Greenpeace: Papua Bukan Tanah Kosong, tapi Tetap Mau Ditanami Sawit
Greenpeace Indonesia mengkritisi pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang rencana menggunakan lebih banyak lahan di Papua untuk perkebunan kelapa sawit untuk mendorong kemandirian ekonomi daerah.
Rencana yang disampaikan Prabowo dalam pertemuan bersama para menteri dan kepala daerah se-Papua dua hari lalu (16/12) tersebut dikhawatirkan akan berdampak serius pada ekologi Papua, dan menimbulkan ketidakadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakatnya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Obsesi Berlebihan Prabowo pada Sawit?
“Seharusnya pemerintah belajar bahwa menanam sawit mempunyai dampak ekologis yang besar, dan itu sudah terbukti dari bencana ekologis di Sumatera yang dipicu deforestasi akibat sawit,” Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji mengatakan dalam wawancara dengan Magdalene (17/12).
Selain itu, Sekar mengatakan rencana ini akan berdampak pada ketidakadilan bagi masyarakat Papua, terutama karena mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan ini.
“Rencana Prabowo mencerminkan logika kolonial, seolah-olah Papua akan menerima ditanami apa saja tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakatnya,” Sekar mengatakan.
Hal tersebut dapat menciptakan konflik antara masyarakat dengan pemilik perkebunan kelapa sawit. Data menunjukkan banyak masyarakat adat dan lokal berkonflik dengan perusahaan sawit, katanya.
Ia menilai penggunaan sawit sebagai solusi ekonomi daerah justru menunjukan pemerintah telah gagal karena yang paling dirugikan adalah masyarakat adat dan masyarakat setempat.
“Sawit hanya akan menguntungkan individu, sebagian kelompok tertentu saja,” katanya. “Sawit tidak akan menguntungkan masyarakat Papua. Kemiskinan akan terus banyak, masyarakat tetap miskin, dan tak dapat akses dari keuntungan sawit.”
Selain itu Sekar juga menambahkan, yang ditolak masyarakat adat ialah cara pembangunan monokultur sawit yang melibatkan tanah luas, mengorbankan hutan, serta segala yang ada di atas tanah. Narasi pemerintah yang mengkampanyekan seolah sawit itu baik harus dilawan, kata Sekar.
“Doktrin bahwa sawit itu baik harus dilawan. Dalam praktiknya, masyarakat adat, lokal, dan perempuan perempuan jadi pihak yang paling menderita karena sawit,” katanya.
Menurut Sekar, seharusnya masyarakat Papua diberikan kebebasan menentukan tanaman yang ingin mereka tanam di tanah mereka sendiri.
Baca Juga: Perempuan Suku Anak Dalam dalam Kepungan Sawit: Tanggung Beban Ganda sampai Pelecehan
Sawit: Timbulkan Bencana, Tanpa Izin, dan Logika Kolonial Pemerintah
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 , produksi tanaman perkebunan sawit menyentuh 47.474,60 ton, dengan luas kelapa sawit menyentuh 16,9 juta hektar tanah tersebar di 26 provinsi di seluruh indonesia. Dalam pidatonya dua hari lalu, Prabowo mengatakan bahwa kelapa sawit di Papua diharapkan dapat memproduksi bahan bakar.
Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan deforestasi Papua untuk perkebunan kelapa sawit akan meningkatkan emisi karbon sehingga memperparah krisis iklim di Indonesia.
“Banjir, kebakaran, longsor, kekeringan, kehilangan akses terhadap pangan maupun penghidupan lainnya, belum lagi konflik yang akan terjadi. Harusnya kita bisa belajar dari pengalaman-pengalaman itu,” ujarnya kepada Magdalene melalui pesan singkat (18/12).
Kata Belgis, beberapa masyarakat adat di Papua menolak keras tanah mereka dijadikan perkebunan sawit. Salah satu pemimpin gerakan penolakan ini adalah Franky Woro, yang menggugat rencana penggunaan lahan masyarakat adat Awyu di Boven Digoel untuk perkebunan kelapa sawit.
“Bagi masyarakat adat di Papua, hutan adalah mama. Jika hutan-hutan mereka diubah menjadi sawit, mereka kemudian akan kehilangan banyak hal — pengetahuan, ruang hidup, identitas bahkan konflik,” katanya.
















