Culture Screen Raves

‘When Life Gives You Tangerines’: Ketika Romeo-Juliet Cabang Jeju Coba Runtuhkan Patriarki

“Lebih baik lahir jadi sapi dibanding perempuan Jeju” jadi dialog keras dalam ‘When Life Gives You Tangerines’.

Avatar
  • March 21, 2025
  • 4 min read
  • 1310 Views
‘When Life Gives You Tangerines’: Ketika Romeo-Juliet Cabang Jeju Coba Runtuhkan Patriarki

Belakangan drama Korea Selatan (drakor) yang mengupas isu patriarki makin marak diproduksi. Bahkan, beberapa judul menjadi viral. Sebut saja Marry My Husband (2024), A Virtuous Business (2024), hingga Good Partner (2024).

Salah satu aling teranyar, sekaligus kontroversial adalah Kim Ji-young: Born 1982 (2021). Secara eksplisit ia menggambarkan bagaimana sistem patriarki tumbuh di masyarakat Korea Selatan. Di mana tatanan sosial memposisikan laki-laki sebagai pihak dominan dan berada di atas perempuan.

 

Kali ini drakor original terbaru dari Netflix When Life Gives You Tangerines ingin menguliti lebih dalam soal isu yang sama. Secara eksplisit sang sutradara Kim Won-seok dan penulis skenario Lim Sang-choon, memperlihatkan bagaimana patriarki bisa meruntuhkan harapan perempuan di Pulau Jeju, Korea Selatan.

Foto: Netflix

Baca juga: ‘A Virtuous Business’: Ada Pemberdayaan dalam Bisnis Celana Dalam

Diperbudak Budaya Patriarki

Semua bermula pada tahun 1950-an. Kita akan mengikuti Oh Ae-soon (IU), seorang perempuan muda pemberontak, yang punya cita-cita sebagai penyair dan ingin kuliah sastra. Tapi, keadaan keluarga yang miskin dan sistem patriarki membuat hidupnya sering kali dijegal kenyataan pahit.

Di kampungnya, perempuan tak boleh jauh dari urusan dapur dan kasur. Perempuan dilahirkan hanya untuk menjadi pendukung laki-laki. Tak bisa berada di tempat paling tinggi dari seorang laki-laki dan harus selalu tunduk.

Jika semua orang tua anak perempuan di Jeju menentang untuk menggapai impian, sang ibu Jeon Gwang-rye (Yeom Hye-ran) justru mendukung mimpi itu. Ia bekerja keras demi bisa memenuhi kebutuhan Ae-soon dan tak mau anaknya hidup sia-sia.

“Lebih baik lahir sebagai seorang sapi dibanding lahir sebagai perempuan Jeju,” ujar Gwang-rye menggambarkan betapa rendahnya kedudukan perempuan di sana.

Namun, di saat perjuangan Gwang-rye ingin mengeluarkan Ae-soon dari budak patriarki, ia pun meninggal dunia. Meninggalkan semua jerih payah dan membuat Ae-soon sangat berduka. Mau tak mau, Ae-soon harus berjuang sendirian untuk tetap bersekolah demi cita-citanya—walau in the end itu tidak berhasil.

Foto: Netflix

Beruntung selama berlari mengejar mimpi, Ae-soon ditemani Yang Gwan-sik (Park Bo-gum). Anak laki-laki paling ijo neon di Pulau Jeju. Tak seperti keluarganya yang menganut paham kental patriarki, Gwan-sik punya pemikiran berbeda. Ia yakin perempuan juga punya hak sama seperti laki-laki.

Makanya, ketika memutuskan menikah dengan Ae-soon, Gwan-sik berjanji akan melindungi dan menjaga keluarga kecilnya—meski sebelumnya tak direstui orang tua. Tapi, apa daya, karena tak punya pendidikan tinggi, Gwan-sik harus bekerja sebagai nelayan. Ae-soon pun harus tinggal di rumah selagi ia mencari nafkah.

Lagi-lagi, penderitaan Ae-soon belum berakhir. Meski, punya suami yang baik, ia tetap tak bisa bekerja dan lanjut bersekolah. Tuntutan itu tak datang dari sang suami, Gwan-sik, melainkan norma masyarakat Jeju.

Contohnya, ibu Gwan-sik yang merasa sebagai korban, tapi juga menjadi bagian dari pelanggeng nilai patriarki sendiri, terutama terkait keputusan di hidup Ae-soon. Ia berharap menantunya merasakan apa yang ia rasakan ketika masih muda dan harus bernasib sama sepertinya.

Ini terlihat dari scene di episode empat, saat ibu Gwan-sik tak suka punya cucu perempuan. Ae-soon selalu dilempari kacang—pembuang sial karena dianggap dirasuki roh ibunya. Semua yang dilakukan Ae-soon tak pernah ia sukai. Mereka pun harus makan di meja terpisah karena anak perempuan tidak boleh semeja dengan ayah sendiri.

Baca juga: Drakor ‘Good Partner’: Drama Pengacara Spesialis Perceraian yang Ditulis Pengacara Asli

Marriage is Not Scary Selama Ada Gwan-sik

Tidak kuat melihat penderitaan sang istri yang selama ini disembunyikan darinya, Gwan-sik marah.

“Aku menikahi Ae-soon dan mengajaknya tinggal di sini untuk hidup denganku, bukan hidup bersama ibu dan nenek,” ucap Gwan-sik sambil menggandeng tangan Ae-soon dan pergi. Romeo-Juliet cabang Jeju ini pun melangkah bersama.

Kejadian ini menjadi titik balik kehidupan baru bagi pasangan muda itu. Mereka pun menyewa kamar kecil jauh dari tempat mereka dulu tinggali. Walau hidup pas-pasan tapi kebahagiaan menyelimuti keluarga mereka.

Adegan heroik Gwan-sik di episode empat When Life Gives You Tangerines pun sempat viral dan ramai dibahas, Banyak yang bilang marriage is not scary selama menikah dengan gwan-sik.

Foto: Netflix

Baca juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan

Gwan-sik selalu ikut membantu pekerjaan rumah tangga, terlibat dalam pengasuhan anak, dan membiarkan Ae-soon ikut ujian kesetaraan SMA—meski ia tidak tamat sekolah. Ia juga tidak membeda-bedakan anak perempuan dan anak laki-laki. Kasih sayang pada ketiga anaknya sama rata.

Gwan-sik juga mendukung karier Ae-soon menjadi seorang kepala wilayah di daerah mereka tinggal. Ia tak pernah merasa minder karena berada jauh di bawah istrinya dan tetap mendukung apa pun yang terjadi.

Sosoknya seperti mematahkan anggapan marriage is scary. Netizen bilang selama kamu menemukan laki-laki seperti Gwan-sik, maka hidupmu dijamin selalu bahagia.

Tapi, apa Gwan-sik ada di kehidupan nyata? Well, mungkin ada hanya saja kita belum menemukannya.



#waveforequality
Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *