Opini Politics & Society Technology

Lapangan Kerja Sedikit, Ekonomi Sulit: Belajar dari Kasus Sadbor

Banyak orang ingin jadi konten kreator. Di balik itu, ada faktor ekonomi sulit dan yang jarang diperhatikan.

Avatar
  • January 6, 2025
  • 5 min read
  • 1016 Views
Lapangan Kerja Sedikit, Ekonomi Sulit: Belajar dari Kasus Sadbor

Awal November 2024 kemarin, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan penangkapan salah satu TikToker terkenal atas tuduhan mempromosikan judi online (judol). Kasusnya menyita perhatian publik lantaran tersangka sedang viral berkat goyang khasnya yang unik.

Uniknya, setelah proses penyelidikan, polisi justru membebaskan dan menjadikannya duta anti judi online karena terbukti tidak bersalah. Polisi hanya melakukan pengawasan rutin terhadap kegiatan joget di kampung Sadbor agar aksi penyusupan iklan konten dan kegiatan yang ilegal tak lagi terjadi.

 

 

Sebagai akademisi di bidang media dan ilmu komunikasi, saya tertarik untuk melihat fenomena ini menggunakan perspektif media sosial, terutama terkait popularitas media sosial yang telah melahirkan profesi baru dan menginspirasi banyak anak muda.

Survei menunjukkan bahwa saat ini konten kreator menjadi cita-cita terfavorit generasi muda yang menggeser profesi yang dulu diidam-idamkan oleh generasi 80an dan 90an seperti dokter, polisi, arsitek. Ini mengindikasian bahwa kreator konten memiliki posisi yang penting di masyarakat, tidak terkecuali masyarakat pedesaan.

Baca Juga: Menelusuri Sejarah Judi ‘Online’ di Indonesia

Berkonten karena Desakan Ekonomi

Salah satu motif terbesar pemanfaatan media sosial untuk popularitas adalah aspek ekonomi. Sektor ekonomi ini dianggap ‘easy money’ atau mudah untuk mendapatkan uang. Selain itu, pekerjaan baru ini dianggap tidak perlu modal banyak. Berbekal gawai pintar dan jaringan internet, setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk sukses.

Temuan sementara dari penelitian saya (belum dipublikasikan) menemukan bahwa maraknya konten kreator di desa disokong oleh jangkauan jaringan mobile internet yang sudah meluas hingga ke pedesaan. Sayangnya, progresivitas penetrasi akses internet ini tidak dibarengi dengan tingkat literasi, keahlian, dan regulasi yang memadai untuk masyarakat. Sehingga, warga otodidak untuk beradaptasi dengan platform, dan limbung dalam memanfaatkan media sosial.

Berkaca pada fenomena Sadbor, Sadbor adalah cermin dari keterbatasan peluang ekonomi di masyarakat. “Caper” atau cari perhatian publik dari keviralan konten yang dihasilkan dianggap jalan pintas untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Masalahnya, terdapat risiko terkait keberlanjutan dari profesi baru ini.

Selain itu, ada economic-shift dalam konteks gelombang alih profesi yang terjadi di masyarakat pedesaan, terutama dari sektor agraris ke sektor non-agraris. Tren tersebut sudah terlihat sepanjang sepuluh tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani turun hingga 7,45%. Namun, menjadi konten kreator, pada satu titik terutama ketika merintis, merupakan pekerjaan yang tidak lepas dari risiko kegagalan dan bukan tergolong pekerja formal, sehingga tidak memiliki jaring pengaman (safety net) dari pemerintah.

Minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan juga memperparah kondisi ini. Salah seorang warga desa yang menjadi kreator konten mengatakan bahwa salah satu motifnya bermigrasi ke dunia digital adalah karena ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan.

Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan yang dialami Sadbor dan teman-temannya di Sukabumi, Jawa Barat. Penghasilan Rp700 ribu perhari dari gift TikTok atau saweran yang diberikan oleh penonton konten mereka, tentunya lebih menggiurkan daripada upah harian buruh bangunan, buruh tani, dan beberapa pekerjaan kasar lainnya yang berkisar Rp50-100 ribu/hari.

Baca Juga: Pengangguran Gen Z: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah, Bukti Ekonomi Lagi Gak Baik-baik Aja

Peluang Ekonomi Baru yang Perlu Dimitigasi

Sebenarnya, fenomena ini menawarkan peluang ekonomi baru. Pemerintah kita terus menggaungkan soal transformasi digital, ekonomi digital, dan berbagai istilah lainnya yang merujuk pada pemanfaatan teknologi baru untuk akselerasi pembangunan pemanfaatan teknologi baru untuk akselerasi pembangunan.

Namun, pemerintah harus memperhatikan konsekuensi yang berpeluang muncul dengan semakin banyaknya konten kreator di masyarakat.

1. Fokus pada perhatian, lupa pada substansi

Kultur kreator ini hadir sebagai perkembangan dari fase user generated content (UGC), di mana dulu orang memproduksi konten secara sukarela untuk berbagi informasi, berkomunikasi, dan berjejaring dengan pengguna lainnya. Kultur kreator merupakan bentuk komersialisasi dan profesionalisasi para pengguna media sosial yang memproduksi konten original dan membangun interaksi dengan komunitasnya. Dalam perspektif ekonomi digital, skema baru ini menguntungkan kreator yang dulunya ‘free labor’ menjadi memiliki kesempatan untuk berbagi keuntungan melalui media sosial seperti Youtube, TikTok, dan juga Facebook.

Masalahnya, media sosial merupakan platform periklanan yang mendapat keuntungan dari peletakan berbagai merk (brand placement). Dalam dunia periklanan, sumber daya yang dipertukarkan adalah perhatian: siapa yang mendapatkan lebih banyak perhatian, dialah yang berpeluang mendapatkan lebih banyak uang. Ini dapat melalui pembayaran langsung dari platform ataupun melalui kerja sama pihak ketiga seperti _endorsement, brand ambassador, affiliate, dan berbagai model bisnis lainnya. Alhasil, setiap kreator berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian.

Perhatian ini bentuknya beragam, mulai dari simpati, empati, sindiran, hingga hujatan pun termasuk dalam ‘attention’. Terlebih bagi kreator yang fokus memproduksi konten viral. Mereka cenderung tidak peduli pada ‘citra positif’ melainkan berfokus pada capaian views, comments, shares, sehingga hujatan maupun makian dari audienspun dianggap faktor penambah dalam logika media sosial. Layar media sosial kita menjadi penuh dengan orang-orang yang sibuk mencari perhatian, umumnya dengan cara yang tidak lepas dari hasrat dasar manusia yang suka gossip, rumor, dan hal-hal nyeleneh lainnya.

Konsekuensinya, kita cenderung memberi penilaian berlebih (overvalue) pada para kreator karena perhitungannya bukan soal kualitas konten, kebermanfaatan, alih-alih soal dampak.

2. Pergeseran nilai sebabkan pergeseran ekonomi

Sejak dulu, media memang selalu mengedepankan capaian kuantitatis daripada kualitas isi. Di zaman popularitas TV , misalnya, rating adalah segala-galanya dibandingkan kualitas program acara. Hanya saja, di konteks media sosial saat ini, yang terlibat bukan hanya pemilik modal melainkan semua warga di jagat maya.

Selain itu, produksi konten di media sosial masih minim regulasi terutama yang berkaitan dengan aspek monetisasi. Pengaturan soal konten di media sosial yang sebagian besar mengacu pada UU ITE seringkali malah berbenturan dengan prinsip freedom of speech.

Industri ini memang bertumpu pada transaksi perhatian, tapi alangkah baiknya kita mulai memikirkan perhatian seperti apa yang layaknya kita beri nilai. Jangan sampai kita overvalue terhadap apa yang sebenarnya tidak terlalu substansial untuk kehidupan kita. Tidak ada yang salah menjadi konten kreator, tapi kita perlu memikirkan konten seperti apa yang kita ingin bagikan, dan kontribusi penting apa yang ingin kita berikan.

Lisa Lindawati, Pengajar, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Lisa Lindawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *