Feminism A to Z Gender & Sexuality Issues

Sejarah Istilah “Transpuan” dan Perjuangan Keadilan di Dalamnya

Transpuan bukan hanya tentang gender, tapi juga tentang perjuangan keadilan lintas batas.

Sejarah Istilah “Transpuan” dan Perjuangan Keadilan di Dalamnya

Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia yang jatuh pada 17 Mei.

Sejak akhir 2010-an, kosakata transpuan mulai digunakan secara luas baik di lingkup daring maupun luring, dan kini telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Media progresif dan organisasi masyarakat sipil di ibu kota pun mulai makin intens menggunakan istilah transpuan pada 2020.

 

 

Kata transpuan merupakan gabungan suku kata pertama dari bahasa Inggris “transgender” (trans-) dan suku kata akhir “perempuan” (puan). Dalam bahasa Inggris sendiri dikenal istilah transwoman, yang berasal dari gabungan kata “transgender” dan “woman”. Namun, sejarah kata transpuan di Indonesia melibatkan perjuangan keadilan gender tersendiri.

Sejarahnya, transgender di Indonesia bukanlah hal baru, dan transpuan bukan istilah pertama yang digunakan untuk merujuk pada kelompok identitas gender terkait.

Perjalanan pergeseran istilah untuk menyebut suatu kelompok kerap kali memiliki makna yang berbeda-beda dan mempengaruhi cara mereka mengidentifikasi dirinya, tergantung oleh siapa istilah itu diperkenalkan dan di mana, dan dalam konteks budaya apa.

Sejarah perubahan istilah ini pun menjadi kunci untuk memahami bagaimana kelompok trans di Indonesia memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak terhadap akses kesehatan, kartu identitas, dan keamanan di ruang publik.

Baca juga: Perjalanan Menerima ‘Hidayah’ sebagai Muslimah Queer di Indonesia

Dari “Waria” ke “Transpuan”

Pada tahun 1968, pernah dikenal istilah “wadam”, singkatan dari “Hawa” (wanita) dan “Adam” (pria). Istilah ini diciptakan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, dengan tujuan memberikan sebutan yang lebih positif bagi istilah “banci” atau “bencong”. Setahun setelahnya, pemerintah DKI Jakarta juga memfasilitasi lahirnya organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).

Transpuan dari Sanggar Seroja Jakarta mengenakan kostum buatan sendiri dari bahan daur ulang untuk memperingati Hari Bumi. Toto Santiko Budi

“Banci” adalah istilah yang kerap digunakan sejak abad ke-19 sampai akhir 1960an. Istilah ini menyiratkan makna yang jauh lebih menyakitkan dan menyerang.

Namun, penggunaan kata Adam (yang diambil dari Nabi Adam) diprotes oleh salah satu kelompok agama di Jawa Timur. Kementerian Agama kemudian mengubahnya menjadi “waria”, diambil dari gabungan suku kata “wanita” dan “pria”, pada 1978.

Baca juga: Semua Transgender Berhak Hidup Sehat dan Bahagia

Mulai akhir 2010-an, beberapa aktivis transpuan di Jakarta mulai membatasi penggunaan kata waria. Dikutip penelitian, garis besarnya, aktivis menjelaskan tiga alasan. Pertama, istilah waria diberikan oleh pemerintah dan bukan diciptakan oleh komunitas relevan. Kedua, istilah itu menyelipkan kata “pria” yang dirasa tidak menjadi bagian dari maknanya. Ketiga, istilah itu dianggap bentuk objektivikasi dan dominasi pemerintah.

Contohnya, seorang aktivis transpuan, Kanzha Vinaa, mengatakan:

“Ada teman-teman trans yang lebih memilih menyebut dirinya sebagai transpuan, ada juga yang lebih memilih disebut waria. Tapi untuk orang-orang di luar komunitas trans, kami meminta mereka untuk menggunakan kata transpuan.”

Menurut aktivis tersebut, penting untuk memberi ruang bagi komunitas trans untuk memilih dengan kata apa mereka lebih nyaman disebut – entah sebagai waria, transpuan, atau bisa jadi keduanya.

Arum Marischa, seorang waria yang berasal dari Yogyakarta, mengatakan:

“Saya pribadi lebih suka dengan sebutan waria. Tapi, menurut saya, mau waria atau transpuan, itu monggo disepakati bersama saja.”

Riset lain menemukan ada juga orang trans yang menggunakan istilah tergantung situasi. Misalnya, ia menyebut dirinya sebagai “waria” atau “transgender” dalam setting dan konteks tertentu yang dibentuk posisi ekonomi dan politik tidak setara.

Pernyataan-pernyataan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan penggunaan istilah antara bagaimana peneliti serta komunitas mengategorisasi orang lain dan diri sendiri.

Seorang transgender menari tradisional di sebuah festival seni di daerah Jawa Tengah, Indonesia. Mufti Adi Utomo

Komunitas trans di Indonesia sering menjadi objek bagi peneliti dan jurnalis. Namun sering sekali mereka tidak dilibatkan sebagai partner. Padahal, untuk konteks formal, termasuk penelitian dan konten media, penting untuk memastikan istilah mana yang tepat digunakan karena ini adalah etika dasar. Untuk memastikannya, perlu penyesuaian dengan konteks dan kemauan komunitas setempat.

Transpuan Sebagai Istilah Perjuangan

Pada awalnya, penggunaan kata transpuan hanya familier di antara kelas menengah atau jaringan aktivisme yang berbasis di Jakarta. Namun, berdasarkan hasil observasi kami, istilah tersebut juga digunakan oleh selain kelas menengah dan di luar area metropolitan – sering kali berbarengan atau tertukar dengan waria. Beberapa aktivis transgender dan queer menggunakan istilah transpuan agar lebih mudah diterima dalam lingkup sosial yang lebih besar.

Penjelasan terkait penggunaan istilah transpuan maupun waria sebenarnya memiliki motivasi yang paralel. Keduanya muncul sebagai upaya dan keinginan untuk mendapat pengakuan dan memiliki kontrol untuk mengidentifikasi dirinya, menyebut dirinya, maupun memahami dirinya.

Baca juga: KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan

Penggunaan awal transpuan dalam buku berbahasa Indonesia adalah dalam buku Penerimaan: Kumpulan Cerita Penerimaan Orang Tua dengan Anak Transpuan yang ditulis oleh psikolog dan aktivis transpuan, Stephanie Halim. Pada bagian pendahuluannya, ia menawarkan definisi “trans” secara ekspansif. Definisi tersebut menunjukkan pola yang terjadi secara nasional dalam generasi konsep baru terkait transgender di Indonesia.

Ini mirip seperti yang terjadi dengan perubahan makna dalam kosakata “perempuan” dan “wanita”. Istilah wanita kerap digunakan dalam proyek pembangunan Orde Baru dan menyelipkan bentuk kekuasaan pemerintah patriarkis yang lekat dengan domestikasi terhadap perempuan.

Munculnya istilah transpuan juga mengandung akses solidaritas terhadap jaringan aktivis feminisme. Kata “perempuan” (-puan) di dalam transpuan menunjukkan adanya upaya — dalam lingkup individu maupun kolektif —- mengambil alih pengakuan dari komunitas sendiri dan melepaskan diri dari istilah yang diberikan aktor-aktor negara.

Mengurai Solidaritas Transgender Lintas Negara

Transgender bukan istilah netral, melainkan punya sejarah tersendiri. Kosakata ini mulai digunakan secara luas dan di kalangan resmi di AS pada 1990-an untuk membedakan antara identitas yang berbasis seksualitas dan yang berbasis gender. Sebelum itu, orang-orang biasanya menyebut diri dengan kosakata yang sudah ada, “gay”, maka istilah transgender membuka ruang untuk membedakan dirinya maupun dibedakan oleh orang dan institusi lain.

Perayaan Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia di Jakarta tahun 2015. Dani Daniar

Jika kita mengulik sejarah transpuan di Indonesia, maka akan terlihat bagaimana munculnya ketidakadilan terhadap komunitas trans, sekaligus terjalinnya solidaritas antara transpuan dan perempuan dan antara komunitas transgender di kawasan Asia Tenggara.

Di Asia Tenggara, “transgender” digunakan secara lebih luas sebagai platform untuk mendapatkan hak dan pengakuan, termasuk – tetapi tidak terbatas – untuk program penanganan HIV/AIDS.

Pada pertengahan 2010-an, seiring bertumbuhnya dana dan infrastruktur untuk penanganan HIV di Asia Tenggara, istilah transgender mulai digunakan dalam konteks ruang publik yang demokratis dan dalam konteks advokasi di lingkup internasional.

Sayangnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang sudah disahkan oleh pemerintah dan DPR RI justru menjadi salah satu bentuk kriminalisasi terhadap kelompok berbasis seksualitas dan identitas gender oleh negara.

Sejarah trans di Indonesia juga tertanam dalam hubungan regional di Asia Tenggara. Asia-Pacific Transgender Network (APTN) merupakan komisi koordinasi dan advokasi regional berbasis di Bangkok yang mewadahi organisasi transgender di seluruh Asia dan Pasifik. Salah satu yang dihasilkannya adalah “Buku Panduan Kesehatan untuk Waria” yang terbit tahun 2010.

Transpuan menjadi salah satu cara komunitas trans di Indonesia terhubung secara regional untuk menuntut pengakuan dan advokasi demi memperjuangkan kepentingan bersama, dan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang sejarah ketidakadilan akibat eksploitasi kolonial dan kapitalis.

Ini karena transpuan di Indonesia belum sepenuhnya mendapat hak dasar sebagai warga negara, seperti akses kesehatan dan kartu identitas.

Transpuan bukan hanya tentang gender, tapi juga tentang perjuangan keadilan lintas batas.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Benjamin Hegarty, Global Health Program, The Kirby Institute, UNSW Sydney, Amalia Puri Handayani, Peneliti PUI-PT PPH Pusat Unggulan Kebijakan Kesehatan dan Inovasi Sosial, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Rebecca Nyui bekerja pada organisasi Yayasan Hivos sebagai tim Design, Monitoring, Evaluation and Learning untuk Asia Tenggara dan mahasiwa program studi Sosiologi, Universitas Terbuka.


Avatar
About Author

Benjamin Hegarty, Amalia Puri Handayani and Rebecca Nyuei

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *