Larangan Jual Elpiji 3 KG Eceran, OK Gas Penderitaan Perempuan
Selain bertentangan dengan komitmen keberpihakan Prabowo terhadap rakyat kecil, pembatasan elpiji 3 kg juga bikin perempuan merugi. Ini kumpulan kisah mereka dari berbagai daerah.

Empat hari belakangan, meme dan satir tentang kelangkaan gas melon atau elpiji tiga kilogram (kg) ramai beredar di media sosial. Penyebabnya adalah kebijakan pemerintah yang melarang penjualan gas elpiji (LPG) tiga kg di tingkat pengecer per (1/2) lalu. Masalahnya, alih-alih jadi jalan keluar dari subsidi yang salah sasaran, otak-atik gas melon ini cuma memperpanjang daftar penderitaan. Perempuan di rumah tangga dan penjual kecil dalam hal ini jadi yang paling terdampak.
Salah satunya dialami langsung oleh Sutiyem, 38, warga Cipayung, Depok, Jawa Barat. Sehari-hari ia berjualan bakso bersama suami. Meski sudah mempersiapkan cadangan tabung gas melon untuk jualan, pembatasan elpiji 3 kg yang memicu kelangkaan ini membuat ia kalang kabut.
Tiga toko elpiji di sekitar rumah didatangi, tapi nihil. Ia juga sempat ikut antre di salah satu pangkalan elpiji, tapi setelah dua jam menunggu, tabung gas tak kunjung didapat. Padahal salinan KTP yang disyaratkan untuk pembelian sudah disiapkan perempuan yang familier disapa Emon tersebut.
“Saya sengaja antre dari jam 08.00 pagi begitu pangkalan buka, tapi tetap aja tuh enggak kebagian. Habis, dimana-mana gas habis, langka,” ujarnya pada Magdalene, (4/2).
Emon bilang, banyak teman perempuannya di sekitar rumah yang bernasib sama, mulai dari penjual gorengan, seblak, bubur, hingga mi ayam. “Kami ini udah pasrah, kalau besok tetap enggak dapat tabung gas di pangkalan, warung makanan ya harus ditutup,” imbuhnya.
Baca juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025
Hal senada juga dialami Mina, 50, ibu rumah tangga asal Tanjung Pandan, Belitung. Menurut dia, tabung gas melon di Belitung bak ditelan Bumi. “Bukan langka lagi, tapi kayak ngilang gitu aja. mana aturan sekarang yang ribet, stoknya enggak banyak. Bikin ibu-ibu seperti kita jadi pusing mikirin solusinya,” ujarnya saat dihubungi via telepon oleh Magdalene hari ini.
Bukan sekali ini saja Mina menghadapi kelangkaan elpiji. Dalam sepuluh tahun terakhir, rasa-rasanya gas langka menjadi pengalaman rutin, siapa pun pejabat yang memimpin, katanya. Terlebih Mina berasal dari daerah kecil yang stok elpijinya relatif tak sebanyak di kota-kota besar. Dengan perannya sebagai ibu rumah tangga, kelangkaan ini membuat ia harus bersiasat agar kebutuhan pangan keluarga tetap terpenuhi.
Masih dari Belitung, Nita, 40 juga punya pengalaman tak mengenakkan di tengah kondisi kelangkaan elpiji. Pagi hari saat sedang mempersiapkan sarapan keluarga, gas di rumahnya habis. Spontan ia berlari ke toko dekat rumah. Nita harus menelan ludah karena gas yang dicarinya tak tersedia di toko. Untuk pergi ke pangkalan pun butuh waktu dan harus mempersiapkan persyaratan dokumen terlebih dulu.
Akhirnya, ia memilih untuk membeli sarapan. Begitu seterusnya selama beberapa hari terakhir. Buat Nita, keputusan membeli makan di luar jelas mempergemuk pengeluaran keluarga. Padahal ikat pinggang harus diketatkan mengingat suami cuma bekerja serabutan dan kedua anaknya masih sekolah.
“Jika bisa memilih, saya mau memasak sendiri karena bisa sekalian hemat buat makan berempat dibanding beli di luar. Kalau gas terus menerus langka dan dibatasi penjualannya, saya bingung harus gimana. Ongkos dan biaya bensin dari rumah pergi pangkalan resmi bisa saya pakai untuk beli bahan masakan,” ujarnya.
Di tempat terpisah, “Dwi Kurniawati”, 23 juga menghadapi dilema yang sama. Ibu tunggal dari Bantul, DIY ini mengaku sudah antre berjam-jam di pangkalan demi mendapat tabung gas. Sebagai informasi, jarak pangkalan ke rumahnya sekitar 11 kilometer. Ia memilih antre dari pagi demi mendapatkan tabung gas melon.
“Kalau mau dicari sebenarnya bisa aja ketemu tabung gas di pengecer atau calo tapi pasti harganya jadi mahal sekali. Ada yang mencapai Rp35 ribu. Angka ini terpaut jauh dibanding harga di pangkalan resmi. Cuma ya gitu, sudah antre pun belum tentu dapat,” tuturnya, (3/2).
Baca juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya
Otak-Atik Kebijakan, Buat Apa dan Siapa Sebenarnya?
Kelangkaan elpiji 3 kg ini adalah buntut kebijakan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang LPG Tertentu Tepat Sasaran, pemerintah bermaksud menertibkan tata kelola elpiji 3 kg, termasuk potensi kenaikan harga yang semena-mena.
Dalam peraturan ini dijelaskan, penjualan elpiji 3 kg hanya bisa dilakukan oleh subpangkalan resmi yang memiliki nomor induk berusaha (NIB). Selain itu, pemerintah juga “memberi kesempatan” kepada pengecer untuk naik jadi pangkalan atau subpangkalan resmi elpiji 3 kg.
Bahlil sendiri dalam keterangan pers Kementerian ESDM, (3/2), dilansir dari Hukum Online menjelaskan, ada indikasi penyimpangan dalam rantai distribusi yang memicu kenaikan harga di tingkat pengecer. Idealnya, distribusi elpiji 3 kg dilakukan dari Pertamina ke agen, lanjut pangkalan dan pengecer. Namun ia berdalih ada orang yang membeli elpiji dalam jumlah besar dengan cara enggak wajar dan memainkan harga di tingkat pengecer.
Selain masalah tata kelola, Bahlil juga berharap kebijakan baru bisa membuat beban anggaran pemerintah bisa lebih ringan. Sebagai informasi, saat ini subsidi elpiji 3 kg yang digulirkan pemerintah sebesar Rp87 triliun. Hitung-hitungannya per satu kilogram, pemerintah memberi subsidi Rp36 ribu. Jika tak disubsidi, elpiji 3 kg mencapai Rp42.750.
Menurut catatan Kompas, penertiban tata kelola dan subsidi elpiji 3 kg ini sebenarnya adalah masalah usang yang tak pernah ada jalan keluar yang pas. Mulanya tabung gas melon ditujukan untuk rumah tangga dan usaha mikro, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram.
Masalahnya, frasa “Hanya untuk Masyarakat Miskin” yang tersemat di tabung gas melon ini di lapangan tak dibarengi dengan pengawasan ketat. Alhasil, siapa saja bisa mengaksesnya termasuk masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas. Menurut Kompas, situasinya mirip seperti Pertalite bersubsidi yang mestinya cuma untuk rakyat miskin.
Memang setelahnya ada beberapa kebijakan lanjutan untuk mengatasi sengkarut LPG bersubsidi ini, termasuk yang terbaru kebijakan Bahlil. Namun, seiring dengan masifnya keluhan dan kritik publik, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan agar pengecer boleh kembali berjualan LPG 3 kg.
“Presiden kemudian telah menginstruksikan kepada Kementerian ESDM untuk per hari ini mengaktifkan kembali pengecer-pengecer yang ada, untuk berjualan seperti biasa, sambil kemudian pengecer-pengecer itu akan dijadikan sub daripada pangkalan,” kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dilansir dari Kompas.
Baca juga: Bagaimana dengan Subsidi Energi, Bapak Capres?
Perempuan dan Rakyat Kecil Jadi Korban
Di sisi lain, pengalaman beberapa perempuan yang diwawancarai Magdalene menjadi bukti dalam kondisi ini, mereka jadi kelompok yang paling rentan. Ini enggak lepas dari ekspektasi peran gender yang mengharuskan perempuan untuk lebih banyak mengatur kebutuhan rumah tangga. Karena itu ketika kelangkaan elpiji menuai efek domino lain seperti kenaikan harga pangan dan kebutuhan di pasaran, perempuanlah yang harus berpikir dan bekerja lebih keras.
Kondisi ini sebenarnya tergambar dari pemandangan yang mondar-mandir di media sosial. Perempuan jadi pihak yang lebih sering antre mencari elpiji 3 kg dibanding lelaki. Bahkan yang terbaru kita dikagetkan dengan berita meninggalnya seorang perempuan usai mengantre elpiji 3 kg di Pamulang, Banten. Kehilangan satu nyawa perempuan, sama saja kehilangan sejumlah aspek penting di seluruh anggota keluarga lain: Kesehatan mental, ekonomi, sosial.
Riset Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU) bertajuk “Menguak Keberadaan dan Kehidupan Perempuan Kepala Keluarga: Laporan Hasil Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK-PEKKA)” (2014) menjelaskan ini. Di sana disebutkan, perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan dan terpengaruh lebih buruk dibandingkan laki-laki saat terjadi guncangan ekonomi.
Kerentanan terhadap kemiskinan menjadi makin tinggi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena peran dan beban yang harus ditanggungnya lebih berat bila dibandingkan perempuan lainnya. Terkadang perempuan kepala keluarga seperti Dwi Kurniawati, harus lebih kreatif mencari penghasilan tambahan. Kepada Magdalene ia cerita, jika kondisi kelangkaan elpiji tak kunjung membaik, ia sudah berpikir akan mengambil kerja-kerja tambahan untuk anak semata wayangnya.
Apa Solusinya?
Setidaknya ada sejumlah solusi yang bisa diupayakan alih-alih bolak-balik menganulir kebijakan pembatasan elpiji 3 kg. Pertama adalah revisi regulasi. Kedua, mengubah sistem tata kelola dari terbuka jadi tertutup.
Terkait solusi pertama, disitir dari BBC Indonesia, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyarankan pemerintah membenahi Perpres Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kilogram.
Sebab, definisi kelompok rumah tangga dan usaha mikro sebagai penerima elpiji 3 kg ini cukup sumir. Artinya, itu berpotensi melahirkan penyalahgunaan yang tidak tepat sasaran. Enggak cuma warga miskin atau UMKM, tapi juga kelas menengah dan kaya.
Selain itu, ketimbang pelarangan, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi kepada BBC Indonesia mengungkapkan, pemerintah perlu mengubah subsidi gas melon dari sistem terbuka ke tertutup. Sehingga, ada celah dari siapa saja untuk membeli elpiji 3 kg.
Karena itu ia mengusulkan agar masyarakat kurang mampu diberikan kartu berisi barcode demi memudahkan dalam membeli dan mendapatkan elpiji 3 kg dengan harga subsidi. Langkah ini bisa membuat penyalahgunaan pembelian oleh orang yang tak berhak, bisa ditekan atau dihilangkan.
