Di Balik Dapur Berita Femisida: Jurnalis Kurang Pelatihan dan Minim Empati
Pelatihan gender yang minim buat pekerja media, bikin berita femisida belum semua berperspektif korban.

Laptop terbuka, tab berita berjejer. Seorang jurnalis mengetik cepat, dikejar tenggat. Judul harus menarik, pembaca harus klik. Di sisi lain layar, jenazah perempuan ditemukan di sebuah pantai Jawa. Nama korban ditulis, latar belakang dibongkar, kisah hidupnya diurai tanpa jeda—semuanya demi satu hal: Viral.
Tanpa sadar, banyak jurnalis kerap menulis ulang kekerasan saat meliput femisida. Alih-alih memihak pada korban, sering kali jurnalis fokus menyajikan tragedi sebagai tontonan. Enggak heran jika frasa yang dipilih cenderung sensasional, seperti:
“Cinta Terlarang Berakhir Maut, Wanita di Ngawi Dimutilasi Kekasihnya”
“Detik-detik Dramatis Penangkapan Pelaku Mutilasi Ngawi, Ternyata Suami Siri Korban”
“Sadis! IRT di Bengkalis Tewas Dipukuli Suami”
“Pembunuh Mayat Janda dalam Koper Tertangkap, Apa Motif Pelaku Tega Mutilasi ******?”
Lezandra Grundlingh, peneliti linguistik dari Universitas Afrika Selatan, menyebut ini sebagai praktik sensationalisme. Maksudnya, pemberitaan yang lebih menekankan efek emosional ketimbang kebenaran atau etika. Hiperbola, judul provokatif, dan narasi yang meledak-ledak jadi senjata utama.
Berita sensasional macam itu tentu tak disarankan. Dalam panduan United Nation Women (UN Women) tertulis, media wajib melindungi identitas dan martabat korban kekerasan berbasis gender. Sayangnya, panduan semacam itu jarang jadi bahan diskusi redaksi. Jangan heran jika femisida tak cuma membunuh korban sekali. Namun berulang kali—di mata publik, di ingatan keluarga, dan di arsip digital yang tak pernah benar-benar hilang.
Berangkat dari latar belakang ini, Magdalene memantau tiga media, Kompas.com, Detik.com, dan Suara.com media selama dua minggu, dari 14-31 Januari 2025. Dalam temuan kami, dari 193 berita femisida yang dianalisis, separuhnya menggunakan bahasa sensasional. Apa sebenarnya yang terjadi di tiga ruang redaksi atas sampai berita femisida dikeluarkan?

Baca juga: Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene
Di Balik Dapur Produksi Berita Femisida
Kompas.com jadi media yang paling banyak menggunakan bahasa sensasional dalam pemberitaan femisida. Totalnya ada 61 berita atau 56 persen dari 109 berita femisida yang mereka beritakan. Lalu disusul oleh Suara.com, 52 persen, dan Detik.com sebanyak 39 persen.
Pemakaian bahasa sensasional bukan cuma jadi permasalahan yang kami temukan dalam pemantauan media femisida. Setidaknya sebanyak 109 berita (56,2 persen) membuka identitas korban dan/atau keluarganya.
Lagi-lagi, Kompas.com menjadi media yang paling banyak membuka identitas korban femisida. Identitas yang dibongkar pun beragam. Namun yang paling banyak ditemui adalah nama lengkap, tempat tinggal, foto korban, dan keluarga korban. Ada beberapa pemberitaan yang sudah dengan baik menggunakan nama inisial korban, tapi identitas korban berakhir dibuka karena Kompas.com mengunggah foto korban di laman utamanya.
Mengklarifikasi temuan ini, kami berbincang dengan Ambar, editor megapolitan Kompas.com, orang yang spesifik didelegasikan untuk wawancara bersama Magdalene oleh Sodikin, Pemimpin Redaksi Kompas.com. Dalam diskusi via Zoom, (11/3), Ambar mengatakan, sudah ada imbauan untuk tidak mengeksploitasi korban kekerasan dalam penulisan berita.
Terkait temuan pemberitaan femisida dalam laman Kompas.com, Ambar bilang, kemungkinan, lolosnya pemberitaan yang masih mengungkap identitas korban sampai bahasa yang sensasional dapat terjadi lantaran kurangnya filter dalam proses penyuntingan berita.
Namun, Ambar juga tidak menampik ada beberapa berita yang disesuaikan dengan Search Engine Optimizer (SEO), sehingga masih mengungkap identitas korban. Hal ini semata-mata ditujukan untuk menaikan engagement dan traffic pembaca agar semakin ramai.
“Untuk kasus yang high profile, media online kadang menyesuaikan dengan SEO, makanya ada beberapa kasus yang masih mengungkap tokoh atau korban. Disesuaikan dengan keyword yang tengah ramai,” terang Ambar.

Merespons Kompas.com, Fransisca Ria Susanti, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) berkomentar, ini berkaitan dengan pasar dan bisnis media yang bergantung pada audiens. Sering kali, perusahaan media hanya memikirkan proses pembuatan artikel berita tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari.
“Tantangannya media di Indonesia ada di problem bisnis. Mati segan hidup tak mau. Media-media di daerah apalagi, bergantung pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah. Red). Belum lagi soal teknologi, soal engagement publik. Yang saya pahami, jurnalis memproduksi berita, terus dilempar ke publik. Urusan itu ber-impact, memengaruhi banyak orang, dituju sama siapa, itu enggak dipikirin. Yang penting produksi lempar,” terangnya.
Kembali pada dapur produksi berita femisida, Ambar juga menjelaskan, di Kompas.com memang tidak ada pembekalan khusus terkait isu gender dalam penulisan berita. Ini terjadi di semua jurnalis, termasuk penulis kontributor yang ada di tiap cakupan wilayah Kompas.com.
Hal serupa terjadi pada dapur redaksi Suara.com. Reza Gunadha, Wakil Pemimpin Redaksi Suara.com menjelaskan, baik jurnalis regional maupun yang terpusat di Jakarta, masing-masing tidak memperoleh pembekalan atau pelatihan soal perspektif gender dalam penulisan berita.
Kekosongan pembekalan ini menjelaskan kenapa masih ada beberapa pemberitaan yang enggak berperspektif korban. Reza sendiri bilang, sebagai media yang tidak punya cakupan isu khusus, pengadaan pelatihan, seperti pelatihan isu gender bukan menjadi prioritas.
Di lain sisi, Fransisca menyayangkan kosongnya pembekalan ini. “Itu ironis, sebuah media besar cukup sumber daya untuk memberikan pelatihan. Harusnya ini tidak terjadi. Ini aku pikir dalam jurnalistik, ada filter, dan ketidakpahaman itu ada di reporter yang turun di lapangan. Tapi kan ada editor yang mengedit tulisan itu. Editor juga harusnya punya kesadaran itu, ‘oh ini enggak bisa nih namanya ditulis lengkap.’”
Terkait evaluasi hasil liputan, redaksi Kompas.com menjelaskan, mereka memang tidak menyelenggarakan evaluasi berkala. Tiap persoalan diselesaikan per-kasus. Termasuk penulisan berita yang masih mengeksploitasi korban dalam kasus femisida.
“Di sini enggak ada evaluasi berkala. Jadi, akan ditindak seketemunya aja dan akan jadi tanggung jawab editor dan redpel (redaktur pelaksana),” terang Ambar.
Ketika membicarakan sanksi terkait hasil temuan media monitoring pemberitaan femisida pun, Ambar bilang tidak akan ada hukuman setimpal buat jurnalis terkait. Meskipun secara terang-terangan mengungkap identitas korban sampai menggunakan bahasa sensasional, ini cuma jadi bahan perbincangan internal saja karena masih tergolong ke dalam kesalahan kecil.
“Ke depannya ini akan jadi bahan perbincangan personal aja. Enggak sampai ke atas karena ini kesalahan minor,” ungkapnya.
Senada dengan ambar, ketika dihubungi terpisah, 25/5, Amir Sodikin, Pemimpin Redaksi Kompas.com, juga mengatakan hal serupa. Amir bilang, tidak ada evaluasi tertentu terkait temuan ini. Pada kesempatan tersebut, ia justru meminta pertanggung jawaban Magdalene, selaku media yang melakukan riset dan pemantauan media.
“Kira-kira dari kalian ini tindak lanjutnya seperti apa? Kalau saya ya berharap itu enggak cuma ini ya, berhenti di penelitian ini. Namun ada tindak lanjutnya yang konkret. Jadi tidak cuma cari ini, cari sensasi atau cari celah,” kata Amir.
Berbeda dengan Kompas.com, saat kami mengonfirmasi temuan dan menemui langsung Wapemred Suara.com di kantornya (18/3), Reza bilang, model pemberitaan seperti ini dilarang dalam dapur redaksi. Biasanya jika memang ada temuan, akan langsung dilakukan evaluasi dan upaya tindak lanjut.
“Wah masih ada ya yang seperti itu? Nanti langsung saya tindak deh. Soalnya, udah enggak boleh yang seperti itu di sini. Mungkin nanti bisa diberikan SP (surat peringatan),” kata Reza.
Meski mengeklaim punya mekanisme sanksi yang tegas di ruang redaksi, tapi Suara.com belum sepenuhnya mengkontekstualisasi pemberitaan femisida. Dalam beberapa berita yang kami temukan, femisida masih di-framing sebagai pembunuhan biasa yang sporadis tanpa ada konteks struktural di baliknya.
Hanya Kompas.com yang merilis berita femisida dengan mengaitkannya pada konteks sosial. Menyadur BBC Indonesia, jurnalis Kompas.com membahas relasi kuasa dalam budaya patriarki sebagai pemicu femisida. Mereka juga mengeklaim kasus femisida sebagai bagian rangkaian kekerasan terhadap perempuan, alih-alih pembunuhan biasa.
Sebagai catatan, Magdalene juga sudah menghubungi pimpinan redaksi Detik.com terkait temuan pemberitaan femisida. Namun, sampai artikel ini ditayangkan, belum ada tanggapan dari pihak terkait.

Baca juga: Rumah yang Membunuh: Femisida dalam Pernikahan dan Mengapa Perempuan Sulit Pergi
Perlahan Berbenah: Dari Sensasionalisme Jadi Lebih Sensitif Korban
Alasan mengapa kontekstualisasi tidak diberitakan oleh media diungkapkan oleh Siti Aminah Tardi, akrab disapa Ami, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan Komisioner Komnas Perempuan periode 2019-2024. Siti bilang media masih sangat bergantung pada satu sumber, yakni Aparat Penegak Hukum (APH) dalam memberitakan femisida. Pernyataan Ami sejalan dengan temuan Magdalene di mana mayoritas atau sebanyak 124 (64,5 persen) pemberitaan soal femisida masih bergantung pada pernyataan aparat penegak hukum saja.
Terlalu bergantung pada pernyataan APH relatif bermasalah. Menurutnya, APH bekerja berdasarkan teks undang-undang yang netral gender, sehingga relasi kuasa antara pelaku dan korban sering kali luput digali lebih dalam.
“Biasanya kita dengar motif pelaku cuma karena cemburu atau sakit hati, padahal di balik itu ada relasi kuasa. Pelaku merasa memiliki hak atas tubuh dan hidup perempuan karena merasa lebih kuat secara sosial atau ekonomi,” ujar Siti.
Saat relasi kuasa ini tidak tergambar, maka tak heran pemberitaan femisida jadi cenderung dangkal. Bahkan dalam penelitian “Representations of Femicide in Italian Newspapers: A Case Study“ oleh Matilda Hellman dan rekan-rekannya (2020), tanpa kontekstualisasi pemberitaan ini dapat berakibat fatal pada pengaburan sifat struktural dari kekerasan tersebut. Bahkan itu dapat melanggengkan stereotip yang berbahaya. Ini karena femisida cuma berakhir digambarkan media sebagai akibat dari konflik pribadi atau gangguan emosional.
Dari temuan hingga perbincangan dengan perwakilan pimpinan media, dapat disimpulkan panduan terkait pemberitaan femisida menjadi genting diperlukan. Sayangnya hingga kini, Indonesia masih belum memiliki panduan tersebut.
Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers mengatakan belum adanya panduan khusus ini menggarisbawahi adanya jurang pemahaman jurnalis di Indonesia. Femisida boleh jadi merupakan konsep lama, tapi secara normatif konsep ini masih asing di telinga para jurnalis di Indonesia.
Ketika membicarakan sanksi terkait hasil temuan media monitoring pemberitaan femisida pun, Ambar bilang tidak akan ada hukuman setimpal buat jurnalis terkait. Meskipun secara terang-terangan mengungkap identitas korban sampai menggunakan bahasa sensasional, ini cuma jadi bahan perbincangan internal saja karena masih tergolong ke dalam kesalahan kecil.
“Secara normatif ini belum ada normanya, mereka tahunya kekerasan seksual menyebabkan kematian. Ini memberikan tugas pada kita semua, pengaturan secara normatif, dan penggunaan istilah harus bagaimana,” jelasnya.
Ninik melanjutkan tugas ini harus dilakukan perlahan. Pertama, dengan mendorong diskusi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terkait peraturan hukum khusus femisida. Buat Ninik, peraturan hukum khusus femisida harus didorong terlebih dahulu agar sosialisasi pemahaman media bisa dilakukan.
Jurnalis tidak bisa tiba-tiba diberikan pemahaman terhadap konsep tertentu, jika pemerintah sendiri bahkan tidak mengakui tindak pidana khusus. Ia pun mencontohkan soal pemahaman kekerasan seksual yang pemahamannya baru bisa meluas pasca-pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Ini by concept enggak ada yang ngatur, enggak bisa jumping ke jurnalis. Enggak bisa konsep dijadikan norma kalau tidak ada norma hukumnya, sama kaya kekerasan seksual. Lahirnya undang-undangan (UU TPKS) jadi mengenalkan konsep kekerasan seksual tidak hanya kepada APH tapi juga jurnalis,” tutur Ninik.
Hal berbeda diungkapkan oleh Fransisca. Dibandingkan menunggu gerak pemerintah, kesadaran soal femisida di kalangan jurnalis bisa mulai dibangun dari internal media, asosiasi atau serikat pekerja media, hingga NGO. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan berbarengan untuk membangun kesadaran ini. Pertama dan paling penting kata Fransisca dimulai dari internal media yang secara tegas melaksanakan kode etik jurnalistik.

Baca juga: Edukasi Anak Perempuan Soal Femisida, Nyalakan Alarm Sejak Dini
“Kalau pun mereka (jurnalis) tidak memahami femisida, tapi kalau memahami dan mematuhi kode etik jurnalistik mereka bisa menulis berita yang tidak sensasional karena dalam kode etik jurnalistik itu tidak boleh membuka identitas korban pembunuhan. Tidak boleh menampilkan secara sensasional juga,” jelas Frasnsica.
Ia menambahkan dalam kode etik disebutkan, berita tidak boleh memuat prasangka atau bias terhadap ras atau jenis kelamin. Jika kode etik ini dilaksanakan, otomatis berita sensasional tidak akan terbit dan mewawancarai narasumber selain APH jadi praktik umum buat jurnalis.
Kedua, diperlukan peningkatan kapasitas bagi para pekerja media untuk mengetahui apa itu femisida. Aliansi Jurnalis Indonesia atau NGO seperti PPMN bisa berkontribusi AJI mendorong diskusi FGD agar femisida bisa menjadi kesadaran publik. Namun, Fransisca mengingatkan bahwa peningkatan kapasitas tidak boleh hanya diberikan ke reporter, tetapi juga kepada para pimpinan redaksi.
“DI level pimpinan itu penting, kalau pelatihan jurnalis itu yang ikut di level reporter. Mereka setelah pelatihan udah oke, udah sadar, tapi editornya bermasalah. Makanya kadang-kadang kita (PPMN) mensyaratkan editor (untuk ikut pelatihan), karena yang memegang kunci (lolosnya suatu pemberitaan) kan itu editor,” kata Fransisca.
Terakhir, rekan-rekan jurnalis atau asosiasi jurnalis bisa bekerja sama atau mengusulkan pembuatan pedoman penulisan berita femisida. Jika Dewan Pers tidak bisa menyanggupi karena keterbatasan sumber daya, pedoman ini bisa ditulis bersama agar nantinya bisa diadopsi oleh Dewan Pers.
Di dalamnya jurnalis atau asosiasi jurnalis menyadur beberapa sumber seperti panduan pemberitaan kekerasaan terhadap perempuan yang telah dirilis UN Women dan United Nations Development Programme (UNDP). Jika ingin spesifik pada femisida, bisa mengacu pada panduan yang ditulis oleh Global Investigative Journalism Network dan Ontario Association of Interval and Transition Houses (OAITH) yang bekerjasama dengan the University of Guelph, Kanada. Panduan ini sambung Fransisca harus dibarengi terus menerus dengan diskusi dan kampanye soal femisida.
“Karena enggak gunanya juga ada panduan, jika enggak diikuti peningkatan kapasitas jurnalis. Itu hanya akan jadi tumpukan panduan tapi tidak terimplementasi. Jadi harus dilakukan paralel,” tutupnya.
Ilustrasi cover artikel oleh Karina Tungari
Kami merilis rangkaian liputan soal femisida selama 4 (empat) minggu dimulai pada 21 April 2025. Tiap minggunya kami akan merilis satu laporan dengan topik berbeda. Baca artikel lainnya di tautan ini.
Tim Proyek Femisida
Pemimpin Redaksi:
Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana:
Purnama Ayu Rizky
Editor:
Purnama Ayu Rizky dan Aulia Adam
Penanggung Jawab Proyek:
Jasmine Floretta V.D
Tim Pemantauan Media
Amanda Andina Nugroho, Chika Ramadhea, Jasmine Floretta V.D, Siti Hajar, Syifa Maulida
Reporter/ Periset:
Jasmine Floretta V.D, Syifa Maulida, Ahmad Khudori
Desainer Grafis:
Jelita Rembulan, Della Nurlailanti Putri
Media Sosial:
Sonia Kharisma Putri
Product and Program Development Coordinator:
Siti Parhani
Community Engagement:
Siti Hajar
Analis Data:
Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN)
