
Koki sohor Gordon Ramsay pernah bilang, memasak bak melukis atau menulis lagu: Ada banyak warna dan rasa yang dipadukan. Masalahnya hari-hari ini kita melihat sebuah paradoks besar. Kebanyakan dari kita tumbuh dengan anggapan memasak adalah tugas perempuan di rumah dan dapur adalah wilayah perempuan. Keterampilan memasak dalam hal ini dianggap sebagai keharusan buat perempuan.
Sebaliknya di dunia profesional, memasak justru sangat berwajah maskulin. Justru lebih banyak koki lelaki yang seliweran di industri ini ketimbang perempuan. Dalam reality show memasak pun demikian. Lebih dominan koki laki-laki yang menjuarai berbagai macam perlombaan memasak, seperti MasterChef Indonesia. Apakah ini hal baik atau buruk?
Buat saya semakin banyak laki-laki yang menyadari pentingnya keterampilan memasak—tidak hanya sebagai kebutuhan sehari-hari, tetapi juga ekspresi diri—patut kita apresiasi.
Dengan mengapresiasinya, kita enggak cuma ikut mematahkan stereotip bahwa lelaki tak seharusnya memasak. Selain itu memasak seharusnya dipahami sebagai keterampilan dasar manusia buat bertahan hidup. Karena itulah dapur tak mengenal jenis kelamin dan gender.
Baca Juga: Urgensi Pelibatan Laki-laki dalam Gerakan Feminis
Di Manado, tempat saya tumbuh, pemahaman seperti ini sudah begitu jamak. Kota yang konsisten memproduksi berbagai sajian kuliner lezat ini bahkan menempatkan lelaki dan perempuan setara dalam urusan dapur. Di sini melihat lelaki masak adalah hal biasa. Tak lantas dianggap kurang macho dan takut istri.

“Kalau di Manado laki yang lebih jago memasak,” lirik lagu “Produk Manado” dari musisi Ryan Junior. Dalam tradisi Mapalus, di mana semua warga saling membantu saat warga lain menggelar pesta/ acara, lelaki pun terlibat di dapur. Mereka tak cuma bertanggung jawab dalam mendirikan bangsal pesta atau membersihkan area, tetapi andil dalam urusan dapur.

Sebagai laki-laki yang tinggal di Manado, rasanya sangat malu jika tidak dapat membedakan antara daun jeruk, daun salam, dan daun kunyit. Sebab, makanan khas seperti woku, biasa dimasak menggunakan ketiga rempah tersebut. Kami para lelaki Manado pun takkan gengsi memegang peralatan dapur, termasuk mengupas bawang, mengiris daging, dan sebagainya.
Baca Juga: ‘Laki-laki Baru’ dari Timor: Peran Pemuda Mengubah Budaya Patriarki
Bukan hanya pada tradisi Mapalus tetapi ini juga mewujud dalam keseharian warga. Tugas memasak biasanya dilakukan oleh lelaki. Bahkan perempuan di sana disarankan untuk tidak perlu susah payah memasak dan bergulat di dapur. Biarkan saja lelaki berkontribusi mengerjakan tugas-tugas yang kerap dicap domestik ini.
Belajar dari realitas di Manado, menurut hemat saya, penting untuk sama-sama mendobrak stereotip bahwa tugas perempuan. Itu adalah keterampilan universal yang tidak terikat pada satu gender.
Selain itu, tradisi lokal yang menghargai kemampuan laki-laki di dapur menunjukkan peran gender dalam memasak dapat berubah dan berkembang seiring dengan waktu. Mari kita dukung kesetaraan dalam memasak, tidak hanya di dapur rumah tangga tetapi juga di industri kuliner.
Dengan cara ini, kita dapat merayakan keberagaman, menghargai kontribusi semua individu, dan menumbuhkan rasa saling menghormati baik laki-laki maupun perempuan. Memasak adalah tentang cinta, kreativitas, dan menggunakan hati, serta semua orang berhak untuk merasakannya.
Tulisan ini adalah pemenang kompetisi esai #CeritaPeranSetara, sebuah inisiatif dari Generasi Setara untuk mengangkat cerita tentang kesetaraan.
Cliford Rafael Kevin Kindangen merupakan seorang mahasiswa double degree Ilmu Hukum dan Teknologi Pangan Universitas Sam Ratulangi, Manado. Senang berbagi perspektif tentang kehidupan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
