Pernah saya bayangkan akan ada dunia di mana laki-laki tidak lagi dianggap aneh saat memilih jadi perawat, dan perempuan disambut sebagai teknisi atau pilot tanpa diskriminasi. Namun, kenyataannya hari ini masih jauh dari itu. Sebab, masih banyak bidang kerja yang terbagi secara kaku berdasarkan stereotip gender.
Pembatasan ini bukan cuma mengekang potensi individu, tetapi juga merugikan banyak masyarakat. Hitung saja berapa bakat dan keterampilan beragam yang harus terhalang. Lantas, bagaimana kita bisa membebaskan diri dari sekat-sekat ini?
Buku The Authority Gap: why women are still taken less seriously than men, and what we can do about it karya Mary Ann Sieghart cukup jadi pemantik untuk menjawab pertanyaan di atas. Dalam bukunya, Sieghart menyebutkan hanya sekitar 20 persen pria membaca karya sastra yang ditulis oleh perempuan.
Baca juga: ‘Yang Terlupakan dan Dilupakan’ Angkat Kisah Penulis Perempuan Lokal
Hal ini menunjukkan pria cenderung lebih memilih buku karya sesama pria dibanding penulis perempuan. Bahkan JK Rowling, novelis terkenal yang karyanya masih langgeng dibicarakan hingga saat ini –lepas dari segala kontroversinya—pernah disuruh penerbitnya untuk memakai nama inisial sebelum menerbitkan novel Harry Potter. Penerbit khawatir audiens laki laki tidak mau membaca buku yang ditulis oleh novelis perempuan. Itulah kenapa dia tidak memasukkan nama Joanne di sampul bukunya.
Adanya segregasi pekerjaan berbasis gender dalam dunia literasi bikin saya miris. Bukankah literasi seharusnya jadi salah satu pintu terbukanya kesetaraan. Kenapa justru masih ada stereotip gender yang secara tidak ataupun sengaja terlanggengkan. Fenomena di atas bisa juga disebut sebagai glass ceiling— penghalang tak berwujud dalam hierarki yang menghalangi perempuan atau minoritas untuk mendapatkan posisi tingkat atas atau kesempatan yang sama.
Selain itu, ketimpangan yang tersorot dalam kacamata profesi pada dunia literasi ada pada aspek penghargaan sastra. Berdasar dari apa yang saya baca pada website resmi koalisiseni, Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2019 memilih 9 pemenang untuk kategori novel, namun hanya 3 di antaranya yang merupakan perempuan.
Di Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020, dari 10 nominasi di kategori puisi, hanya 3 nominasi perempuan. Selain itu, pada 2020, seluruh nominasi dari 5 kategori di Penghargaan Sastra Badan Bahasa diisi oleh laki-laki.
Ketidakseimbangan gender juga tampak di susunan juri, seperti pada ajang Lima Besar Buku Sastra Tempo 2020, yang mana 3 juri yang dipilih semuanya laki-laki. Hal ini tentu mengundang perhatian publik. Pun fenomena terbaru, yaitu Han Kang, perempuan asia pertama yang memenangkan Nobel Sastra 2024. Dari website nobelprize.org, kita bisa melihat hanya 18 perempuan penulis yang memenangkan Nobel Sastra dari 121 orang yang sudah menjadi pemenang.
Sebenarnya jika dilihat secara sekilas, ketimpangan pada penghargaan sastra tidak terlihat jelas. Mungkin orang-orang akacenderung menganggap siapa pun pemenangnya, maka ia memang pantas, termasuk saya.
Baca juga: 7 Novel Wajib Baca Karya Penulis Perempuan Kulit Hitam
Namun, jika dikaji lebih dalam, banyak faktor yang turut andil dalam meminimalisasi karya perempuan untuk maju secara setara pada kompetisi sastra. Misalnya, peran penerbit yang menyeleksi secara internal karya yang akan didaftarkan, para panitia yang ikut menyeleksi karya sebelum diletakkan di meja juri, serta para panitia yang mempunyai otoritas untuk memilih juri.
Ketika semua itu didasarkan tidak pada kesetaraan gender, maka sejak awal sejatinya perempuan telah kalah mendapat kesempatan yang sama. Ini mencerminkan kesempatan luas yang hadir pada profesi di dunia literasi hanya untuk laki-laki.
Ruang saja tidak cukup bagi perempuan untuk terus menulis dan menjadi profesi penulis. Penulis Inggris Virginia Woolf dalam esai terkenalnya, A Room of One’s Own, menyatakan dengan jelas perempuan membutuhkan ruang pribadi dan dukungan finansial untuk bisa menulis cerita.
Buku ini, yang ditulis hampir seabad lalu, berbeda dari karya-karya pada zamannya. Alih-alih mengisahkan perempuan yang lemah, buku ini menghadirkan sosok perempuan dengan “kekuatan super” yang digunakan untuk mempertanyakan keadaan sekitarnya serta keberanian untuk mengkritik ketidakadilan yang ia temukan.
Melalui tema women and fiction, Woolf juga mengamati praktik patriarki dalam keseharian. Saya merasa Woolf bisa melangkah lebih jauh dengan menganalisis isu lain seperti ras, etnisitas, dan identitas seksual. Namun, secara keseluruhan, buku ini membuka mata saya.
Woolf tidak hanya menyampaikan pemikiran feminis awal. Namun juga menunjukkan bagaimana profesi penulis perempuan tidak mudah. Sementara astra, meski tampak kuno, tetap bisa menjadi cermin bagi tantangan sosial modern. Sebab, itu memberi kita pelajaran untuk menghadapi tantangan masa kini.
Para penulis perempuan mungkin membutuhkan diskusi atau perkumpulan dengan sesama perempuan lain untuk mendapatkan perspektif kesetaraan ketika mereka dalam proses menulis. Pun mendapatkan benturan ketika mereka melakukan pekerjaannya sebagian besar di rumah, dengan stereotip yang akan menganggap mereka tidak melakukan pekerjaan yang baik, dan hanya membuang waktu.
Baca juga: Dilema Perempuan Penulis: Kejujuran, Industri, dan Keberpihakan
Terlebih ketika penulis perempuan sudah menjadi ibu. Tdak mungkin bisa berkonsentrasi penuh pada satu pekerjaan mereka. Bahkan di negeri yang sudah menghormati kesetaraan gender dalam wilayah rumah tangga pun ibu-ibu dalam hubungan heteroseksual tetap menanggung “beban tersembunyi”, terutama dalam hal merawat anak dan rumah.
Tidak sedikit perempuan yang cemas akan kemampuannya sendiri, tidak jarang malah menganggap rendah dirinya sendiri. Menjadi sukses dan disukai bukan hal yang biasa bagi perempuan, justru terkadang ambisi yang perempuan miliki kerap dianggap menentang tradisi.
Meretas batas profesi tanpa label gender sudah sepantasnya mendapat apresiasi dengan menerapkannya pada nyata aksi, sebuah langkah menuju dunia kerja yang merdeka dari batasan gender, di mana setiap individu bisa berkembang dan berkontribusi sesuai potensi mereka tanpa hambatan stereotip atau ekspektasi. Dengan membuka akses dan kesempatan yang setara, kita bisa menciptakan ruang inklusif yang menghargai keberagaman, serta memungkinkan semua orang untuk mencapai puncak karier mereka secara adil dan setara.