Dua Lubang di Rumah Bia
Layaknya Alice in Wonderland, ada dua portal di rumah Bia, dengan pilihan antara bahagia dan nestapa. Masalahnya, Bia tidak boleh memilih.
Peringatan Pemicu—ada unsur kekerasan fisik dan seksual.
Ada dua buah lubang kecil di dinding rumah Bia.
Lubang pertama tak sengaja ditemukannya di ruang tamu, ketika ia sedang membersihkan rumah di suatu hari di musim penghujan. Awalnya ia kira itu lubang tikus. Jaraknya beberapa senti saja dari lantai, besarnya tidak lebih dari kalau Bia mempertemukan ujung jempol dengan jari telunjuknya.
Bia mengamati dan memasukkan satu jari untuk mengukur kedalamannya. Anehnya, lubang itu begitu dalam, hingga bukan hanya jarinya, tapi juga kepalan tangan, lengan, badan, pinggang, hingga kakinya pun ikut tertelan masuk.
Yang lebih aneh, Bia tidak merasa takut. Ada perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskannya ketika tubuhnya tersedot masuk ke dalam lubang mungil itu. Semakin lama, suara petir yang menggelegar di langit luar rumahnya semakin jauh dan redam.
Di dalam lubang, suasana terang benderang, dan Bia menjadi riang. Ia dilewati orang-orang yang tersenyum ramah ke arahnya. Ia memeluk anjing-anjing kecil berbulu lembut yang melompat-lompat di dekat kakinya. Musik yang menyenangkan mengalun pelan di sekitarnya. Orang-orang menyapanya dengan pelukan hangat – kehangatan yang mirip dengan satu-satunya kasih sayang yang pernah dirasakannya, dari ayah ibunya yang sudah tiada.
Bia tak pernah menyangka ada tempat seperti ini di dalam rumahnya sendiri. Sebuah tempat yang tenang dan tak terjangkau oleh hujan deras dan kilat yang menyambar-nyambar di luar sana. Ia tak pernah suka hujan. Baginya, hujan selalu datang dengan tiga sifat yang membuatnya tak tahan. Basah, berisik, dan sedih.
Tapi, di dalam lubang itu, Bia menghabiskan berjam-jam dengan semua hal dan rasa yang dicintainya. Semua baru berakhir ketika kebahagiaannya demikian membuncah sehingga membuat Bia tertidur kelelahan. Ketika terbangun, ia sudah kembali di ruang tamunya, duduk bersandar di tembok tempat lubang itu berada.
Di luar, hujan sudah berhenti.
Bia baru menyadari ada dua lubang, ketika esok harinya ia tidak menemukan lubang itu di tempatnya.
Hari itu hujan kembali turun lebat, membawa petir dan kilat, hingga Bia merasa harus melarikan diri lagi ke lubang itu untuk mencari tenang.
Aneh… ia menemukan letak lubang itu sedikit bergeser dari titiknya di dinding kemarin. Bia berpikir, mungkin pikirannya hanya sedang bermain-main dengannya, dan memang di situlah lubang itu selalu berada.
Bia memasukkan satu jarinya, dan kembali merasakan seluruh tubuhnya tertelan masuk. Tapi, kali ini, perasaan yang menyertai bukan seperti yang dirasakannya kemarin. Bia masuk ke dalam lubang itu dengan gelisah, bingung, dan marah.
Sampailah Bia di sebuah tempat yang basah, berisik, dan sedih. Ia bermaksud melarikan diri dari kurungan hujan, tapi yang ditemuinya adalah semua yang dibencinya tentang hujan.
Di situ, orang-orang melewatinya dengan pandangan ketus dan curiga. Anjing-anjing berbadan kurus dan penuh borok memandang memelas ke arahnya. Musik terdengar sumbang dan terpatah-patah seperti dimainkan dari instrumen yang rusak. Sapaan orang bukan berupa pelukan hangat yang mengingatkannya pada kasih sayang ayah ibunya, tapi berupa hujatan dan cibiran, yang justru membawa kembali luka hati yang dirasakannya ketika ayah ibunya pergi meninggalkannya.
Hiruk pikuk dan kesendirian. Kesendirian yang tak tertahankan.
Ini bukan tempat yang kemarin. Ini lubang yang salah! Tapi Bia tak juga bisa keluar dari sana. Ia menjerit sampai serak dan kehabisan tenaga. Akhirnya, Bia pingsan kelelahan.
Ketika terbangun, ia sudah berada di dalam ruang tamunya lagi. Sepertinya tak ada jalan keluar lain dari lubang selain melalui kesadaran yang hilang. Bia menggigil, masih terguncang oleh apa yang dirasakannya di dalam tadi.
Baca juga: Aku Bohong pada Ibu
Matanya tertumbuk pada satu lubang lagi di dinding bagian rumah yang lain. Saat itu Bia menyadari kalau memang ada dua lubang di rumahnya. Mungkinkah itu lubang yang membawanya ke tempat bahagia kemarin? Tapi Bia sudah terlalu lelah dan takut untuk mencoba apa-apa lagi.
Paling tidak, hujan sudah berhenti.
Keesokan harinya, Bia semakin dibuat bingung karena posisi dua lubang itu berpindah lagi. Beda hari, selalu beda posisi. Bia pun semakin kesulitan untuk menentukan mana lubang yang akan mengantarnya ke tempat bahagia, dan mana yang akan melemparnya ke tempat celaka.
Namun, hujan turun setiap hari. Kilat menyala-nyala, petir menyambar-nyambar. Basah, berisik, sedih. Bia tidak tahan. Ia harus melarikan diri, ke mana pun itu.
Orang bilang, hanya keledai yang jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama. Tapi bagaimana kalau kita tidak bisa memilih lubang mana yang kita masuki, terutama kalau hanya lubang itulah tempat kita berlindung dari dunia luar yang semakin mengancam?
Hidup Bia jadi seperti judi. Setiap kali hujan datang, ia sembarang saja memilih salah satu dari dua lubang di dinding rumahnya. Bila beruntung, ia akan dibawa ke tempat bahagia. Bila sial, ia akan dibawa ke tempat celaka. Bia tak punya pilihan. Apa saja lebih baik daripada rumahnya yang terkepung hujan laknat ini, dan kedua lubang inilah satu-satunya tempat Bia menunggu hujan berhenti.
Bila Bia cukup beruntung mendapatkan lubang ke tempat bahagia, ingin rasanya ia bertahan sadar selama mungkin di sana, supaya ia tak usah kembali lagi ke luar. Tapi tubuhnya tentu tak kuat, apalagi perasaan bahagia juga bisa membuat lelah, hingga Bia terpaksa tidur walaupun ia tak ingin memejamkan mata.
Di saat lain, bila terperangkap di lubang ke tempat celaka, ia ingin cepat-cepat tertidur atau pingsan, hingga ia tak usah berlama-lama di situ. Tapi perasaan sedih, marah, dan gelisah justru membuatnya susah tidur.
Jadi tak ada pilihan bagi Bia. Terpaksa ia menjalani saja semuanya. Entah sampai kapan.
Suatu malam, hujan datang membawa badai yang lebih dahsyat dari biasanya. Gelegar petir yang memekakkan telinga membangunkan Bia dari tidurnya. Bia terduduk di ranjang. Ia sudah terbiasa membenci hujan, tapi ia belum pernah setakut ini pada hujan.
Kilat di langit menyalakan dan mematikan kamar Bia seenaknya. Bia turun dari tempat tidur dengan gemetar, lalu terbungkuk-bungkuk keluar dari kamar. Ia buru-buru menuruni tangga ke ruang tamu untuk mencari di mana kedua lubang itu berada malam ini.
Tapi, seperti hujan yang lebih liar dari biasanya di luar, malam ini ada juga yang tak biasa di dalam.
Seorang lelaki bertubuh tambun sedang mengambili barang-barang di rumah Bia, meraup semuanya seperti binatang kelaparan. Gerakannya seperti orang kesetanan, seperti takut ada yang tersisa.
Tapi, ketika matanya tertumbuk pada Bia, lelaki itu menjadi lebih lapar dari sebelumnya. Air liurnya menetes melihat sesuatu yang lebih lezat dan mengenyangkan daripada semua benda mati di rumah itu.
Lelaki itu melangkah dengan beringas ke arah Bia. Bia lari dan membuka pintu depan, tapi yang muncul di hadapannya adalah sesuatu yang tak kalah mengerikan baginya. Petir menggelegar di langit malam, angin bertiup kencang menempiaskan air hujan ke wajahnya, bau tanah yang tersiram air membuatnya sesak. Pekarangan rumahnya sudah tergenang, dan sebentar lagi air akan merayap masuk ke dalam.
Baca juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Basah, berisik, sedih.
Bia terjebak di ambang pintu. Tiba-tiba, lelaki itu menyergapnya dari belakang. Bia terlambat berkelit. Mereka berdua jatuh bergulung-gulung di lantai ruang tamu, dan badan lelaki yang tambun itu kini berada di atas Bia. Berat dan bau keringat. Bia tak bisa bernapas.
Sementara, napas lelaki itu semakin cepat dan mendengus-dengus. Tangannya berkeliaran di tubuh Bia. Berlari-lari. Mencari-cari.
Bia meronta-ronta, tangannya menggapai-gapai. Kedua tubuh mereka yang sudah menjadi satu berguncang-guncang dan menyenggol sebuah kaki meja. Tempat lilin logam di atas meja jatuh ke lantai. Bia meraih tempat lilin itu, dan menghantamkannya ke kepala si lelaki tambun.
Si lelaki mengerang dan tumbang.
Genangan air hujan sudah sampai di ambang pintu depan. Bia segera bangkit dan mengunci pintu untuk menahan air masuk, lalu meraba-raba dinding ruang tamu. Ia harus menemukan lubang itu sekarang. Hanya itu satu-satunya jalan keluar.
Kali ini, kedua lubang itu letaknya berdekatan dan bersisian. Seperti sepasang mata yang menatap dan sudah lama menunggunya.
Mana yang harus Bia pilih? Mana lubang ke tempat bahagia, dan mana lubang ke tempat celaka?
Di belakangnya, si lelaki tambun sedang merangkak ke arahnya sambil melontarkan serapah. Genangan air dari luar sudah masuk, lambat merambat dari bawah celah pintu yang tertutup.
Bia menutup mata. Ia memilih lubang yang kanan. Dijulurkannya jarinya masuk ke lubang, dan ia tertelan masuk.
Lambat laun, suara petir dan riuh hujan terdengar redam dan menjauh. Untuk sedetik, Bia merasa tenang.
Sedetik saja.
Lalu datanglah gelisah, bingung, marah. Bia telah memilih lubang yang salah.
Bia sampai di tempat celaka. Orang-orang ketus yang biasa dijumpainya di situ kini tampak lebih mengerikan. Mereka telah berubah menjadi ratusan lelaki tambun yang tadi menyerangnya. Kini, di dalam lubang, ratusan lelaki tambun itu mengejar-ngejarnya, diikuti anjing-anjing kurus dan berborok yang menyalak-nyalak, melemparinya dengan hujatan dan cibiran.
Bia menjerit putus asa. Kalau pun ia bisa lolos dari kejaran mereka dan keluar dari sini, si lelaki tambun dan hujan yang bengis sudah menunggunya di luar.
Akhirnya ia hanya berdiri pasrah. Membiarkan ratusan lelaki tambun mengerubungi dan menggerogotinya, anjing-anjing kurus dan berborok mengoyaki daging dari tulangnya.
Bia tersenyum. Mungkin setelah ini, semuanya akan hening. Dan mungkin – mungkin – ia bahkan tak akan perlu takut hujan lagi.
***
Beberapa hari berselang, dua orang petugas keamanan mendobrak masuk ke rumah Bia, setelah menerima laporan tentang bau busuk yang meruap dari dalam. Semua pintu dan jendela terkunci. Tak ada tanda-tanda perampokan, atau orang yang keluar masuk dengan paksa.
Yang mereka temukan hanya mayat seorang gadis yang tergeletak di lantai ruang tamu dengan sepucuk pistol di tangan, dan dua buah lubang di kepalanya.