Issues Politics & Society

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Presiden Keluarkan Amnesti untuk Baiq Nuril

Keputusan MA terhadap kasus Baiq Nuril dinilai menyulitkan korban kekerasan seksual menyuarakan kasusnya.

Avatar
  • July 5, 2019
  • 3 min read
  • 117 Views
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Presiden Keluarkan Amnesti untuk Baiq Nuril

Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) perkara korban pelecehan seksual tersebut.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Jumat (5/7), Koalisi tersebut mengatakan bahwa dengan ditolaknya PK Nuril, maka MA telah menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Nuril, yakni pidana penjara enam bulan dan denda Rp500 juta.

 

 

Penolakan dari Mahkamah Agung ini, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril, sangatlah mengecewakan. Pasalnya, kasus Ibu Nuril yang melakukan perekaman terhadap kekerasan seksual yang terjadi terhadap dirinya, merupakan perbuatan yang seharusnya didukung dan atas kejadian yang dialaminya, Ibu Nuril seharusnya diberikan perlindungan oleh negara. Sayangnya, negara justru menjerat Ibu Nuril dengan pidana penjara, karena dianggap telah melakukan distribusi informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Mahkamah Agung, menurut Koalisi tersebut, seharusnya dapat lebih cermat dan berperspektif dalam menilai kasus ini, mengingat MA sendiri telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam PERMA ini, disampaikan bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan gender dan non diskriminasi dalam proses identifikasi fakta persidangan. Sayangnya, hal inilah yang kemudian gagal untuk dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidaanaan Ibu Nuril.

Tidak hanya kegagalan dalam melihat kasus Nuril ini sebagai sebuah kasus kekerasan seksual yang tidak layak untuk diadili, MA, merujuk pada putusan kasasi dalam perkara ini, justru gagal dalam melihat pertanyaan hukum yang harus dijawab di dalam perkara berkaitan dengan pembuktian. Perlu diketahui, bahwa alat bukti elektronik yang diajukan di dalam persidangan kasus ini, bukan merupakan alat bukti elektronik asli, melainkan hasil penggandaan berulang kali tanpa adanya rekaman asli yang dapat menguatkan orisinalitas dari alat bukti ini.

Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril mendesak agar putusan ini tidak dijadikan preseden dalam penanganan perkara perempuan yang mengalami kekerasan seksual, sebab jelas hal ini akan mematikan upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual berani berbicara dan bertindak atas kekerasan yang dialaminya. Korban kekerasan seksual harus diberikan ruang yang aman untuk berbicara, menyampaikan kasusnya, dan memperoleh keadilan atas apa yang terjadi kepadanya. Jangan sampai karena kasus ini, korban kekerasan seksual lain semakin takut untuk mengutarakan apa yang dialaminya dan oleh karenanya pelaku kekerasan seksual semakin leluasa dalam bertindak sewenang-wenang.

Atas kejadian ini, Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Ibu Baiq Nuril. Sebagai catatan, sejauh ini sudah ada dukungan oleh 241.331 warga Indonesia yang telah menandatangani petisi “Amnesti untuk Nuril: Jangan Penjarakan Korban!” melalui sarana digital. Amnesti, saat ini merupakan harapan terakhir Ibu Nuril agar dirinya tidak dipenjara dan harus dipisahkan dari keluarganya atas keberaniannya untuk melawan pelaku kekerasan seksual yang dialaminya.

Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril juga menagih janji DPR untuk membentuk Tim Eksaminasi perkara ini. Dengan membentuk Tim Eksaminasi, akan terlihat bagaimana kasus ini tidak layak untuk diadili dan diproses, sehingga DPR dapat memberikan dorongan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Nuril.

Koalisi Save Ibu Nuril terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers),  Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist Discussion Group), PurpleCode Collective, Perempuan Lintas Batas (Peretas), Hollaback! Jakarta, Paguyuban UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE), Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah DKI Jakarta.

Foto dari SAFENet


Avatar
About Author

Magdalene