Issues Opini Politics & Society

Prabowo, Ucapan ‘Ndasmu’, dan Feodalisme Politik Gaya Baru 

Engkaukah raja yang sesungguhnya itu, Pak Presiden?

Avatar
  • February 19, 2025
  • 6 min read
  • 4436 Views
Prabowo, Ucapan ‘Ndasmu’, dan Feodalisme Politik Gaya Baru 

Sejak 2010, saya terbiasa bekerja di perusahaan media yang cenderung egaliter. Di industri ini, biasa saja junior mengkritik senior tanpa perlu merasa bersalah. Rapat editorial pun berjalan dinamis tanpa diwarnai terlalu banyak basa-basi. Karena itu saya agak canggung saat memasuki dunia akademik dengan menjadi dosen di sebuah kampus pada 2022. 

Mendadak, saya harus berhadapan dengan aturan tak tertulis bahwa mahasiswa harus berkata “punten, mohon izin, maaf kalau saya salah” sebelum menyampaikan pendapat. Feodalisme ini juga merayap dalam rapat-rapat kurikulum, acara kampus, atau grup percakapan dosen dan mahasiswa. Seolah haram hukumnya bicara—apalagi mengkritik—jika tak mengantongi izin dari orang yang secara hierarkis dianggap sebagai patron atau lebih senior. 

 

Dalam politik Indonesia hari-hari ini, kita melihat bagaimana logika feodal semakin menguat—dengan pemimpin yang dipuja-puja bak raja, kritik dianggap sebagai pembangkangan, dan rakyat diposisikan sebagai “anak” yang harus patuh. Contoh terbaru tampak saat Presiden Prabowo Subianto berpidato dalam acara harlah Gerindra ke-17 (15/2). 

Baca juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek

Saat itu, Prabowo dengan lirih dan mimik datar melontarkan kata “Ndasmu”–atau kepalamu, dalam Bahasa Jawa—saat merespons kritik publik soal kabinetnya yang dianggap terlalu gemuk.

“Kabinet ini kabinet gemuk, terlalu besar. Ndasmu,” yang disambut tawa oleh hadirin termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dilansir dari Kompas, ini bukan kali pertama Prabowo mengucapkan kata tersebut. Dua tahun silam saat masih jadi calon presiden nomor urut 2, ia pernah menirukan pertanyaan Anies Baswedan dalam debat capres, 12 Desember 2023, “Bagaimana perasaan Mas Prabowo soal etik? Etik, etik, etik. Ndasmu etik (etik kepalamu),” katanya.

Di mata saya, ucapan “Ndasmu” bisa jadi indikasi bagaimana ia memandang suara sumbang dari publik. Prabowo tak memperlakukan kritik sebagai masukan yang perlu direspons dengan bijak tapi gangguan di ujung jubah yang sudah sepantasnya dibersihkan. Saya harus sepakat dengan pendapat sejumlah warganet termasuk Mas Ferdi Nuril bahwa ini bukan reaksi yang menunjukkan kelas dan kewibawaan seorang negarawan.

Sayangnya, reaksi yang kurang elegan juga terlihat terang benderang dari cara dia membuat kebijakan yang berubah-ubah. Sebut saja saat tsunami kritik mengalir di tengah kebijakan mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, Prabowo dengan heroik menganulir itu. Same vibes dengan momen ketika ia tampil membatalkan kebijakan pembatasan elpiji 3 kg di tingkat pengecer bulan lalu. 

Lalu ketika rakyat gaduh soal kebijakan efisiensi anggaran senilai Rp306,69 Triliun, Prabowo menunjukkan inkonsistensi kelas wahid yang bikin mahasiswa semakin mendidih. Mulanya ia bilang, efisiensi anggaran bakal dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, tiba-tiba ia mengeklaim sebagian besar dana akan dimasukkan ke Danantara, perusahaan induk BUMN. Kebingungan publik semakin menjadi karena enggak ada transparansi atas keputusan ini. 

Sebagai dosen yang pernah mengajar mata kuliah Komunikasi Politik, gaya komunikasi Prabowo di atas menunjukkan bahwa ia lebih mengarusutamakan otoritas personal alih-alih proses deliberatif yang demokratif. Lalu apa bahayanya? 

Baca juga: 100 Hari Rezim Prabowo-Gibran, Perlindungan HAM Kian Suram

Feodalisme Politik Gaya Baru dan Bahayanya 

Dulu di era Jokowi, kita menyaksikan betapa komunikasi pemerintah berjalan sentralistik dengan fokus pada upaya memoles citra di sana sini. Enggak heran jika influencer, artis, dan pesohor lain banyak digandeng untuk promosi kebijakan yang serampangan. Di rezim baru sekarang, saya melihat ada gaya komunikasi yang cenderung lebih tertutup, satu arah, dan defensif. Sebenarnya gejala ini sudah terpotret dari beberapa sensor dan pembungkaman yang dilakukan terhadap warga. Misalnya, pembreidelan Pameran Lukisan Karya Yos Suprapto Di Galeri Nasional pada 19 Desember 2024. Atau yang terbaru larangan pementasan teater “Wawancara dengan Mulyono” di ISBI Bandung, 15 dan 16 Februari 2025. 

Gaya komunikasi macam ini telah menunjukkan secara gamblang bahwa Prabowo melihat relasi antara pemerintah dan rakyat secara tak setara. Saya semakin yakin setelah mendengar pidato Prabowo yang menyebut pejabat negara sebagai orang tua yang harus dihormati, sedangkan jurnalis sebagai anak yang seolah mesti patuh ketika orang tua sedang bicara. Seolah-olah rakyat termasuk jurnalis harus tunduk, tak boleh bertanya, dan jika mengkritik pun harus santun—sebuah aturan yang sangat subjektif, bagaimana menentukan derajat kesantunan dalam kritik? Pola pikir macam ini tentu berbahaya buat demokrasi sebab sejatinya pemimpin itu adalah pelayan atau wakil rakat bukan raja yang harus dipuja. 

Feodalisme dalam politik Indonesia sendiri punya akar sejarah merentang zaman. Dulu di masa kerajaan Jawa tradisional, raja atau pemimpin dianggap sebagai figur yang memiliki wahyu kekuasaan dan otoritasnya tidak boleh digugat, kata sejarawan Cornell University Benedict Anderson dalam buku “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972). 

Celaka dua belas, pola ini dipelihara oleh sistem politik modern Indonesia di mana pemimpin acap kali dianggap sebagai sosok yang punya impunitas, tak boleh disalahkan, dan harus dihormati. Di era Orde Baru misalnya, Presiden Soeharto memperkuat feodalisme politik ala raja Jawa ini dengan menahbiskan diri sebagai “Bapak Pembangunan”. 

Menurut pakar politik Edward Aspinall di bukunya “Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia” (2005), komunikasi politik Soeharto lebih banyak bersifat searah lewat media yang dikontrol negara. Ketika kritik muncul dari media non-partisan atau rakyat, biasanya Soeharto akan membungkamnya tanpa ragu. 

Pola inilah yang sepertinya dimunculkan kembali di era Prabowo di mana komunikasi berjalan satu arah dan kritik dianggap sebagai batu sandungan. Riset Rizkiya Ayu Maulida, Dosen Komunikasi UPN Veteran Jakarta mengonfirmasinya. 

Feodalisme politik gaya baru Prabowo tak sekadar masalah budaya tapi ancaman riil terhadap partisipasi dan kritik publik. Kala pemimpin merasa dirinya tak perlu dipertanyakan, kebijakan bisa dibuat tanpa pengawasan, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Enggak cuma itu, menempatkan rakyat sebagai “anak” yang patuh, berpotensi mempersempit keterlibatan mereka dalam proses politik. 

Pelbagai kebijakan yang dibuat tanpa akuntabilitas dan minim kritik, juga biasanya cenderung lemah, nirkompeten, dan tak berorientasi pada moralitas publik—meminjam istilah Bivitri Susanti. Dalam derajat yang lebih mengkhawatirkan lagi, feodalisme politik ini bisa mengarah pada otoritarianisme. Kurang lebih seperti merasakan kepemimpinan Soeharto 2.0.  

Baca juga: Jadi ASN Tak Jamin Hidup Nyaman: Cerita Mereka yang Terdampak Efisiensi Anggaran

Apa Solusinya? 

Guna memperbaiki situasi ini, pemerintah mau enggak mau perlu lebih transparan dan membuka ruang komunikasi dua arah dengan rakyat. Seperti sekarang, ketika amarah rakyat memuncak di tengah aksi massa #IndonesiaGelap, pemerintah harus legowo merespons kritik dengan lebih bijak dan berorientasi pada publik alih-alih kepentingan elit. 

Mengutip Jurgen Habermas dalam “Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy” (1996), komunikasi pemerintah yang sehat harus melibatkan diskusi terbuka di ruang publik, di mana masyarakat bisa menyampaikan kritik tanpa rasa takut. Jika pemerintah terus menutup diri dan justru sibuk mengintimidasi orang-orang yang vokal di masyarakat, maka bukan tidak mungkin, kepercayaan publik terhadap institusi negara akan terus tergerus.  

Agar kritik di ruang publik semakin terjamin, pemerintah seharusnya juga menyadari bahwa peran lembaga pengawas, termasuk pers, aktivis, seniman, akademisi, dan rakyat pada umumnya harus diperkuat. Bukannya diperlemah dengan ancaman pidana atau digembosi dengan iming-iming tambang #Eh. 

Sampai saat pemerintah dapat hidayah untuk berubah dan melakukan beberapa usulan di atas, sebagai rakyat kita mesti istiqomah memperkuat barisan. Sebab perlawanan sekecil apa pun adalah perlawanan. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *