Issues Opini Politics & Society

Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’

Komitmen Presiden Prabowo untuk menyulap Indonesia lebih maju (Indonesia Emas 2045) akan sulit jika anggaran pendidikan dan riset dibabat habis.

Avatar
  • February 19, 2025
  • 5 min read
  • 1160 Views
Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’

Baru seumur jagung, rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka lagi-lagi membuat publik gaduh. Salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemangkasan anggaran negara yang signifikan. Enggak tanggung-tanggung, 136 dari total 152 kementerian/lembaga pemerintah menjadi target efisiensi hingga Rp256,1 triliun dan efisiensi transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun.

Pemerintah mengeklaim efisiensi tersebut bertujuan untuk membiayai program makan bergizi gratis (MBG), program populis unggulan Prabowo. Ada pula dana efisiensi yang akan dimasukkan ke Danantara, superholding BUMN ciptaan Prabowo.

 

Pemangkasan anggaran negara memang tidak selalu buruk. Namun, hal yang mengecewakan publik adalah bahwa anggaran sektor pendidikan dan riset juga ikut dipangkas signifikan. Pagu 2025 anggaran Kemendikdasmen dipangkas dari Rp33,5 triliun menjadi Rp26,2 triliun dan Kemendiktisaintek dipangkas dari Rp57,6 triliun menjadi Rp43,3 triliun.

Jika pemerintah bijak, alih-alih memprioritaskan kebijakan populis yang berumur pendek, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk riset, peningkatan kualitas pendidikan vokasi, dan insentif bagi industri teknologi lokal yang lebih memiliki efek pemberdayaan SDM jangka panjang.

Pasalnya, dari perspektif sosio-ekonomi, kebijakan populis seperti makan bergizi gratis dan bantuan langsung tunai berisiko menciptakan mentalitas ketergantungan pada pemerintah dan mencegah masyarakat yang berpikir kritis. Ini jauh dari tujuan pemerintah memajukan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Baca Juga: 5 Catatan Penting dari 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran 

Negara Maju Berinvestasi pada Pendidikan

Negara-negara maju menekankan kemandirian warganya, bukan kebijakan jangka pendek yang berorientasi pada bantuan langsung. Tugas utama pemerintah bukan sekadar memberikan makan gratis atau bantuan tunai dengan manfaat sesaat, melainkan memastikan masyarakat dapat mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Sehingga, memiliki pekerjaan dengan upah yang layak agar mampu memenuhi kebutuhannya—dan pada akhirnya berkontribusi pada pembangunan nasional.

Sebagai contoh, Singapura secara konsisten berinvestasi besar di bidang pendidikan, inovasi, dan pengembangan SDM. Meskipun anggaran pendidikannya tidak sebesar Indonesia, sekitar 12,4% dari APBN, pemerintah Singapura fokus pada pendidikan teknis, kewirausahaan, dan inovasi, ditambah program pelatihan keahlian di berbagai sektor industri di bawah naungan SkillsFuture.

Hasilnya, kontribusi SDM terhadap pertumbuhan ekonominya sangat signifikan, memungkinkan pemerintah memiliki surplus anggaran untuk memenuhi berbagai kebutuhan negara, salah satunya pendidikan berkualitas.

Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi tantangan besar di bidang pendidikan dan pengembangan SDM. Meskipun anggaran pendidikan relatif besar, yakni 20 persen dari APBN, efektivitas penggunaannya masih rendah. Ini terjadi akibat rendahnya kualitas tenaga pengajar, akses pendidikan yang sulit di daerah tertinggal, terdepan, dan terbelakang (3T), dan relevansi kurikulum dengan kebutuhan industri.

Hasilnya, kontribusi SDM terhadap pertumbuhan ekonomi rendah, sehingga pemerintah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk berinvestasi lebih besar di sektor pendidikan.

Contoh lain adalah Korea Selatan yang berhasil mengembangkan ekonominya bukan hanya melalui pasar konsumsi yang besar namun melalui produktivitas tinggi dan inovasi teknologi.

Sejak 1960-an, pemerintah Korea Selatan berinvestasi besar dalam pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematic) dan R&D (Research and Development). Dengan strategi ini, Korea Selatan bertransformasi dari negara berkembang menjadi salah satu negara ekonomi terkuat di dunia, dengan sektor teknologi dan manufaktur sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, Indonesia masih terlalu bergantung pada ekonomi konsumsi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia banyak ditopang oleh besarnya pasar domestik, bukan karena produksi atau inovasi yang kompetitif secara global. Kontribusi industri manufaktur dan teknologi masih terbatas, sementara sektor informal masih mendominasi tenaga kerja.

Jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki rasio pengeluaran R&D sebesar 5,21 persen dari PDB 2022, Indonesia hanya mengalokasikan 0,24 persen dari PDB 2022. Dengan adanya angka ini, wajar jika Indonesia minim produk maupun inovasi dalam negeri, sehingga dibanjiri produk luar negeri, salah satunya dari Korea Selatan.

Baca Juga: Menagih Janji Prabowo, Kapan Tukin Dosen ASN Dibayarkan?

Paradoks Penghematan tapi Seremonial Jalan Terus

Ironisnya, meskipun pemerintah berusaha menghemat anggaran, kebijakan yang bertolak belakang masih terus terjadi. Terlepas dari jumlah kabinet “gemoy” pemerintah yang sarat akan politik balas budi, bukan politik meritokrasi, baru-baru ini Kementerian Koperasi dan Kementerian Pertahanan melantik sejumlah staf khusus khusus dari kalangan pendengung (buzzer) dan pesohor.

Selain itu, ada pula rencana retret kepala daerah selama satu minggu di Kompleks Akademi Militer Magelang yang diperkirakan akan menelan anggaran lebih dari Rp22 miliar.

Ironisnya lagi, sepertinya sejak awal pemerintah tidak berencana memangkas anggaran Kementerian Pertahanan, Kepolisian, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN). Karena kritik publik, akhirnya anggaran lembaga-lembaga tersebut diwacanakan untuk dipangkas meski dengan persentase pemangkasan yang jauh lebih rendah ketimbang sektor pendidikan dan riset.

Kenyataan bahwa pemerintah mempertahankan anggaran besar bagi Polri, TNI, dan BIN justru mengindikasikan tingkat legitimasi yang rendah dan ketimpangan alokasi anggaran. Ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus pada sektor pertahanan dan keamanan yang lekat dengan arah kebijakan represif.

Baca Juga: Larangan Jual Elpiji 3 KG Eceran, OK Gas Penderitaan Perempuan 

‘Omon-omon’ Janji Tingkatkan SDM

Ini sama sekali tidak sesuai dengan janji kampanye Prabowo-Gibran yang tertera dalam visi-misi mereka semasa Pilpres 2024 lalu, yang menekankan komitmen untuk memajukan kualitas SDM.

Jika memang ingin meningkatkan kualitas SDM, pemerintah seharusnya lebih menitikberatkan anggaran pada sektor pendidikan dan riset, bukan hanya pemberian makanan gratis di sekolah. Jika efisiensi adalah tujuan utama, seharusnya pemotongan anggaran berlaku merata di semua sektor, termasuk pertahanan dan kepolisian.

Ketika anggaran pendidikan dan riset dilucuti, sudah bisa ditebak kemana arah keberpihakan pemerintah. Alih-alih memajukan kualitas SDM, lambat laun Prabowo justru bisa membawa Indonesia menjauh dari cita-cita menjadi negara maju dan mencapai Indonesia Emas 2045.

Dadang I K Mujiono, Faculty member of International Relations Department, Universitas Mulawarman.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality
Avatar
About Author

Dadang I K Mujiono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *