang ditulis oleh perempuan dan untuk perempuan, tentu ada pertanyaan besar apakah laki-laki gay juga menikmatinya? Apakah representasi dalam BL sudah cukup merefleksikan kelompok mereka?
Dilansir dari artikel majalah khusus gay Withnews, pemimpin redaksi Ryu dari Barazoku menjawab beberapa pertanyaan tentang topik BL, fujoshi, dan gay. Ia mengatakan, dirinya dan teman-teman gay lain juga menikmati BL. Ia melihat BL sebagai bacaan romansa klasik biasa. Ia juga mengungkapkan bagaimana sebenarnya ada perbedaan generasi jika kita membicarakan BL. Kelompok laki-laki gay yang tua memang terkadang tidak menyukai BL karena penggambaran dari BL masih lekat dengan narasi toksik BL 1980-an (meromantisasi kekerasan seksual seperti pemerkosaan sebagai bentuk cinta). Ada juga yang menganggapnya masih terlalu feminin, termasuk dalam penggambaran uke. Namun, menurut Ryu untuk generasi lebih muda, banyak juga yang mengikuti BL atau yang ia sebut fudanshi gay.
Amiya Yuki, representasi dari organisasi melela di Jepang juga diwawancarai mengenai hal ini. Ia mengatakan sebagai laki-laki gay, ia juga membaca BL karena menyukai tema-tema remaja. Bahkan ia mengatakan. sekarang sudah lumayan banyak BL yang berkualitas dan tidak terjebak dalam formula heteronormativitas toksik. BL itu pada akhirnya memberikan kontribusi tersendiri dalam membangun perbincangan mengenai hak-hak LGBT dan bisa dijadikan medium untuk membantu teman-teman LGBT lain.
Walaupun genre ini sudah mulai banyak diterima dari kelompok gay sendiri, nyatanya genre ini masih mendapatkan perlawanan kuat dari laki-laki gay lain. Dalam artikel yang sama, beberapa laki-laki gay diwawancarai dan tidak sedikit dari mereka juga mengatakan bagaimana mereka tidak pernah tertarik mengikuti BL karena digambarkan jauh dari realitas kehidupan mereka. Ada juga yang menyebut BL sama saja dengan porno, dalam hal ini jika porno mengobjektifikasi perempuan, BL mengobjektifikasikan laki-laki dalam hubungan yang tidak sesuai dengan realitas.
Dalam artikel yang ditulis Kirsty Kawano misalnya, saya melihat laki-laki gay bernama Shiki Nobuhisa memberikan kritikannya terhadap tulisan Kawano yang seakan mengglorifikasi genre ini. Ia berpendapat bahwa BL tidak baik untuk komunitas LGBT, karena BL melanggengkan gagasan bahwa homoseksualitas hanyalah fetish dan “fantasi liar” perempuan saja.
Menurutnya BL tidak pernah mewakili secara nyata perjuangan yang dialami orang-orang gay setiap hari dan menggantikan peran perempuan dari hubungan heteroseksual. Berbeda dengan media yang secara khusus ditujukan untuk kelompok gay misalnya yang menggambarkan secara nyata perjuangan komunitas LGBT dan memberikan gambaran yang lebih baik tentang bagaimana pasangan gay sebenarnya, oleh karena itu menurutnya BL sebenarnya menampilkan homofobia terinternalisasi dalam masyarakat.
Dari perbedaan pandangan dari kelompok gay sendiri, maka kita pun dapat mengambil kesimpulan walau industri BL sekarang sudah lebih baik menarasikan hubungan homoseksualitas, industri ini masih memiliki PR yang banyak untuk sepenuhnya menangkap realita kehidupan kelompok gay. Di sinilah peran pembaca sama pentingnya, untuk menyaring BL mana yang melanggengkan stereotip dan homofobia terinternalisasi melalui fetish dan fantasi liar, dan mana BL yang mampu memberikan narasi positif dalam penggambaran kelompok gay.