Transisi Energi Tersandera Elit, Janji Hijau cuma ‘Omon-omon’?
Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) April lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk memenuhi Perjanjian Paris 2015 dan mencapai target emisi net-zero paling lambat pada 2060. Ia menyebut, mulai tahun depan sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia akan berbasis energi terbarukan.
Pernyataan tersebut menandai langkah awal pemerintah menuju pembangunan energi yang lebih berkelanjutan. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan sejumlah tantangan.
TV Tempo dalam dokumenter terbarunya berjudul “Benarkah Proyek Energi Terbarukan Dikuasai Elit Politik & Grup Besar?” (2025) menyoroti dinamika di balik proyek-proyek energi bersih yang bernilai besar. Investigasi ini mengungkap potensi keterlibatan kelompok elit dan korporasi besar dalam proyek-proyek transisi energi yang semestinya ditujukan untuk mendukung keadilan iklim.
Hasil liputan menunjukkan, sejumlah proyek energi terbarukan berisiko meminggirkan masyarakat lokal, mengubah tata ruang, dan menimbulkan dampak ekologis serta sosial di wilayah terdampak.
Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia
Transisi Energi dan Jejaring Elit: Temuan Koalisi Transisi Bersih
Penayangan dokumenter TV Tempo pada (6/10) disertai diskusi publik yang menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza, dan Manajer Kampanye Satya Bumi Sayyidatiihayaa Afra.
Dalam forum itu, Sayyidatiihayaa atau Hayaa memaparkan hasil riset terbaru Koalisi Transisi Bersih yang beranggotakan Satya Bumi, Trend Asia, Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Greenpeace Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Riset tersebut menemukan dugaan keterlibatan aktor politik dalam proyek-proyek energi bersih di Indonesia.
Sedikitnya 28 individu memenuhi kriteria Politically Exposed Persons (PEPs) atau tokoh dengan pengaruh politik signifikan di balik enam grup usaha energi besar. Para PEPs ini menempati posisi strategis di eksekutif, yudikatif, dan lembaga penegak hukum.
Salah satu contoh mencolok adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Mentarang di Kalimantan Utara yang dikelola grup Adaro Energy. Proyek ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak era Joko Widodo dan berlanjut di pemerintahan Prabowo Subianto.
Dalam grup Adaro tercatat lima nama PEPs: Boy Thohir, Nur Pamudji (mantan Direktur PLN), Sakti Wahyu Trenggono (Menteri Kelautan dan Perikanan), Kusmayanto Kadiman (mantan Menteri Riset dan Teknologi), dan Juanda Lesmana (bakal calon Gubernur Kalimantan Utara).
Riset juga menyoroti Wilmar Group yang memiliki enam individu berstatus PEPs, antara lain Master Parulian Tumanggori (mantan Bupati Dairi), Sutanto (mantan Kapolri), Edwin Pamimpin Situmorang (mantan Jaksa Agung Muda Intelijen), Togar Manatar Sianipar (mantan Kepala Pelaksana Harian BNN), dan Soekarto (Letjen Purn) (mantan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran RI).
Hayaa menilai keterlibatan PEPs dalam proyek energi bersih menimbulkan konflik kepentingan serius. Proyek energi yang berstatus strategis kerap mendapat kemudahan dalam perizinan, subsidi, hingga penyesuaian tata ruang. Kondisi ini, menurutnya, memperkuat dominasi kelompok berkuasa dalam skema transisi energi.
“Ini terbukti dalam temuan Satya Bumi 2024 yang juga mengungkap 3 dari 12 grup sawit memiliki PEPs dan menerima fasilitas subsidi negara senilai belasan triliun rupiah,” ujar Hayaa.
Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung
Masyarakat Justru Merugi
Jejaring elit dalam proyek energi bersih memperlihatkan skema transisi energi di Indonesia masih didominasi kepentingan politik dan ekonomi. Pendekatan berbasis etika dan keadilan sosial belum menjadi acuan utama, sementara aspek keberlanjutan sering dikalahkan oleh kepentingan modal.
Hayaa dari Satya Bumi menyoroti ketiadaan mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebelum proyek dijalankan. Dalam banyak kasus, masyarakat adat dan komunitas lokal tidak pernah dilibatkan secara bermakna dalam pengambilan keputusan.
“Harus tanya dulu ke masyarakat yang akan terdampak. Masalahnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berasumsi masyarakat tidak perlu tahu,” ujar Hayaa.
Kurangnya pelibatan ini kerap menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Proyek PLTA Kayan Mentarang atau PLTA Mentarang Induk, misalnya, diproyeksikan menenggelamkan 22.604 hektare lahan di dua kecamatan—Mentarang Hulu dan Sungai Tubu. Sungai Mentarang dan Sungai Tubu menjadi sumber kehidupan 13 kampung dan komunitas adat Punan serta Lundayeh. Sekitar 541 keluarga diperkirakan kehilangan rumah dan lahan sumber penghidupan mereka.
Pemerintah pusat disebut memerintahkan perubahan tata ruang untuk memperlancar proyek. Nilai jual objek pajak tanah diturunkan serendah mungkin, sementara akses masyarakat terhadap legalitas lahan dipersulit. Di bawah pemerintahan Prabowo, proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) tetap tercantum dalam daftar Proyek Strategis Nasional 2025–2029.
Keterlibatan PEPs juga memungkinkan pemain energi fosil masuk ke proyek transisi energi. Salah satunya proyek geothermal Wayang Windu yang dikelola anak usaha Barito Renewables Energy Tbk. Proyek ini menimbulkan retakan tanah, sumber air mengering, dan longsor di kampung Cibitung, Pangalengan, Jawa Barat.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional mencatat sedikitnya enam orang meninggal dalam insiden ledakan pipa PLTP Wayang Windu milik PT Star Energy. Ratusan warga terpaksa mengungsi, sementara kampung Cibitung yang dulunya dihuni sekitar 200 jiwa kini hilang dari peta.
Dalam forum yang sama, Amalya Reza dari Trend Asia menyoroti dampak sosial proyek transisi energi, terutama bagi perempuan dan anak. Ia mencontohkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) oleh Medco Group di Papua yang mengubah hutan alam menjadi perkebunan hutan tanaman industri (HTI). Perubahan ini merusak sumber pangan masyarakat adat Marind dan mengganggu pola berburu tradisional.
Akibatnya, keluarga di kampung Zanegi—yang berdekatan dengan area HTI—terpaksa bergantung pada nasi tanpa lauk. Data tahun 2022 mencatat sepertiga anak yang diperiksa di Puskesmas pembantu Zanegi mengalami gangguan perkembangan akibat kekurangan gizi. Amalya menambahkan, kondisi ini juga dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga.
“Dalam masyarakat tradisional, kerja perawatan termasuk memastikan makanan di dapur masih dibebankan sepihak pada perempuan. Jika tidak terpenuhi, perempuan lagi yang akan kena,” jelasnya.
Ia juga menyebut perempuan menjadi kelompok pertama yang terdampak pencemaran air dan kekeringan akibat proyek energi. Kelangkaan air mempersulit perempuan saat menstruasi dan berdampak pada kesehatan reproduksi. Untuk kebutuhan harian, mereka harus menempuh jarak lebih jauh untuk mencari air bersih.
Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah
Demokratisasi Energi sebagai Jalan Keluar
Koalisi Transisi Bersih mendorong demokratisasi energi sebagai solusi atas ketimpangan tersebut. Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai pihak yang berhak mengelola, mengontrol, dan menerima manfaat langsung dari sumber energi di wilayah mereka. Pemerintah berperan sebagai penyedia infrastruktur dan akses pendukung.
Skema ini diyakini dapat menciptakan sistem energi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan—tidak semata mengejar target emisi atau keuntungan investor.
Jika perusahaan tetap terlibat, mereka wajib mematuhi regulasi berbasis hak asasi manusia. Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 13 tentang Bisnis dan HAM pada 15 November 2024, yang mewajibkan perusahaan melakukan Human Rights Due Diligence (HRDD) untuk mencegah pelanggaran HAM dalam setiap tahap proyek. SNP ini mencakup isu hak atas pekerjaan, kebebasan berpendapat, dan akses informasi dalam kegiatan bisnis energi.
“Peraturan ini jadi sumber masukan bagi Kemenkum HAM untuk menyusun perpres tentang bisnis dan HAM. Tapi sejauh ini implementasinya belum terlihat. Ini tugas kolektif kita bersama untuk mendorongnya,” kata Hayaa.
Temuan Koalisi Transisi Bersih menegaskan, transisi energi tidak hanya soal menurunkan emisi, tetapi juga menyangkut siapa yang menguasai sumber daya dan siapa yang menanggung dampaknya. Selama kendali masih berada di tangan jejaring elit, energi bersih akan sulit menjadi nyata. Ruang partisipasi publik dan keterlibatan masyarakat sebagai subjek utama menjadi kunci agar transisi energi berjalan adil dan berkelanjutan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















