Dua Hari Menjajal Aplikasi Poligami dan Ini yang Saya Temukan
Munculnya aplikasi poligami ini adalah salah satu bentuk bahaya dari komersialisasi agama.
“Ukhti memang siap dipoligami?” Saya tertawa ketika mendapatkan pesan dari seorang laki-laki di salah satu aplikasi untuk mencari pasangan berpoligami.
Zaman sekarang ini, tidak cuma aplikasi kencan yang tersedia di toko-toko aplikasi daring, tapi juga aplikasi poligami, salah satunya ayopoligami.com. Aplikasi ini tersedia di Playstore untuk pengguna android, dan cara mendaftarnya sangat mudah.
Saya mencobanya dan mulai menjelajah aplikasi syariat ini. “Lho, kenapa ini laki-laki semua yang mendaftar?” pikir saya kaget. Berbasis lokasi, di aplikasi ini saya menemukan bahwa jumlah akun yang mengaku laki-laki jauh melebihi jumlah perempuan: 114 perempuan dan hampir 600 akun laki-laki.
Saya sampai berpikir apa saya sedang ada di aplikasi kencan khusus laki-laki gay dan biseksual (tapi berkedok syariat) saking banyaknya laki-laki di sana. Pertama-tama saya mencoba membuat akun laki-laki, tapi sama sekali tidak ada tanggapan. Saya kemudian membuat akun perempuan, bermodal kutipan religius dan foto asal. Dalam 20 menit, sudah 20 orang yang melihat profil saya dan tiba-tiba saya sudah memiliki beberapa teman. Rupanya “pertemanan” tidak memerlukan persetujuan dari pemilik akun.
Sebelum ini, saya telah mencoba beberapa aplikasi kencan daring seperti OK Cupid dan Tinder, dan baru kali ini kotak pesan saya dipenuhi notifikasi. Mereka adalah para ikhwan yang ngebet untuk mencari madu bagi istrinya. Beberapa adalah para suami yang jujur mengakui bahwa mereka ada di situ tanpa sepengetahuan istri mereka.
Karena ini aplikasi yang sangat bernuansa religi, setiap yang tertarik pasti selalu menyapa dengan Assalamualaikum. Seorang laki-laki bernama “Tono” langsung meminta foto saya, yang kontan saya tolak. “Enggak boleh atuh, akhi, kan enggak boleh liatin muka, selfie. Tapi Insha Allah saya enggak kekurangan apa-apa mukanya…masih ada hidung sama mulut sama mata,” tulis saya. Ternyata hal itu tidak mempan dan dia tetap memaksa. Saya pun beralih.
Dari Tono ada “Pak Kumis”, yang sudah menikah hampir 23 tahun dan memiliki anak berusia 22 tahun yang sedang kuliah. Bapak ini ingin mencari istri kedua karena katanya istri yang sekarang tidak seperti dulu lagi di tempat tidur, sementara dia masih “kuat seperti dahulu kala”. Apakah sang istri tahu Pak Kumis berniat poligami? “Ya tidak tahulah. Saya kan masih menjaga perasaan istri saya.”
Penjelajahan saya tidak sampai di situ. Ada satu laki-laki lagi yang mengirimkan pesan, namanya “Mas Reno”. Ia seorang buruh pabrik yang tinggal di Jakarta, sementara istri dan anaknya di luar kota. Dengan dalih kesepian, ia ingin mencari istri baru. Istri dan keluarganya tidak mengizinkan Reno untuk berpoligami, maka dia diam-diam membuat akun di aplikasi ini.
“Mbak siap dipoligami dengan nikah siri dan dirahasiakan?” tanyanya dalam pesan langsung kepada saya, yang membuat saya tertawa miris.
Selama dua hari menjelajah ayopoligami.com dengan akun perempuan, emosi saya terombang-ambing antara geram dan geli. Di hari kedua, saya lihat jumlah akun laki-laki sudah naik menjadi hampir 1.500 akun, sedangkan yang perempuan 121 akun. Saya jadi tidak yakin semua perempuan ini memang berniat dimadu atau mencari “imam”, mungkin banyak dari mereka hanya iseng seperti saya.
Munculnya aplikasi seperti ayopoligami ini adalah salah satu bentuk bahaya dari komersialisasi agama. Lailatul Fitriyah, mahasiswi doktoral Program Perbandingan Agama dan Gereja Dunia di Departemen Teologi, Universitas Notre Dame, mengatakan bahwa ketika kapitalisme dan agama bertemu, maka semua dapat diperjualbelikan. Hal ini juga diperkuat dengan era globalisasi yang memudahkan doktrin dari luar dapat diimpor secara mudah ke Indonesia, seperti perspektif banyak anak adalah berkah dan ibadah.
“Perspektif yang sama bisa dijumpai di wilayah konflik seperti Palestina, yang memunculkan doktrin baru yang menyatakan bahwa melahirkan dan bereproduksi itu adalah ibadah. Doktrin ini masuk ke wilayah seperti Indonesia dan Malaysia yang bukan negara konflik,” ujar Lailatul.
“Glorifikasi reproduksi anak dan generasi selanjutnya dengan cara yang sama seperti orang-orang Palestina ini namanya ‘sakit’, karena kita hidup dalam masa damai tapi kita dalam undersiege mentality, tidak tahu musuh kita siapa, ya karena memang kita tidak ada musuh. Tapi kemudian karena kita mengimpor sesuatu dari luar dan menjadikannya bentuk dari ancaman bagi diri kita sendiri. Itulah kenapa orang-orang ini selalu merasa terancam.”
Kemunculan aplikasi ayopoligami ini juga semata-mata ingin mencari keuntungan atau komersialisasi dengan memanfaatkan kebutuhan laki-laki seperti Tono, Pak Kumis dan Mas Reno.
Akhirnya saya menghapus akun saya pada malam kedua karena mual. Aplikasi ayopoligami ini menurut saya adalah wadah untuk para lelaki yang ingin selingkuh tapi bersembunyi di balik dalil-dalil pembenaran. Untuk para akhi, salam dari ukhti queer yang kebetulan mampir sebentar di sana.