December 10, 2025
Environment Issues

COP30: Teater Politik Global yang Tawarkan Solusi Palsu dan Abai Genosida 

Digelar di jantung hutan Amazon, COP30 kembali meminggirkan suara masyarakat adat dan luput membahas genosida yang mempercepat krisis iklim.

  • November 20, 2025
  • 6 min read
  • 1308 Views
COP30: Teater Politik Global yang Tawarkan Solusi Palsu dan Abai Genosida 

Ratusan masyarakat adat mengepung area COP30 di Belém, Brasil. Mereka menerobos masuk dengan tubuh yang dipenuhi lukisan warna tanah dan merah menyerupai darah. Mereka bergerak cepat melewati barisan penjaga. Sementara teriakan, dentuman genderang, dan hentakan kaki menggema di dalam paviliun.  

“Kami tidak sudi memakan uang… kami ingin tanah kami bebas dari agribisnis, pengeboran minyak, serta para penambang dan penebang ilegal,” seru Gilmar, pemimpin adat Tupinambá, dikutip The Guardian

Seruan lain menggema, “Kami bukan ornamen untuk mempercantik pembicaraan iklim kalian.” 

Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, sebelumnya menjanjikan masyarakat adat sebagai aktor utama COP30. Puluhan pemimpin adat tiba menggunakan perahu tradisional dan menuntut ruang lebih besar dalam tata kelola hutan. Kepala Suku Raoni Metuktire turut menegaskan pentingnya kekuasaan nyata bagi komunitas adat dalam melindungi Amazon dari industri ekstraktif. 

Namun konferensi kembali menunjukkan wajah lamanya: COP30 berubah menjadi panggung politik global, tempat masa depan bumi diperdagangkan melalui lobi dan kontrak karbon. 

Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan satu dari 25 peserta COP30 adalah pelobi bahan bakar fosil—lebih dari 1.600 orang. Jumlahnya bahkan menyaingi delegasi negara peserta; hanya Brasil yang mengirim lebih banyak. 

Leo Cerda, penggagas armada protes Yaku Mama yang menempuh 3.000 km menyusuri Sungai Amazon, mengecam minimnya ruang bagi masyarakat adat. “Perjuangan kami bukan cuma untuk hidup kami, tapi untuk seluruh umat manusia,” ujarnya kepada Al Jazeera

Kekecewaan itu beralasan. Di banyak kawasan, skema konservasi justru membatasi akses masyarakat adat dan memperkuat kontrol korporasi atas wilayah mereka. Proyek-proyek “hijau” kerap menjadi kedok perebutan tanah, bukan perlindungan. 

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Jual Kecap Prabowo di Isu Lingkungan 

COP yang Terus Hadirkan Solusi Palsu 

Sejak pertama kali digelar pada 1995, COP menjadi arena tahunan tempat negara-negara membuat berbagai perjanjian iklim dari Protokol Kyoto, Paris Agreement, hingga komitmen “net-zero”dengan tujuan utama menurunkan emisi global di tengah krisis iklim yang makin mengancam.  

Namun faktanya, alih-alih menurun, emisi global justru terus meningkat, menjadikan janji “net zero 2050” dan target membatasi pemanasan di angka 1,5°C tak lebih dari slogan diplomatik tanpa mekanisme penegakan yang jelas. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, dan banyak negara Afrika dijadikan ladang karbon.  

Lewat skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang bermula dari COP11 misalnya negara-negara maju atau korporasi besar dimungkinkan untuk terus mengeluarkan emisi dari sektor industri mereka sendiri. Sebagai gantinya, mereka “membayar” negara berkembang untuk menjaga hutannya.  

Skema REDD+ pun dalam implementasinya terbukti berdampak sepihak pada masyarakat negara-negara berkembang. Hak tenurial (hak pengelolaan lahan) masyarakat adat dan komunitas lokal rentan jadi terabaikan, begitu pula dengan timbulnya masalah baru seperti pembatasan akses terhadap sumber daya hutan dan konflik sosial di wilayah tersebut.  

Mongabay melaporkan pada 2012, masyarakat desa Mantangai, Kalimantan Tengah. tersebut harus menyerahkan 120.000 hektar hutannya kepada Proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) yang didanai oleh Australia untuk proyek percontohan REDD+.  Proses penyerahan sayangnya mengabaikan hak-hak Free Prior Informed Consent (FPIC) alias persetujuan bebas tanpa paksaan. 

Misradi, salah satu warga desa Mantangai mengungkapkan banyak warga tidak pernah mendapat informasi memadai terkait proyek REDD+.  

“Bagaimana pelaksanaan dan siapa pelaksana REDD+ serta akibat-akibat negatif yang akan diterima serta keuntungan yang akan didapat? Mereka tidak tahu,” tuturnya.  

Alhasil, proyek REDD+  lebih menguntungkan fasilitator lokal, pemerintah dan donor. Distribusi dana REDD+ juga tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Tidak banyak belajar dari REDD+, COP30 kini kembali hadirkan solusi palsu dengan mendorong inisiatif Belém Commitment for Sustainable Fuels atau Belém 4x.  

Inisiatif ini merupakan komitmen untuk meningkatkan produksi “bahan bakar berkelanjutan,” termasuk biofuel, biogas, hidrogen, bahan bakar hijau lainnya, hingga empat kali lipat pada tahun 2035. Walau diklaim berkelanjutan, kenyataannya produksi bioenergi masih menghasilkan emisi tinggi dan tidak berkeadilan. 

Kepala Kampanye Solusi Hutan Global di Greenpeace, Syahrul Fitra dalam siaran pers mengungkapkan peningkatan produksi biofuel akan semakin mengancam wilayah dan komunitas asli, memperburuk potensi kebakaran hutan dan lahan gambut atas nama energi hijau. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menambahkan pada rilis yang sama, Proyek Strategis Nasional (PSN) kebun tebu dan bioetanol di Merauke adalah salah satu contoh teranyar bagaimana ‘bioenergi’ menghancurkan hutan dan merampas hak-hak Masyarakat Adat. Menurut perhitungan Greenpeace, pembukaan lahan seluas 560.000 hektare vegetasi alami dapat menghasilkan emisi setara dengan 221 juta ton CO₂. 

“Ini setara dengan setara 48 juta emisi mobil dalam setahun. Jadi jelas sudah cukup membuat target iklim Indonesia yang disampaikan di COP30 Belém menjadi mustahil dicapai,” tuturnya.

Baca juga: Oligarki di Balik Bisnis Transisi Energi Biomassa 

Kolonialisme Iklim 

Solusi-solusi palsu yang terus diproduksi dalam forum COP menunjukkan kuatnya hegemoni pengetahuan Barat dalam mengarahkan wacana iklim global. Cara pandang ilmiah–teknokratis ala Eropa–Amerika diperlakukan sebagai kebenaran tunggal, sementara pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal direduksi menjadi aksesori budaya—bukan dasar kebijakan. 

Akibatnya, kehadiran masyarakat adat sering hanya menjadi tokenisme. Mereka ditampilkan untuk legitimasi, tetapi keputusan tetap ditentukan teknokrat dan ekonom neoliberal. Ironis, karena justru di kampung, laut, dan hutan, pengetahuan ekologis paling hidup. 

Hegemoni ini melahirkan apa yang disebut kolonialisme iklim—terlihat dari solusi palsu hingga pengabaian isu kelompok rentan. Salah satu wujudnya: absennya “Hari Perdamaian” dalam agenda resmi COP30, padahal konflik dan genosida terbukti memperparah krisis iklim. 

Kasus Palestina menunjukkan itu dengan jelas. Genosida di Gaza telah memicu kerusakan ekologis permanen. UNEP melaporkan sekitar 39 juta ton puing mencemari tanah, air, dan pesisir—berisi logam berat, bahan peledak, hingga mikroplastik. Infrastruktur air dan limbah hancur, membuat lebih dari 90 persen air tak layak konsumsi pada puncak krisis. 

Operasi militer juga memompa emisi karbon dalam jumlah ekstrem. Emisi beberapa bulan pertama genosida bahkan melampaui jejak karbon tahunan lebih dari 20 negara rentan iklim, sebagian besar berasal dari pengiriman pasokan militer AS. 

Situasi semakin parah dengan peran industri minyak. Laporan Oil Change International mencatat lebih dari 21 juta ton minyak mentah dan bahan bakar olahan dikirim ke Israel (Nov 2023–Okt 2025). Sebanyak 360.000 ton adalah JP-8—bahan bakar jet militer—seluruhnya dari Amerika Serikat. Artinya, satu dari sembilan ton bahan bakar yang dikirim adalah untuk operasi udara yang menghancurkan manusia sekaligus ekosistem Gaza. 

Baca juga: Perempuan Desa Melawan Tambang: Tak Hanya Membela Tanah, Tapi Merawat Kehidupan 

Ana Sánchez dari Global Energy Embargo for Palestine menekankan bahwa menghentikan arus bahan bakar bukan hanya tuntutan moral, tetapi langkah dekolonisasi yang krusial. “Energi, kolonialisme, dan krisis iklim saling terkait—dan COP30 menghindari akar persoalan itu,” ujarnya. 

Kritik kemudian menguat: COP tidak mampu menyentuh akar masalah krisis iklim karena dikendalikan aktor yang justru merusak planet. Untuk mencapai keadilan iklim sejati, aktivis menegaskan perlunya revolusi ekologis dan sosial—bukan reformasi pasar yang hanya melayani elit global. 

Selama COP dikuasai kepentingan kolonial dan korporasi, gerakan rakyatlah yang harus mengambil alih ruang—dari hutan, kampung, pesisir hingga jalanan Belém—untuk membangun masa depan yang adil dan bebas kolonialisme. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.