Environment Issues

Kita Membuat Plastik, Bergantung, dan Tenggelam di Dalamnya

Di balik kerusakan lingkungan, ada ketergantungan kita yang sangat besar pada plastik. Ia dipilih karena harganya murah, tahan lama, dan mudah dibentuk.

Avatar
  • August 4, 2023
  • 7 min read
  • 1863 Views
Kita Membuat Plastik, Bergantung, dan Tenggelam di Dalamnya

Sejak kos bareng dua orang teman, saya lebih sering beli makan siang dibandingkan memasak—supaya menghemat waktu. Entah beli di warteg, atau pedagang kaki lima di sekitar tempat tinggal.

Layaknya penjual makanan pada umumnya, pedagang langganan saya juga memakai kertas coklat dan plastik untuk mengemas makanan. Awalnya, saya enggak begitu memperhatikan ini. Semakin sering beli makanan, saya baru sadar ada saja plastik yang dikeluarkan. Ditambah sering kali, saya sekaligus jajan batagor atau bakso goreng. Lagi-lagi kemasannya plastik. Kalau ditotal, sekitar tiga sampai empat lembar kantong plastik dalam sehari.

 

 

Memang sih, saya selalu bawa tote bag. Namun, enggak ada artinya, karena cuma untuk menampung kantong kresek berisi makanan. Sepertinya membawa tempat makan sendiri akan lebih efektif. Masalahnya membangun kebiasaan ini juga enggak mudah. Sering kali kita berakhir lupa dan lagi-lagi pakai plastik.

Pengalaman ini mungkin merefleksikan keseharian sebagian besar dari kita, dalam menggunakan plastik. Mengutip Kompas.com, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyebutkan, jumlah sampah plastik terus meningkat tiap tahunnya. Sepanjang 2022 misalnya, masyarakat Indonesia menghasilkan 12,5 juta ton sampah plastik, didukung oleh penggunaan plastik sekali pakai.

Adapun beberapa jenis plastik sekali pakai mencakup kantong plastik, alat makan plastik, tempat makan dan wadah minuman—termasuk stirofoam, dan kemasan pembungkus paket maupun makanan di pasar swalayan.

Lebih dari itu, sebenarnya plastik juga terdapat dalam bahan pakaian poliester. Ini terbuat dari campuran plastik, petroleum, alkohol, asam karboksilat, dan ester. Lalu, bagaimana awalnya kita bergantung pada plastik?

Baca Juga: Air Kemasan Tercemar Tinja dan Plastik, Mimpi Buruk Kita di 2026

Di Balik Ketergantungan Kita pada Plastik

Awalnya, plastik dikembangkan pada 1800-an. Saat itu, produksinya dimanfaatkan berbagai sektor karena menguntungkan. Di antaranya transportasi, teknologi, obat-obatan, pengemasan, pertanian, konstruksi, serta olahraga dan rekreasi.

Kemudian, plastik semakin masif diproduksi pasca-Perang Dunia II, dan sepanjang 1960 sampai 1970-an. Pasalnya, plastik dinilai lebih murah, tahan lama, dan mudah dibentuk—menggantikan kayu, kertas, kaca, dan baja yang masih jadi bahan utama furnitur, kemasan, dan mobil. 

Momen tersebut berdekatan dengan temuan kantong plastik oleh insinyur asal Swedia, Sten Gustaf Thulin, pada 1959. Ia melihat, banyaknya penggunaan kantong kertas untuk pengemasan barang dari penjualan retail, akan menyebabkan deforestasi. Maka itu, Thulin menciptakan kantong plastik agar lebih konvensional, tahan lama, dan bisa kembali digunakan.

Dalam studi Bag with Handle of Weldable Plastic Material (1962), Sten juga mengungkapkan, biaya produksi kantong plastik lebih murah dan pegangannya kuat—menjadikan alasan lain untuk beralih dari kantong kertas.

Inovasi Sten melatarbelakangi penggunaan kantong plastik yang kini banyak digunakan. Harapannya waktu itu, kantong plastik akan menyelamatkan bumi karena bisa dipakai berulang kali, sekaligus mengurangi penebangan pohon. Karena itu, ketika bepergian, Sten selalu membawa kantong plastik, layaknya orang-orang saat ini membawa kantong belanja.

Sayangnya, realitas saat ini berbalik dengan harapan Sten. Orang-orang menganggap kantong plastik hanya sekali pakai sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Kemudian kembali menggunakan kantong kertas dan tas berbahan katun, yang sebenarnya lebih membahayakan lingkungan, sebagai upaya menjaga bumi.

Sebab, produksi kantong kertas membutuhkan energi dan air lebih banyak. Belum lagi proses pengiriman dari tempat produksi ke toko, menyebabkan dampak ekstra pada lingkungan. Sedangkan tas berbahan katun mendorong pemanenan kapas secara intensif, sekaligus menggunakan air dalam jumlah besar untuk produksinya.

Meski demikian, pedagang masih mendominasi pemakaian kantong plastik, dikarenakan perlunya ongkos tambahan untuk kantong belanja ramah lingkungan. Setidaknya ini dilakukan 95,5 persen pegiat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) makanan dan minuman di Jakarta, berdasarkan survei Katadata Insight Center pada 2020.

Pasalnya, sejauh ini kantong plastik masih lebih murah dibandingkan produk substitusi di pasaran. Misalnya pedagang UMKM membutuhkan 1.800 lembar kantong dalam sebulan. Kemudian, harga kantong kertas satuannya Rp1.000, sedangkan kantong plastik Rp100 per lembar. Artinya, mereka harus mengeluarkan Rp1,8 juta untuk kantong kertas. Sementara kantong plastik hanya dibanderol Rp180 ribu.

Dengan demikian, pedagang UMKM harus meningkatkan anggaran belanja lebih besar, yang mana membebankan. Ditambah belakangan ini perekonomian terdampak akibat pandemi COVID-19.

Kondisi tersebut menjelaskan, bagaimana masyarakat masih bergantung pada kantong plastik. Bahkan plastik secara keseluruhan yang sifatnya sistematis, terbukti dari barang yang kita gunakan sehari-hari. Seperti helm, sikat gigi, alat elektronik, onderdil mobil, peralatan medis dan olahraga, hingga pembungkus makanan—yang dinilai dapat menjaga kualitas makanan, memperpanjang waktu penyimpanan, dan mencegah pembusukan.

Karenanya, enggak mudah menggantikan plastik dengan bahan baku lain. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, yang juga diatur dalam sejumlah peraturan pemerintah daerah.

Baca Juga: Kisah Dua Perempuan Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bangunan

Berbagai Upaya Mengurangi Plastik, Sudahkah Efektif?

Bali merupakan salah satu daerah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai. Tepatnya diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Selain plastik sekali pakai, peraturan ini juga melarang produksi, pemasaran, dan pemasokan produk yang akan menjadi sampah plastik—seperti sedotan plastik dan stirofoam.

Ada juga Bogor, dengan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Saat diwawancara Kompas, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor, Deni Wismanto menegaskan, dalam dua tahun Bogor mengurangi 69,1 persen kantong plastik. Jika dihitung secara individual, per orang menggunakan 216 lembar kantong plastik per tahun, di tengah kota besar yang umumnya menghasilkan 700 lembar.

Berdasarkan tinjauan pengamat lingkungan Eka Chlara Budiarti, kebijakan tersebut berdampak dua persen dalam mengurangi plastik sekali pakai, dan perlu dikaji kembali. Meski demikian, menurutnya pengurangan penggunaan plastik sekali pakai adalah kunci dari hierarki pengelolaan sampah.

“Kalau efektivitasnya, bisa dilihat dari progress beberapa wilayah yang menerapkan (kebijakan) itu. Nyatanya bisa menghasilkan perubahan, untuk mengurangi plastik sekali pakai dan jumlah sampah yang dikirim ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir),” ujar Clara pada Magdalene.

Sejauh ini, kebijakan yang dibentuk pemerintah fokus pada satu jenis plastik, yakni sekali pakai. Namun, pada 2030, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan akan mengurangi sampah barang dan kemasan berbahan plastik, kertas, kaca, dan aluminium. Tepatnya sebesar 30 persen dari jumlah produk yang dihasilkan, dan dipasarkan pada 2029. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Mungkin pemerintah Indonesia bisa mencontoh negara yang berhasil mengelola sampah plastik, seperti Filipina. Sejumlah kota di negara tersebut menerapkan larangan penggunaan plastik sekali pakai, yang didukung undang-undang federal.

Misalnya di Quezon City. Mereka melarang peredaran plastik sekali pakai, seperti stirofoam, sedotan, gelas, dan alat makan plastik. Jika konsumen membutuhkan kantong plastik, harus membayar dua peso—sekitar Rp500, yang disebut Plastic Recovery System Fee. Uang itu akan disalurkan untuk program lingkungan kota. Sedangkan di gedung pemerintahan, tidak diperbolehkan penggunaan kemasan yang tidak bisa terurai—kecuali untuk mengemas barang basah. 

Terlepas dari upaya pemerintah, belakangan ini terdapat inovasi pengganti kantong plastik. Salah satunya dari tepung singkong yang diusung Telobag, dan menghasilkan sejumlah produk. Seperti kantong plastik, roll plastik, poop bag untuk hewan peliharaan, dan plastik pembungkus paket.

Manager Telobag Mariani Chandra mengatakan, Telobag dapat berubah menjadi kompos di TPA, selama bergabung dengan sampah organik. “Kalau pun ketemunya sama sampah anorganik, akan dimakan organisme dan makroorganisme. Soalnya sistem pembuangan sampah di Indonesia masih open dumping,” kata Mariani.

Baca Juga: Ada Plastik Mikro dalam ASI: Haruskah Kita Setop Susui Bayi?

Terlepas dari inovasinya, Mariani menyatakan belum ada dampak besar dari produknya, lantaran penggunaan yang masih sedikit dibandingkan plastik.

Sementara menurut Chlara, bahan kantong apa pun yang berusaha menggantikan plastik masih perlu dikaji. Tujuannya untuk melihat, polimer apa saja yang dimasukkan. Sebab, dibutuhkan zat dari polimer yang mengandung bahan kimia, agar suatu bahan bersifat elastis.

Berdasarkan pengamatannya, sejauh ini belum ada bahan baku yang murah dan mudah dibentuk untuk menggantikan plastik. Ada stainless yang enggak mengandung zat kimia, tapi harganya lebih mahal. Sedangkan kemasan dari alam—seperti daun pisang—bisa dimanfaatkan, tetapi enggak cukup praktis.

“Sebenarnya sah-sah aja untuk bikin pengganti kantong plastik. Asalkan disimpan, bukan sekali pakai buang,” tutur Chlara.

Ia merefleksikan toko retail yang menyediakan tote bag. Katanya, penyediaan itu harus diikuti pengubahan mindset pada masyarakat, untuk kembali menggunakan tote bag terus-menerus. Bukan berulang kali membeli dan menjadi tumpukkan, tanpa digunakan. 

“Tote bag kan bahan dasarnya poliester, jadi substitusinya sama aja,” tambah Chlara.

Ia menegaskan, yang bisa dilakukan sejauh ini sebagai individu, adalah menyadari perilaku supaya tidak konsumtif. Setidaknya membawa kantong belanja atau plastik sebagai kemasan, mendorong masyarakat mengurangi sampah sekali pakai.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *