December 6, 2025
Issues Politics & Society

‘Framing’ Buruk Isu Perempuan dan LGBTQ: AAJA Luncurkan Pedoman Pemberitaan Peka Gender 

Buku ini jadi ikhtiar untuk memudahkan kerja jurnalis saat meliput isu-isu sensitif secara lebih inklusif.

  • July 14, 2025
  • 4 min read
  • 1104 Views
‘Framing’ Buruk Isu Perempuan dan LGBTQ: AAJA Luncurkan Pedoman Pemberitaan Peka Gender 

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bersama Asian American Journalists Association (AAJA) cabang Asia menggelar webinar online bertajuk “Pedoman untuk Pemberitaan Peka Gender”, (11/7). Diskusi ini berangkat dari maraknya framing media yang bias dan diskriminatif terhadap perempuan serta kelompok minoritas. 

Acara ini dimoderatori oleh jurnalis CNN Indonesia Roni Satrio dan menghadirkan tiga narasumber, yakni perwakilan AMSI sekaligus CEO The Conversation Indonesia Prodita Sabarini; Managing Editor Magdalene Purnama Ayu Rizky; dan jurnalis freelance Rio Tuasikal. Rio dan Ayu sendiri terlibat aktif dalam proses penyusunan stylebook “Pedoman Pemberitaan Peka Gender”. 

Dalam webinar tersebut Ayu menyoroti betapa maraknya kerusakan yang ditimbulkan media ketika memberitakan isu tanpa sensitivitas gender. Sebut saja victim blaming dalam kasus kekerasan berbasis gender termasuk femisida sampai penghapusan pengalaman perempuan dalam isu-isu besar seperti krisis iklim dan proyek penulisan sejarah ulang belakangan. 

“Buku panduan ini bagi saya bukan sekadar referensi teknis, tapi alat negosiasi kekuasaan. Fungsinya membantu jurnalis melawan bias struktural di ruang redaksi dan ruang publik,” katanya. 

Sementara Rio bilang, ada sejumlah hal yang berkontribusi pada buruknya framing media soal isu perempuan dan minoritas. Ia mencontohkan berita tentang persekusi kawan LGBTQ di Puncak Bogor. Menurutnya, verifikasi dan kroscek semakin jarang dilakukan jurnalis dalam isu sensitif. Belum lagi penggunaan narasumber tunggal—umumnya dari kepolisian—saat menulis berita macam ini. 
 
“Dari kasus di Bogor, sebenarnya pihak kepolisian juga sedang mencari-cari pasal yang bisa diterapkan. Karena pesta seksnya kan tidak ada pembuktianya alias tidak terjadi. Bahkan bukti-bukti yang disimpan juga apakah itu mendukung pernyataan kepolisian. Nah di sini jurnalis harus awas dan hati-hati tidak bisa hanya mewawancarai narasumber tunggal saja,” ungkapnya. 

Ia menyebut paling tidak narasumber kedua itu bisa datang dari non-governmental organization (NGO) yang sudah jadi pendamping atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yang mengadvokasi agar bisa jadi berimbang. 

Baca Juga : Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Kasus 75 Orang di Puncak Bogor? 

Pedoman Praktis tapi Butuh Upaya Lanjutan 

Rio sendiri mengeklaim stylebook “Pedoman Pemberitaan yang Peka Gender” adalah bacaan praktis untuk jurnalis agar bisa lebih memahami komunitas minoritas yang kerap kali jadi korban persekusi.  

“Karena rasanya ke depan, kejadian persekusi terhadap kelompok minoritas mungkin akan terjadi kembali. Sehingga, jurnalis perlu membaca panduan singkat ini,” ujarnya.  

Ayu menekankan, ada keengganan jurnalis untuk menggunakan perspektif gender saat meliput isu. Alasan yang sering dipakai, tindakan ini dianggap akan mengurangi independensi jurnalis, bahkan bisa menyeret mereka ke praktik advokasi ala aktivis. Padahal faktanya, pertimbangan utama jurnalis saat meliput isu sensitif tak lagi tentang bagaimana agar terlihat netral. Namun bagaimana caranya tak mendukung status quo penindasan kelompok minoritas. 

Karena itu buku ini merekomendasikan beberapa istilah yang dinilai lebih inklusif dan peka gender. Misalnya perempuan alih-alih wanita, karena sejarah nama “wanita” cukup membebani perempuan sebagai objek biologis, domestik, dan pasif. 

Baca Juga ‘Framing’ Media, Sistem Peradilan yang Timpang Membunuh Tersangka Lesbian 

“Kami menyarankan istilah seperti “transpuan” karena itu akurat, etis, dan mengakui agensi identitas seseorang. Pun kami menyarankan untuk bertanya kata ganti, bukan karena ingin terlalu inklusif, tapi karena menghormati orang adalah tugas jurnalis,” tuturnya. 

Dalam kesempatan itu, Ayu juga menggarisbawahi buku panduan AAJA bukan menjadi obat tunggal atas framing berita yang belum berspektif gender. Ini cuma salah satu ikhtiar saja agar tugas jurnalis jadi lebih mudah. Selanjutnya jurnalis di masing-masing newsroom bisa saja menyusun standar operasional khusus di ruang redaksi atau menggelar pelatihan untuk mengasah sensitifitas gender mereka. 

“Tugas kita adalah tidak lagi menyuarakan suara mayoritas tapi berpihak pada suara yang dilenyapkan dan disenyapkan,” tandasnya. 

Hal ini diamini Prodita. Menurutnya, semangat buku ini sejalan dengan cita-cita AMSI yang berinisiatif mendorong terciptanya media berkualitas. Di AMSI sendiri, telah lahir sejumlah kebijakan seperti pembangunan standar operasional prosedur (SOP) kekerasan seksual (KS) hingga pedoman-pedoman lain. 

Baca Juga : Perda Penyimpangan Seksual Bogor: Ngawur dan Diskriminatif 

Ia berpesan agarr jurnalis, terutama anggota AMSI bisa menunjukkan komitmen untuk berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang dan sehat dan inklusif. “Kita harus benar-benar menjunjung tinggi standar jurnalisme agar suara yang beragam tetap mendapatkan ruang,” tutupnya. 

Buku Pedoman Untuk Pemberitaan Yang Peka Gender dibuat bersama-sama oleh AAJA cabang Asia dengan lebih dari 30 jurnalis, akademisi, perwakilan dari organisasi perempuan dan LGBTQ di berbagai negara seperti: Hongkong, Indonesia, Korea Selatan, Singapura, dan Filipina. Kamu bisa mengaksesknya gratis di tautan ini

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.