Issues Opini

Dilema Perempuan Penulis: Kejujuran, Industri, dan Keberpihakan

Mungkinkah perempuan bisa menulis dengan jujur tanpa dibayangi ketakutan karyanya tak bakal dibaca publik?

Avatar
  • August 7, 2024
  • 4 min read
  • 485 Views
Dilema Perempuan Penulis: Kejujuran, Industri, dan Keberpihakan

Menjadi penulis di era digital begini, tentu relatif lebih gampang. Mau menulis apa saja, kita tinggal mencari referensinya di jagat maya. Akses atas sumber informasi di media massa pun bisa dijangkau, baik yang sifatnya gratis atau berbayar. Meski begitu, perempuan penulis masih punya hambatan. Setidaknya ini yang saya rasakan sebagai penulis. 

Terkadang saat menulis, saya masih terkungkung norma dan etika. Misalnya, jika memakai frasa A, apakah saya akan dianggap perempuan liar; apakah bahasa saya sudah cukup sopan atau malah tak pantas diucapkan; apakah kritisisme ini akan berdampak jadi senjata makan tuan?  

 

 

Ketakutan-ketakutan itu muncul karena untuk menjadi penulis, perempuan harus banyak mendobrak glass ceiling. Terlebih di dunia kepenulisan yang masih sangat maskulin, tantangan perempuan penulis pun jadi berlipat ganda. Mereka tak hanya berkompromi dengan kehidupan keluarga, yang menganggap bahwa penulis bukan profesi menjanjikan, tetapi juga seberapa mampu mereka mengarusutamakan agenda perempuan tanpa takut “menyinggung lelaki”. 

Untuk bisa percaya diri dalam menyuarakan kegelisahan, perempuan penulis harus menempuh banyak penghakiman, termasuk saat menceritakan tubuhnya sendiri. Bicara menstruasi dianggap kotor, menulis proses reproduksi harus hati-hati, bahkan menggambarkan kepuasan seksual pun dianggap tabu. Padahal semua itu adalah hal-hal valid yang bisa dijelaskan secara ilmiah. 

Jangankan bicara fakta ilmiah, bahkan kala mengarang hal imajiner pun, mereka harus berpikir dua kali untuk jujur. Dalam hal ini, perempuan sering kali menulis realitas dengan simbol dan analogi, alih-alih menceritakan apa adanya. Gamblang. 

Baca juga: Perempuan Menulis untuk Dunia yang Tak pernah Setara 

Terbentur Norma dan Kepentingan Industri 

Sebagai perempuan penulis, saya merasa dihadapkan pada dua pilihan: Jadi penulis jujur yang bebas menulis apa saja atau menulis ide populer yang disukai oleh industri dan pasar. Masing-masing punya risiko. Jika memilih menulis hak yang cuma disukai pasar, bisa jadi saya akan mudah disukai orang dan menjadi populer. Namun, saya punya banyak pengalaman ketidakadilan sebagai perempuan, yang sebenarnya tak mau disangkal melulu. 

Perempuan penulis Intan Paramaditha, yang juga dosen di Department of Media, Music, Communication and Cultural Studies di Macquarie University, Sydney, pernah menyuarakan kritik atas ini. Ia sendiri kerap mengangkat persoalan gender, seksualitas, dan budaya dalam tulisannya. Saat menulis, Intan sengaja menggambarkan karakternya sebagai perempuan yang berani menerabas batasan-batasan, yang selalu mempertanyakan tujuan hidupnya sebagai manusia. 

Buat saya, yang dilakukan Intan adalah wujud keberanian dan kejujuran dari perempuan penulis. Dan ia beruntung karena punya ekosistem dan circle yang suportif atas ide-idenya. Kepada Ciptamedia, Intan pernah bilang, “Untuk berkarya, seorang kreator membutuhkan teman ngobrol, bertukar pikiran, dan berdialog secara kritis mengenai karya. Artinya, sistem pendukung itu sebenarnya tidak hanya dalam bentuk keluarga, namun juga rekan berpikir yang mampu mengritisi dan mengajukan tantangan untuk ide-ide yang digagas.” 

Baca juga: Kisah Para Perempuan Penulis Hidup dalam Bayang-bayang Seksisme 

Masalahnya, tak semua perempuan penulis punya privilese seperti Intan. Ada perempuan penulis yang menikah dan terbatas ruang geraknya. Ada yang tak berada di lingkungan suportif. Ada yang menjalani peran sebagai ibu di tengah keluarga dan masyarakat patriarkal. Ada yang justru demi bersuara pun, ia harus berbisik.  

Kondisi tak ideal itu membuat hambatan perempuan penulis jadi langgeng. Celaka dua belas, tantangan itu bertambah panjang karena di dunia kepenulisan, perempuan penulis juga menghadapi penghakiman dari sesama perempuan penulis. Dunia yang sempit melahirkan kompetisi siapa yang bisa bertahan. Siapa yang lebih disukai industri. 

Dalam persaingan industri penulisan, posisi perempuan penulis tak hanya dihadapkan pada isu “laku atau tidak” di pasar literasi, tetapi juga kembali lagi ke persoalan “ke-pantas-an”.  

Apakah seorang perempuan penulis dinilai pantas untuk menulis, meski ia bukan datang dari lingkaran komunitas penulis. Apakah ia cukup pantas untuk bercerita meski tidak memiliki latar belakang Ilmu Sastra. Apakah ia cukup pantas bersanding dan duduk satu meja dengan sesama perempuan penulis yang sudah lebih dulu ada. 

Kenyataan ini tentu bakal membatasi mimpi dan cita-cita perempuan untuk menyuarakan kegelisahannya lewat tulisan. Orientasi penulis yang mau tak mau menghamba pada permintaan industri, juga lambat laun akan menggerus idealisme dan keberaniannya bersuara tentang isu-isu yang dianggap non-populer. Padahal gagasan-gagasan ini amatlah penting untuk disampaikan ke pembaca luas. 

Baca juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik

Mungkin sudah saatnya, perempuan penulis mau bersikap jujur terhadap dirinya dan tak lagi melihat pasar yang tak berhenti menuntut. Perempuan penulis semestinya sanggup menuliskan pengalaman hidupnya, jujur atas hambatannya, lalu bersuara sebebas-bebasnya tentang hak-hak yang kini belum dimilikinya. 

Foggy F F adalah novelis, cerpenis, dan esais. Aktif menulis tentang isu perempuan, lingkungan dan kesehatan mental. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Foggy F.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *