Lifestyle Madge PCR

Denny Caknan, Domestifikasi Perempuan, dan ‘Red Flag’ Mas-mas Jawa Misoginis

Pernyataan Denny Caknan di ‘Podcast Close The Door’ dinilai ‘red flag’ oleh netizen karena mendomestifikasi sang istri. Apa saja ciri pasangan ‘red flag’ akibat berperilaku misogini lainnya?

Avatar
  • October 6, 2023
  • 6 min read
  • 3105 Views
Denny Caknan, Domestifikasi Perempuan, dan ‘Red Flag’ Mas-mas Jawa Misoginis

Ada stereotip yang menyebut lelaki Jawa atau Mas-mas Jawa cenderung punya sifat kebapakan, ngemong, dan penyayang. Karena itulah berpasangan atau setidaknya hidup bersama dengan orang Jawa dipercaya bakal lebih bahagia. Riset Herlani dan Fivi dari Psikologi Universitas Indonesia bahkan mengafirmasi, kekuatan karakter pada orang Jawa memberi sumbangan nyaris lima puluh persen pada kebahagiaan. Dalam riset bertajuk “Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada Suku Jawa” (2010) itu dikatakan, ada lima kekuatan karakter orang Jawa, termasuk adil dan baik.

Masalahnya, tak semua lelaki Jawa demikian. Ada juga Mas-mas yang justru jadi red flag karena berpikir dan bertindak misoginis. Salah satu yang menjadi red flag diperlihatkan oleh musisi Denny Caknan di podcast Close The Door belakangan. Netizen menilai, Denny enggak menghargai Bella Bonita, sang istri, dengan mendomestifikasinya.

 

 

Contohnya ketika Denny menyatakan telah memecat tiga orang pekerjanya: Makeup artist, sopir, dan asisten. Sejak menikah, Denny mengaku ketiga pekerjaan itu dilakukan Bella. “Tiga-tiganya kan all-in-one (sama Bella), biar ngirit,” ujar Denny.

Belum sampai di situ, ketika Deddy Corbuzier bertanya perihal rencana merawat anak, Bella mengatakan ingin melakukannya tanpa bantuan pengasuh. Sepakat dengan istrinya, Denny menekankan agar Bella mengurus sang anak sendiri. Katanya, supaya enggak perlu ikut Denny manggung.

“Udah diurus sendiri aja, nanti kalau sakit (karena kecapekan urus anak dan ikut konser) ke rumah sakit lagi. Ribet,” tutur pelantun “Cundamani” tersebut.

Akibat pernyataan itu, netizen melihat Denny sebagai red flag, dengan mencerminkan citra masyarakat patriarki. Sebab, ia telah membatasi ruang gerak perempuan berdasarkan peran gender tradisional, dengan menetapkan kegiatan yang bisa dilakukan Bella, sebatas mengasuh anak.

Itu bukan kali pertama Denny menyematkan perempuan dengan peran gender tradisional. Lewat Instagram story-nya beberapa waktu lalu, Denny meminta Bella memasak karena kelaparan di malam hari. Yang kemudian menyita perhatian netizen, Bella sedang hamil muda dan waktu menunjukkan jam istirahat.

Menanggapi respons publik, Denny mengatakan, “Fungsi seorang istri itu melayani suami dalam keadaan apapun. Weteng luwe kerik-kerik, lesu kaliren (perut lapar keroncongan, lemas kelaparan), itu harus dimasakkan.” Kemudian ia menambahkan, istri perlu berbuat demikian agar suami betah di rumah, dan enggak pergi meninggalkan.

Ucapan Denny memperlihatkan sudut pandang patriarki yang mengakar dan laki-laki bersikap misogini, sehingga  melakukan tugas domestik dianggap tanggung jawab perempuan. Sekaligus menampilkan, bagaimana pekerjaan domestik jarang diapresiasi—bahkan enggak dianggap pekerjaan, lantaran dipandang enggak punya nilai sosial maupun ekonomi.

Sementara, melihat respons Bella atas ungkapan suaminya di Podcast, ia terdiam, terlihat enggak percaya. Sampai Denny menegaskan bahwa pernyataannya serius.

Respons Bella mencerminkan seolah tak punya pilihan atas keinginan Denny. Begitu pun saat ia diminta memasak. Hal itu menunjukkan, perempuan pun menginternalisasi nilai-nilai patriarki, yang tanpa sadar dimiliki. Tak lain, penyebabnya adalah patriarki yang merupakan sebuah sistem di masyarakat, membuat laki-laki diprioritaskan dan mendominasi segala aspek: Ekonomi, institusi, politik, moral, dan sosial.

Lalu, apa saja ciri-ciri laki-laki red flag yang bersikap misogini?

Baca Juga: Kenali 8 Perilaku Toksik Berkedok Sikap Romantis

1. Menganggap Dirinya Superior

Akibat budaya patriarki, sebagian laki-laki merasa dirinya superior dibandingkan perempuan, maupun identitas gender lain. Sikap ini muncul lewat berbagai tindakan: Memprioritaskan kebutuhan dan keinginannya, serta memandang lemah perempuan. Sebab, mereka percaya keberadaannya lebih penting.

Untuk menunjukkannya, kerap ditampilkan lewat sejumlah perbuatan. Seperti mewakilkan pasangannya berbicara, menganggap perempuan yang punya kekuasaan atau jabatan enggak berperan signifikan di masyarakat, atau menekankan perempuan enggak bisa melakukan hal tertentu—contohnya menyetir mobil dengan baik.

Di samping itu, upaya menunjukkan dirinya superior juga muncul dengan mengontrol pasangan. Misalnya mengatur gaya berpakaian dan kebiasaan makan. Selain itu juga membatasi pekerjaan, dan hubungan dengan teman-teman maupun keluarga.

Ketika diwawancara Magdalene pada 2021 silam, psikolog Diana Mayorita menjelaskan, beberapa hal tersebut sudah masuk dalam ranah privasi, berbeda dengan mengekspresikan preferensi. Karena itu, sebaiknya kamu enggak menuruti kata-katanya, jika dirasa enggak nyaman.

2. Enggak Mendukung Pasangannya Berkarier

Dibandingkan melihat pasangannya berkarier, laki-laki misoginis lebih senang jika pasangannya mengurus pekerjaan rumah tangga. Ini disebabkan masih adanya pandangan, tugas tersebut merupakan tanggung jawab perempuan.

Karena itu, saat melihat pasangannya ingin meningkatkan jenjang karier, laki-laki misoginis justru mempertanyakan, apa yang akan perempuan lakukan agar memiliki jabatan tinggi di pekerjaan—salah satunya punya hubungan dekat dengan atasan. Mereka enggak mengakui perempuan juga cerdas, punya kapabilitas, dan mampu bekerja keras, demi mencapai puncak karier.

Yang perlu diketahui, laki-laki enggak melulu menyampaikannya dengan eksplisit. Mereka bisa mengutarakannya dalam kalimat yang terdengar manis, seperti berikut: “Kamu kan perempuan, enggak seharusnya bekerja. Udah tanggung jawabku sebagai suami untuk menafkahi.”

Baca Juga: Rekomendasi Drakor dengan Karakter Green and Red Flags

3. Enggak Percaya pada Kesetaraan antara Laki-laki dan Perempuan

Berkaitan dengan poin sebelumnya, laki-laki misoginis enggak percaya kesetaraan gender diperlukan. Mereka beranggapan, sudah sepantasnya derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Belum lagi pengelompokkan tugas berdasarkan peran gender, sehingga laki-laki enggan melakukan pekerjaan domestik.

Ada juga yang menutup mata, dan berpendapat laki-laki dan perempuan sudah setara. Tanpa melihat adanya diskriminasi seperti beban dan standar ganda, bias gender, dan perbedaan upah kerja.

4. Melontarkan Komentar Seksis Maupun Lelucon Kasar terhadap Perempuan

Perhatikan ketika pasanganmu melontarkan lelucon, apakah termasuk kasar dan seksis? Misalnya, mengatakan perempuan terlalu emosional, inferior, dan enggak bakal nyambung kalau ngobrol seputar olahraga dan otomotif. Kemudian menganggap perempuan yang marah-marah, artinya sedang menstruasi. Atau menyalahkan seseorang yang menjadi korban kekerasan seksual, berdasarkan gaya berpakaiannya.

5. Mengobjektifikasi dan Merendahkan Tubuh Perempuan

Alih-alih melihat kepribadian, pencapaian, atau sesuatu yang dilakukan, sebagian laki-laki menilai perempuan berdasarkan kondisi fisik. Hal ini kemudian memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan perempuan—menunjukkan ketertarikan dan sikap menghargai, atau memandang sebelah mata dan mengritisi penampilan jika tak rupawan.

Baca Juga: Dari Bucin Jadi Hubungan Toksik: Kenali Tanda-tandanya

Bagaimana Cara Menghadapi Pasangan Misoginis?

Dalam wawancara bersama VICE, terapis hubungan asal Amsterdam, Joey Steur menjelaskan, salah satu penyebab laki-laki berperilaku misoginis ialah perasaan insecure. Perasaan tersebut muncul lantaran enggak tahu, peran yang harus dijalani di lingkungan masyarakat. Kemudian tercermin dalam relasi romantis, karena sulit memahami apa yang mesti ditawarkan pada pasangannya, ketika pembagian kerja sudah tidak lagi dilakukan secara konvensional.

Suatu hal yang wajar, jika kamu merasa tersinggung dengan cara pandang pasangan yang misoginis. Sebab, sebagai perempuan kamu memiliki pengalaman personal. Meski demikian, Steur menyarankan supaya enggak langsung bersikap defensif, karena akan memperkeruh keadaan.

Ia mendorong untuk membangun safe space dan percakapan dengan pasangan, terkait perasaan insecure tanpa menghakimi. Terutama saat sedang tidak ada konflik dalam hubungan. Kamu bisa bertanya, mengapa pasangan bersikap atau menyampaikan kalimat misoginis.

“Tanya sama pasanganmu, dari mana pikiran seperti itu muncul? Apakah dia mendiskusikannya dengan teman-teman?” ucap Steur.

Menurut Steur, yang tak kalah penting, kamu perlu mengingat cara berpikir pasangan lebih berkaitan dengan dirinya, dibandingkan dirimu. Contohnya latar belakang keluarga dan pertemanan, serta media yang dikonsumsi, yang membuatnya menginternalisasi misogini. Jika pasangan sudah menyadari dan memahami cara berpikir dan berperilaku, kamu baru bisa menyampaikan bagaimana tindakannya berdampak padamu.

Namun, apabila yang terjadi sebaliknya—pasangan enggak mau membuka diri dan bersikap rapuh—kamu bisa jujur tentang perasaanmu. Kemudian berkompromi tentang nilai-nilai yang bisa ditoleransi dan tidak. Pada akhirnya, kamu yang bisa menentukan, apakah perlakuan misoginis akan menjadi akar permasalahan dalam hubungan, sehingga sebaiknya diakhiri?


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *