Issues

Dilema Mama Rawat Keluarga Positif COVID-19

Jika Mama sekeluarga positif COVID-19, siapa yang bertanggung jawab mengurus semuanya?

Avatar
  • July 5, 2021
  • 6 min read
  • 764 Views
Dilema Mama Rawat Keluarga Positif COVID-19

Pekan lalu, sebuah ambulans parkir di depan rumah tetangga saya. Tak ada suara sirene yang dibunyikan saat beberapa petugas berpakaian hazmat, mengangkat tubuh lemas tetangga saya yang positif COVID-19. Saya sudah dengar kabar, tetangga saya terjangkit virus sialan itu. Yang tak saya tahu, kondisinya ternyata semengkhawatirkan ini. Malam sebelumnya, istri tetangga tersebut, Nurul Mysa memberi pengumuman di grup ibu-ibu RT. Selain mengabarkan bahwa ia, suami, dan dua anaknya terjangkit COVID-19, ia juga menanyakan ketersediaan tabung oksigen.

Usut punya usut, sang suami yang diangkut ambulans keesokan harinya, sudah bolak-balik mencari rumah sakit di Depok, tapi kandas karena penuh. Sementara, suami tetangga saya termasuk salah satu pasien COVID-19 dengan gejala sedang disertai batuk terus-menerus dan sesak napas. Beruntung, tabung oksigen segera didapat, kamar di RS pun bisa dipesan setelah ribut mengontak kolega dan tetangga. Namun, masalah Nurul tak terhenti di situ. Ia yang memilih isolasi mandiri di rumah harus berjibaku mengurus dirinya yang kepayahan beserta anak-anak yang tak nafsu makan setelah positif Corona. 

 

 

“Aku masih pusing kliyengan, enggak nafsu makan, badan lemas. Di titik ini, aku merasa hidupku berat sekali. Memikirkan suami yang terbaring di rumah sakit, sementara aku harus bertahan demi anak-anak yang juga sama-sama sakit,” keluhnya pada saya, (29/6).

Saat pikiran menyerah itu melintas di kepalanya, ia melihat anak-anak yang masih bergantung padanya. Anak sulung Nurul belum menginjak usia 10 tahun, merupakan sosok periang yang segera berubah muram begitu COVID-19 merenggut kesehatannya. Si adik masih berusia balita, dan kerap rewel lantaran mengalami gejala anosmia, tak bisa mencium bau dan merasakan makanan/ minuman. Efeknya, Nurul kebingungan karena harus memutar otak agar anaknya tetap mau menelan makanan. 

Baca juga: Survei IBCWE: Beban Perempuan Berlipat Ganda selama Masa WFH

Hal senada juga dirasakan tetangga saya lainnya, Sari. Ia tertular COVID-19 serentak bersama dua anak-anaknya. Setelah tertular, ia mengalami gejala tak enak badan, muntah-muntah, batuk, diare, dan demam. Berbeda dengan dua anaknya yang menunjukkan gejala penyakit lebih ringan. Sejak positif, ia tertekan, bagaimana bisa orang yang selalu memperhatikan protokol kesehatan seperti dirinya, bisa kebobolan juga.

Beruntungnya, sang suami yang notabene negatif COVID-19, membantu ia merawat rumah dan kedua anaknya. “Suami membelikan saya makanan, kami tidur berbeda ruangan, berhari-hari saya tidak mengurus rumah sama sekali. Beruntung, pihak kantor juga memberi kelonggaran bagi saya untuk beristirahat selama sebulan penuh. Tetangga dan Satgas COVID-19 juga memberikan dukungan dalam beragam bentuk,” ujarnya.

Hal inilah yang meringankan beban pegawai pemerintahan itu. Ia susah membayangkan jika harus melewati pandemi ini sendiri. Keberadaan keluarga dan orang-orang terdekat, menguatkan ia seketika. “Saya harus sembuh, kami sama-sama memberi semangat, saling menguatkan satu sama lain.”

Baca juga: Ibu Rumah Tangga: Pekerjaan yang Selalu WFH

Saat menulis artikel ini, tak kurang ada lima keluarga di perumahan saya yang menderita COVID-19. Hal inilah yang kemudian memicu pertanyaan, dalam kondisi sakit kepayahan, bagaimana orang tua bisa mengurus diri sekaligus menanggung tanggung jawab menjaga anak-anak? Lalu bagaimana jika sebuah keluarga hanya terdiri atas ibu dan anak-anak saja, seperti kondisi Nurul atau secara umum, orang tua tunggal yang bercerai atau harus merawat anak sendiri. 

Rencanakan Perawat Anak dari Sekarang

Di era pandemi saat ini, satu-satunya kepastian bisa jadi adalah ketidakpastian itu sendiri. Kita tidak bisa menjamin apakah kesehatan masih kita miliki minggu depan, pun kita tak bisa menerka cara kerja takdir yang menyembuhkan atau mengambil orang-orang tersayang. Kesedihan, kebingungan, kerap di ambang, tak pernah jelas kita rasakan. Saat ayah teman saya meninggal dunia, ia mengontak saya dan memberi tahu, “Aku sudah mencatat semua password ponsel, pin ATM, dan pin aplikasi penting lainnya. Jaga-jaga jika aku diambil oleh Tuhan.” Ia sehat bugar, sama seperti sang ayah yang dua pekan sebelumnya juga masih sehat dan bugar sebelum akhirnya menyerah dilumat COVID-19.

Namun, perkara nasib memang tak ada yang tahu. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi lanjutan jika terjadi hal terburuk pada kita. Lauren Wolven, seorang pengacara perwalian dan perkebunan di Levenfeld Pearlstein. LLC AS menyebutkan pada The New York Times, entah berisiko tinggi atau tidak, berpasangan atau lajang, penting bagi semua orang tua untuk menyusun rencana cadangan sekarang, terutama ketika tengah sakit karena COVID-19.

Di dunia yang ideal, pengasuh terbaik adalah teman atau kerabat yang telah terinfeksi virus dan telah pulih, kata Dr. Thomas Murray, MD, Ph.D., direktur medis asosiasi untuk pencegahan infeksi di Yale New Rumah Sakit Anak Haven. Dalam keterangannya pada The New York Times, secara teoritis keluarga dan teman ini setidaknya sudah memiliki kekebalan. Namun tentu saja, meminta mereka merawat anak kita barangkali tidak realistis bagi banyak orang tua, apalagi jika jarak geografis yang terlampau jauh. Jadi, pilihan paling mungkin adalah memastikan agar ada orang terdekat, secara emosional maupun geografis, yang laik dipercaya merawat anak. Mama perlu menyertakan informasi penting, seperti nama dokter mereka, obat yang mereka minu, rutinitas harian anak Kamu, makanan kesukaan, dan sejenisnya. Dengan begini, jika sesuatu terjadi pada orang tua, maka itu tak terlalu menjadi pengalaman traumatis.

Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi

Namun, bagaimana jika kita tak memiliki privilese untuk membuat rencana cadangan, dan satu-satunya opsi adalah merawat anak sendiri? Jika memiliki pasangan atau teman, maka berbagilah peran dengannya. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan jarak sosial dan protokol kesehatan ketika mereka negatif COVID-19. 

Dalam hal ini, penting bagi orang tua untuk beristirahat, sehingga mereka dapat fokus untuk sembuh demi anak-anak mereka. Mengontak teman dan keluarga adalah bentuk kasih sayang kamu pada diri dan anak-anak. 

Ucapkan Mantra pada Diri Sendiri

Sebagaimana Nurul dan Sari, Tilis Harjanti, seorang ibu dari Jakarta Timur, yang juga harus merawat keluarganya karena terpapar COVID-19 punya “mantra” agar diri tetap kuat. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa keadaan akan kembali pulih seperti semula. Mantra ini pula yang ia ulang-ulang dan sebarkan pada anggota keluarganya yang lain.

“Ini cuma sementara, kita bakal sembuh,” tukasnya.

Tilis juga termasuk perempuan yang harus menghadapi beban berlapis karena keluarga, termasuk anak-anak terjangkit COVID-19. Palu godam itu mendarat padanya sesaat usai menjalani tes usap pasca-pulang dari Semarang, Jawa Tengah. Sayangnya, meski keluarga sakit, ia tak punya privilese untuk tetap tinggal di rumah. Jadi di tengah kesibukannya bekerja di kantor, ia harus tetap menyediakan waktu untuk merawat keluarganya, termasuk menyediakan makanan.

“Ini berat, rasanya seperti mendapatkan cobaan bertubi-tubi, tapi kita harus kuat,” tandasnya.

Memberikan sugesti positif pada diri diyakini sebagai cara yang mujarab untuk meringankan beban di hati. Para orang tua, terutama ibu-ibu harus tahu bahwa apa yang mereka alami cuma sementara. Namun, rasa lelah, rasa sakit, kepayahan, itu semua valid dan tak perlu disangkal. Yang perlu ibu lakukan selanjutnya adalah memiliki support system yang baik dari mana saja. Sebab kesendirian rentan membuka peluang untuk berpikir yang tidak-tidak, sehingga alih-alih lekas pulih, penyakit COVID-19 yang diderita bisa jadi justru makin lama bersarang di tubuh. Terakhir, berterima kasihlah pada dirimu, pada tubuhmu, pada jiwamu yang telah bertahan dan berjuang hingga sejauh ini. Kamu tak sendirian, Mama!


Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *