‘Dia Bukan Ibu’: Horor yang Dihadapi Perempuan Saat Kehilangan Dirinya Sendiri
Pikiran itu muncul ketika menonton salah satu adegan film terbaru garapan Randolph Zaini, Dia Bukan Ibu. Yanti—diperankan Artika Sari Devi, sahabat saya—tampak berusaha mati-matian menahan suaminya agar tidak meninggalkan rumah. Dengan totalitas, Artika memerankan seorang istri yang berlutut, memeluk kaki sang suami, menangis tersedu sambil memohon, “Aku minta maaf. Maafin aku. Kamu maunya aku gimana?” Sang suami hanya terdiam, melepaskan diri, lalu pergi begitu saja.
Adegan itu membekas di kepala saya. Pada malam di tahun 2015, jika saya tahu mantan suami benar-benar tak akan kembali, besar kemungkinan saya pun akan merunduk, meminta maaf tanpa tahu salah apa, merintih agar dia bertahan, menahannya di depan pintu rumah. Semua hanya demi menyelamatkan rumah tangga dari label gagal, dari kenyataan ditinggalkan demi perempuan lain.
Pemandangan serupa pernah saya saksikan jauh sebelumnya. Puluhan tahun lalu, kakak ipar saya yang tengah hamil besar meraung sambil memeluk kaki abang saya. Alasannya sama: si abang merasa jatuh cinta pada perempuan lain.
Baca juga: Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor
Bagi saya, adegan itu bukan sekadar bagian dari film. Ia terasa menusuk karena begitu dekat dengan kenyataan banyak perempuan Indonesia—termasuk saya sendiri.
Dia Bukan Ibu dipasarkan sebagai film horor. Tapi horor terbesar yang saya tangkap bukanlah sosok hantu yang bergentayangan di layar. Horor itu justru lahir dari relasi: saat perempuan kehilangan dirinya dalam pernikahan. Saya kerap berseloroh dengan nada sarkas, menjadi perempuan di Indonesia itu seakan ditakdirkan terus mengabdi. Sebagai anak, dituntut berbakti. Sebagai istri, diminta patuh pada suami. Lalu ketika menjadi ibu, kembali harus mulia tanpa cela, laksana bidadari.
Ada satu simbol yang berulang dalam film ini: segelas susu yang terus-menerus diteguk Yanti. Buat saya, susu itu menjelma simbol getir. Sebuah perumpamaan tentang realitas: perempuan yang habis-habisan memberi—diperah tanpa henti—lalu berusaha mengisi dirinya kembali.
Usaha yang rapuh untuk kembali utuh, meski tubuh dan jiwa telah retak. Sebuah metafora tentang perempuan yang terus memberi, tapi jarang diberi ruang untuk pulih.
Baca juga: Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula
Bermain-main dengan Stigma “Janda Kembang”
Ini jadi kritik sosial relevan: tentang bagaimana patriarki membuat perempuan melebur dalam identitas sebagai “istri” dan “ibu”, hingga lupa siapa dirinya sendiri. Berapa banyak perempuan yang tetap saja ditinggalkan dan diabaikan haknya, meski sudah melakukan segalanya.
Beban sebagai tulang punggung pun kerap datang tanpa kesiapan, tanpa pilihan, tanpa dukungan. Film ini menunjukkan, “ibu” bukan hanya sosok yang memberi tanpa henti, tapi juga sosok yang paling sering diabaikan, meski seluruh hidupnya dijalani demi keluarga—baik yang ia pilih secara sadar, maupun yang terpaksa ia jalani.
Namun Dia Bukan Ibu tidak hanya soal horor kehilangan. Ada sisipan kritik terhadap stigma lama: stereotip tentang perempuan yang mendadak tampil memesona begitu statusnya berubah jadi janda.
Lewat adegan Yanti mengelola salon, film ini merekam bagaimana masyarakat sering menatap janda dengan lensa curiga—cantik dianggap “menggoda”, percaya diri dianggap “mengancam”. Ada juga napas perlawanan Yanti yang sempat muncul, sebelum akhirnya terhenti dengan cara yang ironis. Di ujung cerita, ia memilih merebut kembali kendali atas hidupnya, tapi justru dengan mengorbankan dirinya sendiri.
Lagi-lagi, perempuan digambarkan seolah-olah tak pernah sungguh bebas memilih.
Film ini menangkap hal itu lewat detail kecil yang telak: Yanti mengelola salon, ruang yang mestinya memberi penghidupan, justru jadi titik di mana tatapan orang sekitar terasa paling menekan. Horor dalam film ini tak lagi sebatas hantu, tapi juga hadir dalam tatapan kolektif, gosip tetangga, dan stigma yang membekas dalam tubuh perempuan.
Randolph menempatkan Yanti di ruang-ruang yang familiar—dapur, salon, meja makan—tetapi film memutar ulang bagaimana ruang itu berubah menjadi jebakan tatapan dan gosip. Salon, yang mestinya sumber penghidupan, malah menjadi panggung di mana masyarakat membaca ulang tubuh Yanti: cantik dikira provokatif, mandiri disangka mengancam. Observasi ini tak hanya soal satu film; ia merefleksikan temuan lapangan tentang bagaimana stigma beroperasi—membentuk wacana yang menjauhkan janda dari dukungan sosial yang seharusnya mereka terima.
Genre horor telah lama menjadikan tubuh dan pengalaman perempuan sebagai medan tempat ketakutan diproduksi. Dari legenda kuntilanak yang mati karena persalinan atau dikhianati suami, hingga film-film modern, narasinya sering sama: penderitaan perempuan dalam patriarki lalu dimanifestasikan sebagai kutukan dan teror. Dia Bukan Ibu mengikuti tradisi ini dengan baik.
Kajian-kajian film panjang tentang horor menegaskan tradisi ini: teori klasik Carol J. Clover melalui konsep final girl menjelaskan bagaimana genre slasher dan horor sering menandai tubuh perempuan sebagai pusat konflik gender dan seksual. Sementara Barbara Creed, melalui konsep the monstrous-feminine, menyorot bagaimana tubuh reproduktif perempuan—kehamilan, menyusui, kehilangan—sering dialihwujudkan menjadi sumber “kengerian” dalam narasi populer.
Baca juga: Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan
Bagi saya, Dia Bukan Ibu jadi pengalaman menonton horor Indonesia yang menyenangkan. Selama ini saya cenderung malas masuk bioskop untuk genre ini: premisnya berulang, eksekusinya sering membuat jengah. Tapi film besutan Randolph Zaini ini di luar ekspektasi saya. Salah satunya karena performa Artika Sari Devi sebagai Yanti. Saya nyaris tak pernah membayangkan ia bisa tampil sekuat ini di layar. Penampilannya sebagai Yanti sungguh memikat: penuh emosi, intens, sekaligus rapuh.
Aurora Ribero dan Ali Fikry sebagai kakak-adik, Vira dan Dino, juga terasa begitu natural. Kalau ada satu hal yang saya harap bisa ditambahkan, adalah takarir (subtitle) Bahasa Indonesia. Supaya film ini lebih inklusif dan bisa dinikmati kawan-kawan tuli.
Tapi, saya menangkap apa yang dilempar dengan pikiran terbuka. Ia terlihat paham horor yang dirasakan perempuan, dan menceritakan ulang semua kengerian itu dengan hormat. Ia seolah ingin bilang: yang paling menakutkan bukanlah makhluk gaib, melainkan sistem sosial yang membuat perempuan kehilangan ruang aman untuk menjadi dirinya.
















