Politics & Society

Dengar dan Percayai Suara Penyintas Pemerkosaan

Situasi akan makin sulit bagi penyintas pemerkosaan ketika orang tidak percaya apalagi menyalahkan.

Avatar
  • November 28, 2017
  • 5 min read
  • 242 Views
Dengar dan Percayai Suara Penyintas Pemerkosaan

Ah kamu cari alasan saja biar tidak mengaji, seorang penyintas pemerkosaan mengutip tuduhan yang dilontarkan kepadanya, kepada psikolog pendamping yang menangani kasus pemerkosaan terhadap anak.
 
Dalam sebuah diskusi bersama di sebuah kampus di Jakarta yang diselenggarakan oleh gerakan #IAMBRAVEINDONESIA, kutipan itu disampaikan psikolog Nunky Suwardi sebagai contoh kesulitan yang dialami penyintas pemerkosaan untuk mengungkapkan pengalaman buruknya, bahkan kepada ibunya sendiri.
 
Sebagai psikolog yang juga bertugas di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nunky membantu para penyintas pemerkosaan untuk melepas beban masa lalu yang sangat traumatis. Beberapa tahun setelah peristiwa pemerkosaan itu berlalu, anak yang berhenti mengaji tadi bertanya kepada ibunya, “Mengapa saya tidak diizinkan untuk melapor ke polisi?”. Menurut Nunky, ibu si anak menjawab, “Nak, guru agamamu itu kan orang terkenal. Kalo kita ngomong nanti kita yang dipojokkan.”
 
Menutupi kasus pemerkosaan dengan alasan menutupi aib adalah salah satu penyebab sulitnya mendata kasus-kasus pemerkosaan. Keluarga umumnya tidak ingin kasus  pemerkosaan dibawa ke muka hakim agar tidak diketahui oleh publik. Ketertutupan terjadi paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, pelaku adalah keluarga dekat atau orang yang dikenal korban dan keluarganya. Kedua, proses hukum yang dilalui sangat panjang dan cenderung membuka luka lama.
 
Nunky mengatakan para penyintas pemerkosaan di Indonesia sering dituntut untuk memberikan bukti. Sedangkan visum dokter melibatkan pemeriksaan organ genitalia yang bisa membangkitkan trauma. Selain pemeriksaan fisik, umumnya korban pemerkosaan akan dimintai keterangan yang berulang-ulang oleh polisi. Lalu pada tahap persidangan, mereka harus bersaksi dan kesulitan terbesar adalah konfrontasi dengan pelaku. Hal-hal inilah yang membuat banyak penyintas dan keluarganya memilih diam.
 
Namun diam juga bisa terjadi akibat ketidaktahuan. Seorang penyintas pemerkosaan yang saya temui mengakui baru sadar jika hubungan seks yang pernah ia alami adalah pemerkosaan saat berusia 15 tahun. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak umur 7 tahun, ia diperkosa oleh “orang rumah”. Setelah menyadari pemerkosaan yang menimpanya, penyintas ini mulai menutup diri dan perasaan menyakitkan muncul karena rumah tak lagi aman.
 
Toilet training sebenarnya jadi cara bagi orang tua untuk kasih tahu anaknya mana yang boleh disentuh, mana yang tidak. Itu tidak terjadi juga sama saya, jadi saya tidak mengerti. Seandainya ada kesadaran para orang tua mengajari anak-anak pendidikan seks, menjadi korban pemerkosaan bisa dihindari,” ujarnya.
 
Berdasarkan pengalaman mendampingi penyintas pemerkosaan, Nunky mengatakan pelaku dapat diidentifikasi sebagai seseorang yang punya hubungan dengan korban dan tidak tentu orang yang tidak berpendidikan. Justru pelaku bisa seorang tokoh agama, dosen universitas ternama, hingga polisi. Seorang korban berusia 13 tahun yang ia dampingi diperkosa oleh tujuh orang dan ketika ia melaporkan kasusnya, ia kembali diperkosa oleh polisi yang menangani kasusnya. Pihak petugas hukum yang seharusnya melindungi, pihak keluarga yang seharusnya mendukung korban serta lingkungan sosial sekitar korban cenderung memojokkan, menyalahkan dan tidak percaya pada korban.
 
Catatan Tahunan 2017 dari Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa kekerasan seksual berada di peringkat kedua untuk kekerasan di ranah personal/rumah tangga (34 persen atau 3.495 kasus), dan peringkat pertama di ranah komunitas (74 persen atau ). Data kasus kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk pemerkosaan itu secara tidak langsung menunjukkan jumlah perempuan yang menjadi korban.
 
Sementara itu, dari Survei Kekerasan Anak Indonesia hasil kerja sama Kementerian Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan jumlah kekerasan seksual pada anak laki-laki dan perempuan hampir sama besar yakni sekitar 6 persen. Jika dihitung dari perkiraan jumlah anak di Indonesia sebanyak 87 juta anak berusia di bawah 18 tahun, maka terdapat 400.000 anak yang mengalami kekerasan seksual. Salah satu kota yang cukup memprihatinkan dalam kasus kekerasan seksual adalah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pada 2014 hingga 2016, Direktur LSM Rumah Perempuan Libby Sinlaeloe menangani jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 159 kasus. Angka dilaporkan jauh lebih banyak karena pelaku umumnya adalah keluarga.
 
Meski jumlah kasus pemerkosaan cenderung bertambah, masyarakat kerap kebingungan dengan langkah yang harus dilakukan setelah peristiwa terjadi. Wakil Direktur Yayasan Pulih, Nirmala Ika mengatakan, “Idealnya usai kejadian korban melapor di kepolisian agar bukti-bukti masih mudah diperoleh. Kepolisian yang akan memberikan surat pengantar visum yang bisa menjadi rujukan di pengadilan. Jika korban melakukan visum lebih dahulu, baru kemudian ke kepolisian maka korban hanya akan mendapat surat keterangan medis yang tak bisa menjadi rujukan hukum.”
 
Sesungguhnya sangat penting bagi masyarakat untuk memiliki kesadaran memperlakukan penyintas sebagai orang yang patut dipercayai penuturannya. Menjadi penyintas, apalagi penyintas kekerasan seksual membuat kondisi emosional dan psikologis sangat campur aduk karena daerah privat yang diserang, sehingga situasi akan makin sulit bagi penyintas pemerkosaan ketika orang tidak percaya apalagi menyalahkan.
 
Nirmala dari Yayasan Pulih, yang membantu para korban kekerasan, menyarankan agar korban didampingi oleh orang-orang yang berpengalaman. Pendampingan psikolog berguna untuk membantu emosi yang naik turun, selain dukungan utama dari keluarga korban. Psikolog juga berfungsi untuk menolong keluarga yang harus beradaptasi dengan kondisi pasca kejadian yang mengguncang seluruh keluarga. Pemulihan kejiwaan dibutuhkan demi alasan jangka panjang agar para penyintas pemerkosaan dapat menjalani hidup berumah tangga dengan leluasa.
 
Psikolog Nunky Suwardi menyebutkan, separuh kliennya mengalami kesulitan berhubungan seksual dengan pasangan karena jiwanya belum pulih. Meski didampingi oleh psikolog, Nirmala menyarankan penyintas kekerasan seksual tetap berada di rumahnya, bukan dibawa ke Rumah Aman yang akan mengubah rutinitas dan keseharian penyintas. Rumah Aman dibutuhkan jika pelaku berada di rumah yang sama dengan korban atau membahayakan nyawa korban, karena itu Rumah Aman hendaknya menjadi solusi terakhir.
 
“Yang harus diamankan adalah pelaku, bukan korban. Namun di Indonesia pelaku justru bebas berkeliaran,” tegas Nirmala.
 
Guna menghentikan kasus pemerkosaan, salah satu cara adalah keberanian para penyintas untuk bersuara dan menyeret pelaku ke hadapan hakim. Meski tidak mudah, namun langkah hukum yang membuktikan pelaku bersalah sangat membantu pemulihan para korban. Menurut seorang penyintas yang saya temui, “Walaupun pelaku bilang memperkosa karena pakaian kita, harus diingat kita tidak bersalah. Yang harus disalahkan adalah pelaku karena kekerasan seksual itu adalah salah satu hal terburuk yang bisa dilakukan manusia kepada manusia lain.”
 
 
Monique Rijkers adalah inisiator #IAMBRAVEINDONESIA yang bertujuan menginspirasi para penyintas kekerasan seksual dan mengedukasi anti-kekerasan seksual di kampus. Bekerja sebagai jurnalis selama 14 tahun hingga Januari 2017. Pendiri yayasan Hadassah of Indonesia dengan salah satu program Tolerance Film Festival yang sudah berlangsung dua tahun berturut-turut.


Avatar
About Author

Monique Rijkers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *