Ekonomi Peka Gender Buat Indonesia
Indonesia perlu terapkan ekonomi peka gender demi maksimalkan pertumbuhan dan kurangi kesenjangan.
International Women’s Day 2024 yang mengambil tema “Invest in Women: Accelerate Progress” menjadi sebuah refleksi tentang pentingnya mengalokasikan investasi dan sumber daya yang memadai untuk mendukung perempuan.
Menurut UN Women, pemberdayaan perempuan adalah kunci dari dampak transformasional, yakni mengurangi kesenjangan sosial dengan menciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk pembangunan yang berkelanjutan berbasis ekonomi.
Baca juga: Patriarki dan Ketimpangan Gender Menghambat Pertumbuhan Ekonomi Jepang
Data dari institusi tersebut menunjukkan bahwa porsi perempuan di parlemen ataupun di posisi manajerial di tempat kerja di seluruh dunia masih kurang dari 30 persen. Perempuan masih menanggung pekerjaan domestik tak berbayar tiga jam lebih banyak dari laki-laki. Di dunia kerja, upah rata-ratanya hanya setengah dari yang dihasilkan laki-laki.
Hal ini menyebabkan perempuan berada dalam pusaran ketidakadilan sistemik dalam kesempatan ekonomi dan pembangunan. Namun, dibutuhkan pendanaan sebesar US$360 miliar (Rp5.622 triliun) per tahun untuk bisa mengatasi kesetaraan gender.
Perempuan memiliki potensi sebagai katalisator dalam pemberdayaan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Memberikan perempuan kesempatan yang adil dan setara serta mendukung keterlibatan perempuan dalam perekonomian dapat membawa inovasi, keberagaman, dan keberlanjutan dalam pemberdayaan ekonomi yang transformasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah perempuan adalah sekitar 49,92% dari total penduduk Indonesia. Artinya, perempuan juga memiliki potensi besar sebagai kekuatan ekonomi negara. Indonesia perlu memaksimalkan potensi ini dengan menyusun kerangka ekonomi yang peka gender.
Jauh dari Setara
Laporan Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis World Economic Forum (WEF) menunjukkan adanya penurunan partisipasi perempuan dalam perekonomian Indonesia dari peringkat 80 pada 2022 menjadi 87 pada tahun lalu. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa indeks kesenjangan gender di Indonesia berada di poin 0,697–angka ini stagnan paling tidak selama empat tahun terakhir.
Sementara, Survei Angkatan Kerja Nasional dari BPS menunjukkan rata-rata upah perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tak hanya itu, riset juga memperlihatkan kurangnya akses ke peluang karier yang setara dan diskriminasi gender, khususnya bagi para ibu.
Peluang partisipasi perempuan perlu dilihat dari sisi supply (pasokan) dan demand (permintaan). Dari sisi pasokan, perempuan masih terjebak dalam norma tradisional yang membatasi pilihan karier dan kesempatan meningkatkan keterampilan mereka, seperti akses pekerjaan dalam bidang rekayasa dan teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan, perempuan masih mengalami diskriminasi gaji dan beban ganda mengurus rumah tangga.
Baca juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia
Dalam ruang kerja yang bersifat informal, 60 persen perempuan sebetulnya mendominasi porsi penggiat UMKM di Indonesia. Sayangnya, mereka masih menemui perlakuan berbeda untuk memulai bisnis, seperti kendala sosial budaya, keterbatasan akses pelatihan dan sumber daya finansial, dan diskriminasi dalam pengambilan keputusan bisnis. Hal ini membatasi aspirasi dan potensi mereka.
Akses finansial bagi perempuan seperti penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), misalnya, masih menghadapi kendala yang signifikan. Studi International Finance Corporation menyebutkan 80% dari total UMKM yang dimiliki oleh perempuan belum mendapatkan pelayanan yang memadai. Salah satu masalah yang diidentifikasi adalah kriteria persetujuan dana kredit yang masih berdasar pada faktor gender.
Menyusun Ekonomi Peka Gender
Ekonomi peka gender menjadi upaya yang signifikan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mendukung pemberdayaan perempuan. Berdasarkan studi Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2022, kebijakan makroekonomi peka gender dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ketahanan dan stabilitas ekonomi, serta menurunkan ketimpangan gender dalam pendapatan.
Ekonomi peka gender penting untuk menyikapi kebijakan yang melibatkan risiko ketidaksetaraan atau dampak negatif pada kelompok gender tertentu, termasuk pemotongan anggaran yang berdampak negatif pada layanan dasar yang seringkali vital bagi perempuan, seperti kesehatan dan pendidikan. Tak hanya itu, hal tersebut juga penting menyikapi kebijakan privatisasi yang melibatkan peralihan unsur publik kepada swasta yang cenderung fokus pada keuntungan finansial tanpa memprioritaskan responsif gender.
Baca juga: Betulkah Makan Siang Gratis Tingkatkan Ekonomi Hingga 2 Persen?
Kebijakan makroekonomi peka gender melibatkan serangkaian langkah yang dirancang untuk memperhitungkan dampak berbeda dari kebijakan ekonomi terhadap perempuan dan laki-laki.
Langkah pertama, meningkatkan investasi pada sumber daya manusia perempuan memberi manfaat kesetaraan akses terhadap layanan, mulai dari pendidikan, pelatihan, hingga bursa kerja. Kesetaraan peluang ini menjadi investasi yang mempromosikan kesempatan yang adil dan sama bagi perempuan.
Langkah kedua, memberikan kesempatan perempuan untuk bekerja di luar rumah atau memulai usaha. Perlunya reformasi perpajakan, keterbukaan pasar kerja, dan kemudahan memperoleh akses modal sebagai bentuk upaya pemberdayaan perempuan.
Langkah ketiga, mengatasi bias gender dengan secara tegas adanya tindakan sosial dan hukum yang progresif. Upaya seperti mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga dan membatasi pernikahan dini dapat mengubah paradigma ketidaksetaraan gender dan mempercepat pemberdayaan perempuan.
Langkah keempat, meningkatkan kesempatan keterwakilan perempuan menempati posisi pemimpin di manajerial maupun di pemerintahan. Upaya ini dianggap dapat membentuk fondasi yang lebih kuat untuk kesetaraan gender dan mendorong transformasi sosial yang adil dan inklusif.
Riset oleh IMF tahun 2022 menunjukkan semakin besar keterwakilan perempuan di lembaga keuangan dan pembuatan kebijakan keuangan akan berdampak pada semakin besarnya ketahanan keuangan. Di sisi lain, kepemimpinan perempuan dianggap memiliki kinerja dan profitabilitas yang lebih baik.
Anggaran Responsif Gender
Salah satu cara untuk merangsang partisipasi perempuan dalam penerapan ekonomi peka gender adalah menghadirkan [anggaran responsif gender].
Anggaran tersebut harus diimplementasikan dengan regulasi dan kebijakan yang tidak hanya sekadar netral gender, namun juga afirmatif. Dengan kata lain, kebijakan yang ada harus mengadopsi langkah-langkah khusus yang bertujuan untuk memperkuat posisi dan kesejahteraan ekonomi perempuan.
Anggaran responsif gender ini perlu menjadi komitmen dalam Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Panduan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk merancang anggaran responsif gender perlu terdiri dari tiga unsur.
Pertama, anggaran khusus target gender, yaitu alokasi untuk memenuhi kebutuhan dasar perempuan seperti anggaran fasilitas nursery room.
Kedua, anggaran kesetaraan gender, yaitu alokasi untuk mengatasi permasalahan kesenjangan gender seperti anggaran kebijakan perpajakan, anggaran dana penyaluran KUR bagi UMKM yang didirikan oleh perempuan sehingga dapat adil secara gender.
Terakhir anggaran pelembagaan PUG, yaitu alokasi untuk penguatan lembaga untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia seperti pembentukan kelompok kerja baik tingkat pusat maupun daerah. Keberadaan kelompok PUG ini dapat memfasilitasi anggaran untuk program pemberdayaan ekonomi perempuan, seperti pelatihan kewirausahaan, pendanaan usaha mikro, atau program bantuan untuk memperluas akses perempuan ke pasar kerja.
Ekonomi peka gender bukan hanya mengubah dampak negatif, tapi juga mendukung pemulihan dan membangun ketahanan di masa depan melalui upaya perbaikan ekonomi. Dengan melibatkan pendekatan inklusif, kebijakan ekonomi peka gender memastikan pemberdayaan perempuan, mengurangi ketidaksetaraan, dan menciptakan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Lingga Utami, PhD Student, Universitas Pendidikan Indonesia
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.