Gender & Sexuality Issues Opini

Ini Dukungan yang Diperlukan Transpuan Saat Transisi 

Transisi perempuan-trans atau transpuan adalah bagian feminisme karena akarnya soal bagaimana tubuh perempuan ditampilkan. Masalahnya, proses transisi tak pernah semudah itu.

Avatar
  • October 4, 2024
  • 6 min read
  • 80 Views
Ini Dukungan yang Diperlukan Transpuan Saat Transisi 

Sebagai transpuan, saya mengalami banyak hal ketika melakukan transisi. Dari yang menyedihkan sampai memalukan, dari penghakiman hingga celaan pedas anggota keluarga terdekat, sesama teman komunitas, juga orang-orang yang baru saya temui. Karena itulah, proses transisi sosial maupun medis ini terasa menakutkan sekali. 

Saya pikir, asal pandai memilih busana, tampak cantik memesona—intinya agar terlihat sesuai standar kecantikan perempuan pada umumnya—itu cukup. Ternyata, semua itu mustahil.  

 

 

Baca juga: 15 Tahun Tanpa Identitas, Transpuan Jogja Dapat Kado E-KTP 

Pengalaman pahit pertama datang dari keluarga sendiri, saat Ibu selalu membandingkan saya dengan adik. Ibu enggak pernah lupa mengingatkan, “Dengkulmu hitam”, “Kamu harus luluran”, “Putih bersih itu lebih baik.” Hal ini membuat saya merenung, kenapa Ibu selalu lihai menunjukkan yang dia anggap kekurangan fisik saya. 

Ketika saya bertransisi sosial menjadi transpuan dan senang memakai aneka rok, Ibu selalu menganggap itu tidak pantas. Perundungan tidak hanya datang karena tampilan feminin, tapi juga, lagi-lagi, soal kulit saya yang cenderung gelap. Menurut Ibu, setelan rok hanya pantas dipakai oleh orang yang berkulit putih. Namun itu tak menyurutkan saya untuk percaya diri ketika memakai rok.  

Celaan juga kerap muncul dari teman-teman sendiri, yang berkomentar serupa soal kulit yang katanya hitam legam, dan pakaian-pakaian yang pantas dipakai sesuai kulit. Saya kehilangan semangat berkomentar balik, bahkan bisa murung berhari-hari. Saya sempat juga memotong rambut menjadi cepak. Ketika sudah kehilangan “pegangan”, saya pun mempertanyakan, apa transisi transpuan sesungguhnya? 

Saya tidak tergolong buruk rupa. Beberapa kawan, entah tulus atau hanya ingin menyenangkan hati, menyebut saya cantik. Kadang pujian itu saya terima, tapi ketika ada embel-embel “Kamu cantik, Jess, tapi…” dan kemudian secara detail membandingkan saya dengan perempuan lain, hal ini mendatangkan pengalaman tubuh yang tidak nyaman.  

Komentar-komentar lain berdatangan saat saya mengalami transisi medis. Di saat saya menyuntikkan hormon agar bulu-bulu pada tubuh berkurang, ada saja celaan terkait waxing atau lainnya yang menyudutkan, seolah-olah saya bukan manusia. Ketika saya melakukan transisi hormonal untuk membentuk payudara yang seimbang—untuk kenyamanan, bukan pamer—manusia lain selalu lebih mudah mencari cela. Misalnya menyebut bentuk payudara saya terlalu besar lah, kekecilan lah, dan lain sebagainya.  

Saya pernah dijauhi hanya karena memakai pakaian yang menurut orang-orang “tidak sopan” atau “kurang cocok”, seperti blazer dan rok mini. Saya menjadi bingung, tapi pada akhirnya percaya diri dengan semua pakaian dan bagaimana kain yang saya pakai mencitrakan diri ini.  

Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra  

Transisi Transpuan Bagian dari Feminisme  

Semua kejadian itu memberikan renungan mendalam, apakah menjadi perempuan semenakutkan itu, atau saya “gagal” menjadi perempuan? Apa arti transisi sesungguhnya? Kenapa bahkan sesama perempuan atau transpuan saling mencela penampilan? Apa kesalahan saya hingga saya disudutkan karena penampilan saya?  

Saya tergolong orang yang cepat tanggap, luwes, mampu bergaul, dan berkomunikasi dengan perempuan atau laki-laki, cis maupun trans. Saya juga suka belajar, ingin mengetahui dunia “kecantikan” dan perempuan lebih dalam. Saya ingin merengkuh semua kelebihan ini.  

Dalam cerminan diri, saya cantik, bersih, dan bisa merawat diri. Saya tangkap semua ini dan memantulkannya ke dalam diri jika ada yang terus-menerus mengingatkan kekurangan saya. Jika ada yang usil mengomentari tubuh, saya akan jawab, “Saya masih manusia. Ini proses tubuh untuk ‘menjadi’, dan ini bukan aib.” Ini adalah tubuh yang harus saya rangkul dan terima.  

Banyak emosi yang hadir dalam proses transisi sosial dan medis. Ketika tidak dipercaya sebagai perempuan dan tidak dianggap wajar memakai rok, itu menyakitkan, bahkan jika dilontarkan oleh anak kecil. Hinaan dari bocah itu sungguh memilukan jika orang dewasa di sekitarnya membiarkan saja. Emosi-emosi itu harus saya kelola. Beruntung saya dekat dengan support system konselor feminis dari sebuah lembaga. Mereka mengerti diri saya apa adanya sebagai perempuan. 

Transisi perempuan-trans atau transpuan sendiri adalah bagian dari feminisme, karena akar persoalannya tentang bagaimana tubuh “perempuan” ditampilkan dalam keseharian. Kita sendiri tahu tubuh perempuan kerap jadi medan buat semua penghakiman, standar, dan norma yang tak masuk akal. 

Celakanya penghakiman terhadap transpuan melampaui isu tubuh. Hari-hari ini kita melihat kelompok transpuan masih rentan diskriminasi, cenderung tidak dianggap, dan diabaikan. Luka-luka itu mengendap di jiwa karena kami menyimpannya sejak lama. Kami kurang bisa mengartikulasikan transisi kami karena nilai patriarki dan heteronormatif yang masih mengakar kuat.  

Transisi bagi kami, kelompok transpuan masih dianggap sebagai hal yang tabu, bahkan aib. Sebab, kami dianggap menyalahi kodrat dan menentang norma. Padahal kami hanya ingin kembali ke dalam jiwa yang kami rasakan dan hidupi. Kami hanya ingin memeluk jiwa yang kami rasakan sebagai perempuan.  

Baca juga: 7 Cara Sederhana Mendukung Komunitas Transgender 

Dukungan yang Dibutuhkan dalam Proses Transisi 

Transisi kami terjadi jauh sebelum kami memakai atribut perempuan pada umumnya. Bagaimana saat kecil, kami bertumbuh sebagai anak yang selalu dirundung. Transisi sosial kami diwarnai hal yang menakutkan karena persepsi masyarakat yang salah. Kekerasan terjadi lewat perundungan, misgendering (salah menyebut gender yang dipakai individu), dan persekusi karena dianggap melanggar norma adat dan agama. 

Perundungan bisa berujung pada pembunuhan hanya karena kami mengekspresikan diri sebagai perempuan. Kita tahu femisida juga menjatuhkan korban transpuan. Sebut saja Mira, transpuan yang kasusnya masih menyayat dan menimbulkan luka batin kolektif.  

Apa sebenarnya yang kami butuhkan pada saat transisi? 

  • Individu dan kelompok transpuan membutuhkan konseling transisi untuk mengenali apa yang dia sadari dan rasakan sebagai perempuan. Hal ini bisa dilakukan oleh konselor feminis. 
  • Kami, kelompok dan individu transpuan membutuhkan pelantar media feminis untuk membicarakan, curhat, dan menegosiasikan persoalan inklusi transisi yang kami hadapi. 
  • Kelompok dan individu transpuan membutuhkan layanan transisi medis berkaitan dengan pilihan untuk menyesuaikan kondisi tubuh yang kami inginkan, misalnya suntik hormon, operasi implan, dan penyesuaian alat genitalia. 
  • Kelompok dan individu transpuan membutuhkan dukungan untuk membicarakan transisi perempuan-trans sebagai edukasi kesehatan reproduksi bukan sebagai hal yang terlarang.  
  • Kelompok dan individu transpuan ingin belajar bersama bagaimana memahami keberagaman gender lewat perspektif gender, perspektif hukum, perspektif sosial yang ada di negara Indonesia.  

Harapan saya, proses transisi perempuan-trans akan lebih tidak “menakutkan” dan tindak kekerasan serta diskriminasi terhadap transpuan akan menurun dan hilang. Salam feminis. 

Jessica Ayudya Lesmana adalah penulis buku Lubang Kelam(in) (2023) yang membicarakan isu politik tubuh. Suka dengan literasi, membaca, dan menulis.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jessica Ayudya Lesmana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *