Pengalamanku Seminggu Mendengar Podcast Cinta Ngab-ngab
Selama tujuh hari aku sibuk mendengarkan siniar bertema cinta dan relasi dari ngab-ngab populer. Hasilnya aku banyak dapat pelajaran berharga
Ide ini pertama kali terlontar pada rapat redaksi, (17/7). Waktu itu, sudah lebih dari empat bulan kami tidak menggarap artikel eksperimen. Kehabisan ide untuk melakukan eksperimen macam apa, seorang kawan membawa inspirasi baru ke rapat redaksi. Ia bilang belakangan Twitter sedang viral video Prilly Latuconsina yang jadi tamu Podcast Bloom Media. Dalam perbincangan soal cinta dan relasi, Prilly berhasil membuat lawan bicara laki-lakinya, Bocoum tak berkutik.
Belakangan memang Podcast bertema ini sedang naik daun. Beragam Podcast yang semua podcasternya laki-laki dan diikuti oleh banyak followers inilah yang berbagi konten tentang cinta. Sayangnya, kerap kali podcaster dan bintang tamu yang hadir tidak punya kapasitas keilmuan yang memadai untuk membahas isu tersebut. Bahkan tak jarang mereka juga cenderung seksis dan misoginis.
Tudingan itu tentu tak langsung aku percaya. Terlebih aku bukanlah pendengar Podcast yang intens. Agar tak terkesan mencari-cari kesalahan, dan membuktikan kebenaran tudingan tersebut, aku pun mendengarkan Podcast secara acak yang lumayan viral di Spotify dan YouTube. Ada lima Podcast, yakni Bloom Media, Podcast Mendoan, Podcast Ancur, Podkesmas, dan Podcast Bercanda. Pemilihan episodenya pun aku sesuaikan dari episode-episode terbaru atau episode yang secara khusus mendiskusikan cinta, relasi, atau perempuan.
Baca Juga: Ramai-ramai ‘Bully’ Orang Jelek: Pengalamanku 4 Hari Jadi Ngab-Ngab di Akun Receh
Peran Gender dan Ego Laki-laki
Baru hari pertama mendengarkan Podcast, ternyata tudingan kawanku di rapat redaksi itu memang bukan bualan. Aku mendengar langsung nuansa seksisme dari Podcast yang aku dengar, tak semua memang. Pesan bernada seksis itu perlu didengar dengan cermat karena biasanya disampaikan secara implisit alias tipis-tipis. Berbeda dengan Podcast dari luar yang memang terang-terangan seksis macam The No Filter Podcast atau Podcast Andrew Tate.
Dalam Podcast Bercanda misalnya, aku menemukan ada pandangan maskulinitas toksik di antara para podcaster dan pendengarnya. Itu ditengarai dari celetukan podcaster yang menyebutkan, “Secara alamiah laki-laki suka tantangan. Ini membuat mereka tidak begitu menyukai perempuan yang easy to get atau perempuan yang lebih suka mengejar cinta si laki-laki.” Sungguh sebuah paradoks. Perempuan diminta nerimo, tapi jangan terlalu cepat nerimo karena nanti dianggap gampangan.
Selain suka tantangan, laki-laki juga ternyata enggak suka sama alpha female (istilah yang sebenarnya juga bermasalah karena mengandung bias gender terselubung). Kata mereka, alpha female itu suka sok tahu dan ngatur-ngatur alias bossy. Sedangkan menurut mereka, laki-laki butuh perempuan yang egonya bisa disetir. Butuh perempuan yang bisa memberi makan ego laki-laki. Pura-pura enggak tahu atau bertindak bodoh penting sekali biar laki-laki merasa dihargai dan terlihat keren.
Selain Podcast bercanda di Bloom Media, aku juga menemukan ada pemahaman ajeg di antara para laki-laki. Bahwa dalam hubungan romantis sudah seharusnya laki-laki bertindak sebagai provider yang berlaku satu arah. Laki-laki punya tanggung jawab untuk memimpin, memberikan segala kemudahan, bahkan menyediakan “kemewahan” bagi perempuan.
Pemahaman ini membuat laki-laki (katanya) jadi banyak dituntut. Di sisi lain kalau laki-laki tidak bisa memerankan peran provider dengan baik, mereka jadi minder. Namun, mereka juga “ogah” membincangkan ketidakmampuannya karena gengsi. Pemahaman ini menggelitik tidak hanya buat Prilly, tapi juga buatku.
Baca Juga: Deretan Podcast Spotify Favorit yang Sayang Dilewatkan
Pemahaman soal laki-laki sebagai the sole provider adalah konstruksi sosial. Ego laki-laki yang tinggi juga adalah hasil sosialisasi dari berpuluh-puluh tahun tentang bagaimana laki-laki seharusnya bersikap maskulin. Shekhar Seshadri, profesor, Unit Psikiatri Anak, dan Remaja dari The National Institute of Mental Health and Neuro Sciences dalam The Hindu bilang, sejak kecil laki-laki dikondisikan untuk percaya kekuatan diri mereka.
Selain itu, mereka juga diharapkan untuk melindungi kehormatan keluarga, jadi pemimpin, dan “mengendalikan” perempuan. Hal inilah yang membuat mereka memiliki dorongan mempertahankan ego dengan tidak memperlihatkan emosi dan kerentanannya.
Podcaster laki-laki tentu tidak menyadari bias-bias ini. Akhirnya perbincangan pun cuma berujung pada debat kusir dengan pihak laki-laki merasa dirinya paling disusahkan dari peran gender dan tuntutan atribut gender biner.
Hal lain yang kusadari dari mendengarkan Podcast selama tujuh hari adalah candaan seksis dan misoginis terselubung dari para podcaster laki-laki. Dalam Podcast Bercanda aku mendapatinya saat para podcaster berbicara tentang preferensi mereka terhadap cara perempuan memberikan perhatian kepada laki-laki. Misalnya, dengan menanyakan hal-hal sederhana, “Sudah makan belum?”
Dalam perbincangan ini tiba-tiba saja ada podcaster laki-laki nyeletuk, perhatian perempuan akan lebih mantap kalau disusul dengan pap atau kiriman foto telanjang atau payudara. Celetukan ini pun langsung dihadiahi tawa dan candaan serupa lainnya.
Di Podcast Ancur, candaan seksis misoginis sempat aku temukan secara implisit saat podcaster menceritakan pengalaman melihat perempuan tua yang sedang cat feeding. Unprovoked alias tanpa diprovokasi sama sekali, anggapan awal si podcaster tentang perempuan ini adalah: Dia pasti seseorang yang memutuskan childfree. Jadi wajar kalau she’s being miserable alone and cat feeding is the only thing she can do, kan perempuan sudah kodratnya hamil dan melahirkan.
Baca Juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Mengundang Bukan Pakar dan Amplifikasi Stigma
Dibandingkan talkshow, Podcast apalagi yang bernaung pada label comedy and entertainment dibuat untuk seru-seruan tanpa mengundang para ahli sebagai gongnya. Kalau terlalu serius nanti orang-orang malah malas mendengarnya.
Namun, buatku pribadi kalau ini sudah menyangkut isu-isu dari kelompok rentan atau marginal, podcaster punya tanggung jawab untuk mengundang narasumber yang kredibel secara keilmuan. Gunanya adakah untuk menjaga perbincangan agar tidak kembali terjebak dalam stigma atau asumsi liar di masyarakat. Lebih penting lagi, menghadirkan narasumber yang kredibel bisa membantu kita mendekonstruksi ulang bias dan pengetahuan umum yang meminggirkan kelompok tertentu.
Hal ini sayangnya tidak dilakukan oleh Podcast Mendoan yang punya pengikut sebanyak 21 ribu di Instagram. Secara spesifik dalam Podcast yang berjudul “Belok Bisa Terjadi Kapan Saja feat Choky Saputra”, Podcast itu menghadirkan isu tentang kelompok LBGTQIA. Segala pengalaman podcaster umumnya berasal dari stigma dan asumsi publik tentang kelompok LGBTIQIA. Ini mulai dari mitos gaydar, motif seseorang jadi gay, lesbian bisa sembuh atau tidak, sampai benarkah individu biseksual itu ada.
Dengan tidak menghadirkan ahli, Podcast Mendoan justru mengundang seseorang yang dianggap sepihak oleh mereka sebagai “pakar LGBT”. Hasilnya pun terlihat dari jawaban-jawaban Choky yang kembali melanggengkan stigma dan bias. Ia dengan percaya diri bilang, lesbian yang bukan buchi itu bisa sembuh, “bisa jadi normal.” Sebab, menurut dia seseorang jadi lesbian karena butuh kucuran kasih sayang alias perhatian.
Dia juga bilang menjadi gay itu bisa dilatih bukan bawaan dari lahir. Cara melatihnya adalah bermula dari chatting dengan sesama kenalan atau teman laki-laki. Ini lalu disusul dengan pendapatnya bahwa motif seseorang menjadi gay dan tetap menjadi gay karena laki-laki ingin merasakan sensasi berbeda dalam relasi romantis.
“Ada sisi cowok yang ingin dimanjakan tapi juga mengayomi. Di hubungan (gay) itu dapat sepenuhnya,” kata Choky.
Baca Juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu
Tak kalah mengejutkan, Choky juga bilang, individu biseksual itu tidak ada. Dia percaya individu hanya bisa menjadi gay atau lesbian saja. Jadi kalau ada seseorang yang tadinya gay lalu ternyata bisa berhubungan seksual atau romantis dengan perempuan, yang ia lakukan semacam kamuflase saja.
Pernyataan-pernyataan Choky ini menurutku sangat berbahaya. Dengan mengklaim dirinya “terjun langsung” di kelompok LGBT lalu dilabel sebagai pakar per-LGBT-an Surabaya, Podcast Mendoan secara tidak langsung telah kembali melanggengkan diskriminasi kepada kelompok LGBT. Mereka memproduksi ulang berbagai macam stigma dan stereotip.
Pendengar Podcast yang tidak memiliki kesadaran tentang isu gender dan queer (apalagi jika mereka memang tidak punya lingkaran pertemanan yang inklusif), pasti akan langsung menelan mentah-mentah perbincangan penuh bias ini. Parahnya lagi, kemungkinan besar segala pernyataan yang terlontar akan dianggap sebagai kebenaran tunggal tanpa ada keinginan untuk mendekonstruksinya ulang.
Aku teringat buku The Death of Expertise (2017) yang ditulis oleh Tom Nichols. Ia menjelaskan bagaimana kita ada di era di mana banyak orang berlagak sebagai pakar. Mereka tidak dapat mengenali kesenjangan dalam pengetahuan yang mereka miliki, tidak memiliki sumber atau asal-usul yang jelas tentang pengetahuan yang mereka dapat, dan tidak memahami ketidakmampuan mereka sendiri dalam membangun argumen yang logis
Banyaknya orang seperti ini diberikan panggung dan dipercaya buta oleh orang banyak berakibat pada pelumpuhan daya kritis masyarakat. Akhirnya banyak dari kita terjebak dalam berbagai macam bias. Bias yang sayangnya dibela mati-matian sebagai kebenaran tunggal dan melanggengkan diskriminasi bagi kelompok rentan dan termarginalkan.