Dicap Lebih Lemah, Anak dan Perempuan Muda Rentan Alami Pelecehan Daring
Hasil penelitian Plan International menunjukkan bahwa anak perempuan dan perempuan muda sangat rentan terhadap pelecehan daring.
Usia sembilan sampai 14 tahun adalah masa-masa terberat bagi A, seorang gadis 20 tahun asal Sudan. Layaknya anak remaja lainnya, A aktif di media sosial saat itu. Namun ia sering mendapatkan serangan, mulai dari pelecehan, ujaran kebencian, sampai ancaman, dari teman laki-lakinya maupun pria asing. Tak sedikit dari pesan tersebut mengandung muatan seksual dan dilakukan tanpa persetujuannya.
“Saat itu saya sering mendapatkan pesan dari laki-laki, yang meminta saya mengirimkan foto telanjang saya. Kalau tidak, kata mereka, mereka akan membagikan foto-foto saya atau mengedit foto-foto saya dan membagikannya kepada semua orang yang saya kenal. Itu adalah masa terburuk dalam hidup saya,” ujar A.
Kisah A itu dimuat dalam hasil penelitian Plan International yang berjudul, “Free to Be Online? Girls and Young Women’s Experiences of Online Harassment’”(2020) yang melibatkan 14.000 responden anak perempuan dan perempuan muda di 31 negara.
Pengalaman A hanyalah satu dari rentetan kasus penyerangan dan pelecehan yang menimpa anak perempuan dan perempuan muda di internet dan media sosial. Sebanyak 58 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan secara daring. Kondisi itu diperparah dengan fakta bahwa jumlah pengguna media sosial dari kalangan anak perempuan dan perempuan muda tinggi. Sebanyak 98 persen dari keseluruhan responden merupakan pengguna media sosial, dengan 74 persen dari mereka sering mengunggah foto atau tulisan di media sosial, sementara 64 persennya sering meninggalkan komentar di konten milik orang lain ataupun milik mereka sendiri.
Baca juga: Manipulasi ‘Consent’ dan Relasi Kuasa di Balik Kekerasan Berbasis Gender Online
Di Indonesia sendiri, dari 500 perempuan yang mengisi survei penelitian ini, 99 persennya merupakan pengguna media sosial, dan lebih dari setengahnya merupakan pengguna aktif yang rutin atau sangat rutin membagikan foto atau tulisan di media sosial mereka.
Penelitian ini juga menemukan bahwa kerentanan anak perempuan dan perempuan muda di dunia maya ini adalah karena mereka dianggap lebih lemah, labil, rentan, kurang percaya diri, dan kurang berpengetahuan ketimbang kelompok/golongan lainnya oleh para pelaku.
Pelaku tak punya alasan
Penelitian ini menyimpulkan ada dua motif pelaku dalam menyerang para perempuan ini di sarana digital. Pertama, menyerang atau melecehkan hanya karena korban merupakan seorang perempuan dan aktif di dunia maya. Ini menunjukkan bahwa motif kejahatan pelaku dilakukan tanpa alasan apa pun yang berhubungan dengan konten sang perempuan.
Masalahnya semakin buruk dan kompleks saat perempuan tersebut berkulit hitam, beragama minoritas, penyandang disabilitas, atau kelompok minoritas lainnya. Para pelaku menggunakan identitas minoritas ini untuk memarginalkan perempuan dan membuat seolah-olah perempuan tidak bisa hidup nyaman tanpa gangguan dan intervensi dari laki-laki.
Motif yang kedua berhubungan dengan jenis konten apa yang dipublikasikan oleh sang perempuan. Banyak pelaku kejahatan yang menyerang dan melecehkan para perempuan yang aktif melakukan aktivisme digital dan vokal membahas isu-isu tertentu, termasuk banyak perempuan aktivis. Para pelaku biasanya menyerang dengan mengirimkan pesan dan komentar berbau seksual atau mengancam akan menyebarkan foto-foto dan identitas pribadi sang perempuan.
Sebagian dari perempuan responden ini merasa “berhak” mendapatkan perlakuan buruk ini karena hal itu merupakan kesalahan mereka sendiri.
Jenis kejahatan ini banyak sekali dilakukan terhadap perempuan yang aktif menyuarakan isu-isu kesetaraan gender atau feminisme. Sebanyak 47 persen responden mengaku pernah diserang karena opini mereka dalam isu ini. Dalam beberapa kasus, bahkan pelaku sampai membuat akun palsu untuk menyerang perempuan dengan meninggalkan pesan atau komentar yang mengecilkan seperti, “Kamu bukan siapa-siapa, jadi tidak berhak berkata seperti ini,” atau “Kamu hanya perempuan, jadi tidak seharusnya kamu melakukan hal seperti ini.”
Seorang perempuan 19 tahun asal Indonesia mengaku bagaimana dirinya sering mendapatkan serangan di akun media sosialnya karena dia terang-terang mengakui dirinya adalah seorang feminis yang vokal menyuarakan isu tersebut. Tak sedikit dari serangan tersebut yang ingin mengoreksi keimanan dan religiositasnya.
“Pada bulan Februari ini, saya mengunggah foto saya di pantai. Di foto itu pakaian yang saya kenakan sedikit memperlihatkan bagian kaki saya. Tiba-tiba ada sebuah akun yang mengomentari foto itu dengan bilang, ‘Tubuhmu itu punya Tuhan, jadi kamu harus menutupinya. Kalau saya memakai pakaian seperti kamu, saya akan takut orang tua saya masuk neraka’,” katanya, seperti dikutip dalam hasil penelitian.
Baca juga: Manipulasi ‘Consent’ dan Relasi Kuasa di Balik Kekerasan Berbasis Gender Online
Seorang perempuan 23 tahun asal Amerika Serikat, yang aktif menyuarakan penentangan terhadap pelecehan di jalanan, mengidentifikasikan pelecehan yang kerap dia terima sebagai reaksi dari para laki-laki yang merasa keberatan karena dipandang sebagai pelaku dan sumber masalah.
Katanya, “Ini serangan balik. Mereka merasa harus bersikap defensif karena jika kita bicara pelecehan seksual, kita pasti bicara tentang laki-laki yang melakukan hal buruk. Mereka juga merasa tidak dianggap penting, tidak seperti perempuan.”
Mirisnya, sebagian dari perempuan responden ini merasa “berhak” mendapatkan perlakuan buruk ini karena hal itu merupakan kesalahan mereka sendiri. Ini berkaitan bagaimana respons masyarakat dan orang terdekat saat mengetahui bahwa seseorang mengalami pelecehan seksual. Pola pikir yang patriarkal ini membuat para responden yang mengalami pelecehan seksual malah balik disalahkan (victim blaming) oleh masyarakat dan orang-orang terdekatnya. Misalnya, dengan mengatakan bahwa seorang perempuan tidak seharusnya membagikan banyak foto dirinya di media sosial, harus menggunakan pakaian tertutup untuk menghindari pelecehan dari laki-laki, atau bahkan tidak seharusnya bepergian.
Hal itu pun membawa dampak signifikan terhadap kesehatan mental para perempuan. Sebagian besar responden mengaku mengalami panik dan cemas berlebihan, sampai depresi, yang juga berpengaruh terhadap kondisi dan kesehatan fisik mereka. Bahkan, ada sebagian responden yang mengaku mengalami gangguan makan setelah menerima pelecehan dan serangan.