Issues

Dipaksa Pakai Atau Lepas Hijab: Diskriminasi pada Perempuan di Tempat Kerja

Diskriminasi hijab di tempat kerja terjadi karena penafsiran keagamaan yang patriarki maupun liberal, tidak menghormati otoritas tubuh perempuan.

Avatar
  • October 16, 2024
  • 7 min read
  • 113 Views
Dipaksa Pakai Atau Lepas Hijab: Diskriminasi pada Perempuan di Tempat Kerja

Di hari pertama “Zahra” (28) bekerja di perusahaan tambang, seorang rekan kerja menegur karena ia berhijab. Kata rekan Zahra, atasan enggak suka karyawannya berpenampilan demikian. Meski tak pernah mendengar alasan lebih lanjut, sejak saat itu, Zahra melepas hijab setiap pergi ke kantor demi mengikuti “peraturan”. 

Sebenarnya, Zahra sempat mempertimbangkan untuk resign karena merasa tak nyaman tanpa mengenakan hijab. Namun, penghasilan dan tunjangan yang ditawarkan perusahaan bisa mencukupi tanggungannya: membiayai kebutuhan hidup orang tua dan pendidikan seorang adik. 

 

 

“Memang benefits yang ditawarkan kantor banyak ya,” ujar Zahra. “Ada asuransi kesehatan, THR, bonus tahunan, perawatan gigi, tunjangan kesehatan sampai anak ketiga, dan dapet makan siang. Jadi gajiku utuh.” 

Larangan memakai hijab ini terjadi berulang, seperti September lalu saat RS Medistra, Jakarta melarang dokter dan perawat berhijab. Ada juga perempuan pekerja yang mengalami tekanan sosial—sebagaimana disampaikan Human Rights Watch (HRW) lewat laporannya pada 2021, bahwa dosen dan pekerja di kantor pemerintah berisiko terhambat naik pangkat dan dipecat jika tidak berhijab. 

Menurut anggota jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Sari Nuralita, kondisi ini terus terjadi karena penafsiran keagamaan yang patriarki maupun liberal, tidak menghormati otoritas tubuh perempuan. Orang-orang patriarkal yang mempertahankan status quo ingin perempuan terbelakang. Padahal, perempuan yang berhak penuh dalam menentukan berhijab dan tidak. 

“Memaksakan pilihan—melarang atau meminta perempuan berhijab, itu nggak sesuai di negara yang mengeklaim dirinya demokratis,” ungkap Sari. 

Karena itu, larangan dan pemaksaan perempuan berhijab termasuk pelanggaran HAM, dan diskriminasi atas dasar agama. 

Baca Juga: Di Balik Larangan Hijab di Industri Hotel: Inklusivitas Semu dan Islamofobia? 

Tekanan Sosial, Pelanggaran HAM, dan Diskriminasi atas Dasar Agama 

Secara hukum, larangan bersikap diskriminatif di perusahaan diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut menjelaskan, setiap pekerja punya kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, dan berhak diperlakukan sama oleh pengusaha. 

Tak hanya itu, Pasal 28E Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, setiap orang bebas beragama dan meyakini kepercayaan. Diikuti Pasal 22 UU HAM yang menyatakan, setiap orang bebas memeluk agama masing-masing, dan beribadat menurut kepercayaannya. Artinya, perusahaan yang melarang pegawai berhijab ataupun memberikan tekanan sosial supaya memakai hijab, telah melakukan pelanggaran HAM. 

Idealnya, aturan tersebut cukup menjadi landasan perusahaan, untuk tidak bertindak diskriminatif. Sebab, hijab merupakan bagian dari hak kebebasan beragama, sekaligus simbol ekspresi diri. 

Namun, kenyataannya sebagian perusahaan belum menerapkan hal tersebut. Program Manager ASEAN Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra mengatakan, umumnya perusahaan swasta menjalankan bisnis berdasarkan preferensinya, dan belum mengadopsi prinsip business and human rights karena belum terikat secara hukum. Padahal, prinsip itu berguna untuk mengidentifikasi, mencegah, dan memperbaiki pelanggaran HAM, sehingga jika terjadi diskriminasi hijab hanya termasuk pelanggaran etika—bukan hukum. 

Sedangkan instansi negara sudah mengikuti prinsip tersebut, dan termasuk pelanggaran HAM jika melarang atau memaksa pekerja memakai hijab. Ini dikarenakan mereka harus tunduk, terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan dalam UU No. 12 Tahun 2005. Dan terhitung melanggar HAM jika bertindak diskriminatif. 

Walaupun punya preferensi masing-masing, Daniel menegaskan, bukan berarti perusahaan swasta bisa bertindak sewenang-wenang. Jika larangan atau permintaan menggunakan hijab disampaikan pada proses rekrutmen, ini menjadi bagian dari preferensi tersebut. Tapi, termasuk pelanggaran hukum dan HAM jika perusahaan melakukannya terhadap seseorang berstatus karyawan. 

Salah satu pekerjaan yang melarang penggunaan hijab, adalah perhotelan dan restoran. Industri ini memiliki kebijakan yang mengatur tubuh dan penampilan perempuan, karena perempuan berhijab dinilai tak menarik dan menggoda. Karenanya, perempuan berhijab cenderung tak mendapatkan panggilan, atau diminta melepas hijab saat bekerja. 

Seperti Zahra, yang pernah bekerja di restoran dan bar pada 2023. Atasannya mengungkapkan sejumlah alasan perusahaan melarang pegawainya berhijab: mayoritas tamu adalah orang asing yang enggak suka jika server berhijab, chef pemilik restoran bersikap rasis, manajer bukan seorang muslim, dan menjual makanan serta minuman non-halal. 

“Itu berat sih. Apalagi orang kantor ada yang posting di medsos, banyak yang komentar kenapa aku lepas hijab,” tuturnya. 

Mirip kejadian sebelumnya, selama proses rekrutmen, Zahra tak diberitahu kalau harus melepas hijab. Manajernya baru memberitahukan di hari pertama Zahra bekerja. Dan Zahra kembali harus melepas hijabnya. 

Baca Juga: Pekerja Perempuan Alami Intimidasi Soal Jilbab, Perlu SKB 3 Menteri?

Melihat kejadian ini, Sari mengatakan, seharusnya perusahaan membuka ruang dialog dengan calon pekerja supaya bisa mempertimbangkan pilihan. Meski bukan berarti preferensi perusahaan terhadap hijab dapat dibenarkan, terutama jika jenis pekerjaannya tidak berkaitan dengan hijab. 

Realitasnya, diskriminasi terkait hijab di perusahaan tak hanya terjadi saat proses rekrutmen, maupun di beberapa hari pertama karyawan bekerja. Dalam “No Hijab in Workplace”: Discrimination against Muslim Women Employees in Indonesian Property Companies (2023), peneliti Siti Nur Fitasari dan Fuad Mas’ud menyampaikan beberapa bentuk perlakuan itu: tidak dilibatkan di kegiatan kantor karena berhijab, dianggap mirip teroris, dan tak ada perkembangan karier. 

Karier yang stagnan disebabkan oleh penilaian non-objektif dari atasan terhadap pekerja yang mengenakan hijab. Alhasil, mereka tak mendapat kesempatan promosi untuk meningkatkan jenjang karier. 

Perusahaan tambang tempat Zahra pernah bekerja itulah salah satunya. Zahra melihat bagaimana jenjang karier hanya angan-angan bagi perempuan berhijab, karena salah satu koleganya yang memutuskan tetap berhijab, masih menduduki jabatan yang sama walau sudah bekerja selama tiga tahun. Sedangkan ia mendapatkan promosi jabatan dalam tiga bulan pertama bekerja. 

Masalahnya, larangan maupun pemaksaan berhijab berdampak pada kondisi emosional dan psikologis perempuan pekerja—seperti disebutkan dalam laporan HRW yang sama, dan riset oleh Arif Rahman Hakim pada 2022. Perempuan akan merasa sedih dan tertekan, stres, dan depresi. Mereka cenderung memilih mengenakan atau melepas hijab, untuk menghindari tekanan sosial, intimidasi, dan perundungan di tempat kerja. 

Pertanyaannya, apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi situasi ini? 

Baca Juga: Kasus SMKN 2 Padang Momentum Hentikan Pemaksaan Jilbab di Sekolah 

Adakah Solusinya? 

Sebenarnya, situasi ini tak bisa dilihat secara hitam putih—mana yang salah dan benar, atau baik dan buruk karena berkaitan dengan atribut keagamaan. Sebab, setiap perempuan pekerja menghadapi kondisi yang berbeda. Ada yang harus mempertahankan pekerjaan demi mencukupi kebutuhan, ada yang lebih fleksibel untuk resign atau pindah divisi. 

Sari menyarankan agar perempuan pekerja menegosiasikan dengan perusahaan, untuk memperoleh kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak. Harapannya, terjadi dialog persuasif sehingga perusahaan tidak membuat keputusan sepihak.  

“Apa pun keputusannya (perempuan pekerja), harus dihormati. Di situasi ini dia tetap menghormati keyakinan, tapi sedang tidak bisa memilih karena tersandera,” terang Sari. 

Sebab, dalam ajaran Islam pun mengenakan hijab termasuk fikih yang sifatnya dinamis, mengikuti perkembangan zaman. Artinya, tak ada kewajiban bagi perempuan untuk berhijab. 

Di sisi lain, perusahaan juga perlu memastikan tidak ada diskriminasi yang terjadi di kalangan pekerja. SIG Group melakukan ini dengan mengacu pada nilai-nilai Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif (AKHLAK), yang diterapkan oleh BUMN untuk memastikan tidak ada diskriminasi di perusahaan—mencakup proses rekrutmen, jenjang karier, pelatihan dan pengembangan, serta penggunaan fasilitas. 

Selain itu, SIG Group memiliki kebijakan Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) dan respectful workplace handbook. Kedua hal ini menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan, untuk menerapkan perusahaan yang bebas diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan. Termasuk penggunaan hijab. 

“Di SIG Group tidak ada larangan berhijab. Kami hanya menentukan tema pakaian sesuai jadwal, seperti casual day, memakai batik, dan seragam,” jelas Oktoria. 

Apabila terjadi tekanan terhadap karyawan yang dilakukan oleh rekan kerja, SIG memiliki mekanisme pelaporan yang dikelola oleh Srikandi SIG Group. Yakni melibatkan penerima laporan di internal, dan konsultan independen untuk menerima dan menindaklanjuti laporan. 

Masalahnya, sebagian perusahaan belum menghormati HAM dan memberikan kesempatan setara tanpa diskriminasi. Menurut Daniel, ini dikarenakan pola pikir eksploitatif yang memandang inklusivitas sebagai cost bagi perusahaan. Padahal, ketika pekerja merasa aman di lingkungan kerja, akan berdampak pada keberlanjutan perusahaan karena produktivitas, kreativitas, dan inovasi pun akan meningkat. 

Karena itu, Daniel menyarankan agar prinsip bisnis dan HAM lebih didorong dalam menjalankan perusahaan, dengan mempromosikan keberlanjutan perusahaan. Sementara bagi perempuan pekerja yang mengalami diskriminasi hijab di perusahaan, Daniel menegaskan untuk melaporkan ke bagian Human Resource Development (HRD) atau Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) atau serikat buruh, jika kasus tidak selesai di HRD. 

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *