December 10, 2025
Issues

Respons Lamban Pemerintah di Fase Kritis Bencana Sumatera: Mengapa 72 Jam Pertama Menentukan Nyawa Korban?

kritis bencana adalah momen emas penyelamatan yang hanya berlangsung di 72 jam pertama. Sayangnya, dalam menangani bencana Sumatera pemerintah dikritik lamban dan arogan.

  • December 10, 2025
  • 6 min read
  • 94 Views
Respons Lamban Pemerintah di Fase Kritis Bencana Sumatera: Mengapa 72 Jam Pertama Menentukan Nyawa Korban?

Penanganan bencana di Sumatera dinilai banyak pihak terlalu lamban. Padahal, fase kritis 0–72 jam yang seharusnya menjadi golden hours amat penting untuk menyelamatkan korban. Pemerintah yang lambat dan minim koordinasi awal disorot Kompas dalam Banjir dan Longsor Sumbar, Akses Terputus Hambat Distribusi Bantuan. Keterlambatan pengiriman logistik karena jalan utama terputus dan lambannya pembukaan jalur darurat oleh pemerintah daerah menuai kritik. Kondisi ini membuat banyak warga bertahan tanpa bantuan memadai selama jam-jam paling menentukan pasca-bencana.

Situasi serupa juga muncul dalam liputan Tempo. Dalam Korban Banjir Sumatra Barat Kekurangan Air Bersih dan Layanan Medis, dilaporkan bahwa sebagian pos kesehatan darurat baru aktif penuh hampir dua hari setelah bencana, sementara korban luka dan warga rentan membutuhkan pertolongan segera. Keterlambatan pelayanan ini sangat berisiko, mengingat fase awal adalah waktu penentuan keselamatan korban.

Masalah koordinasi juga mencuat. Detik dalam laporan Relawan Lebih Dulu Tiba Dibanding Bantuan Pemerintah di Lokasi Banjir Sumbar, menggambarkan bahwa relawan masyarakat sipil banyak bergerak lebih cepat dibanding tim resmi pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem komando tanggap darurat antarlembaga belum berjalan solid pada fase kritis, sehingga distribusi bantuan menjadi tidak merata.

Kritik terhadap respons negara juga datang dari kelompok sipil. Amnesty International Indonesia dalam pernyataan Negara Harus Hadir Sejak 72 Jam Pertama Bencana, menegaskan bahwa keterlambatan penanganan bencana bukan hanya masalah teknis, tetapi menyentuh hak asasi korban atas keselamatan dan perlindungan kemanusiaan. Dalam situasi darurat, perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas menjadi kelompok yang paling terdampak ketika negara tidak cepat hadir.

Fase Kritis yang Penting

Fase kritis bencana adalah periode paling menentukan yang terjadi tepat setelah bencana melanda—umumnya dalam 0 hingga 72 jam pertama. Banyak pakar menyebutnya sebagai golden hours atau “detik-detik emas” karena peluang menemukan korban selamat berada di titik tertinggi. Menurut UN Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) dalam artikel 5 Essentials for the First 72 Hours of Disaster Response, kecepatan respons penyelamatan sangat menentukan besarnya jumlah korban jiwa dan dampak lanjutan yang bisa dicegah. Semakin cepat tim penyelamat, pemerintah, dan warga bergerak bersama, semakin besar pula peluang menyelamatkan nyawa dan menekan kerusakan.

Di fase ini, langkah darurat harus dilakukan secara cepat dan terkoordinasi—mulai dari pencarian korban tertimbun, pemberian pertolongan medis pertama, evakuasi warga ke zona aman, hingga mengamankan area rawan agar tidak memicu bencana susulan. Penyelamatan awal yang efektif, seperti dijelaskan dalam dokumen International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), IFRC Emergency Response Framework (ERF), menjadi fondasi utama untuk mencegah meningkatnya angka kematian dan krisis kemanusiaan pascabencana.

Namun, fase kritis bukan semata soal penyelamatan fisik. Ini juga merupakan momen penting untuk mengambil keputusan strategis, seperti menetapkan status darurat, mengatur jalur masuk bantuan, menentukan prioritas evakuasi, serta memastikan distribusi logistik dasar—air bersih, makanan, selimut, hingga obat-obatan—berjalan merata. Dalam artikel, IFRC, Disaster preparedness: When help is far away, being ready even more critical, ditegaskan bahwa ketepatan koordinasi di jam-jam awal sangat berpengaruh terhadap stabilitas kondisi korban dan mencegah krisis kesehatan yang lebih parah.

Baca Juga: Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)

Mengapa Fase Kritis Bencana Penting Dipahami?

Memahami fase kritis bencana bukan hanya penting bagi petugas lapangan — bagi masyarakat biasa pun, ini penting agar kita bisa lebih siap, tidak panik, dan bisa bertindak benar ketika bencana datang. Menurut artikel Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berjudul Tanggap Darurat: 72 Jam Pertama Masa Krusial, periode 0–72 jam pascabencana adalah periode paling menentukan untuk upaya penyelamatan — di sinilah peluang menyelamatkan korban nyawa dan meminimalkan kerusakan paling besar.

Fase itu bisa dianggap sebagai window of opportunity — jendela kesempatan yang sempit tapi sangat menentukan. Tanpa respons cepat, korban dan dampak bisa meluas. Sebuah penelitian terkini di jurnal Al‑MUNZIR (2023), 72 Jam Pertama Pendekatan Komunikasi Risiko Untuk Kesiapsiagaan Bencana, menekankan bahwa kurangnya pengetahuan dan komunikasi risiko pada 72 jam pertama bisa membuat proses evakuasi dan penyelamatan menjadi kacau, sehingga jumlah korban atau kerugian meningkat.

Baca juga: Bencana Sumatera Bukan Panggung Hiburan, Setop jadi ‘Performative Government’ 

Alasan Mengapa Fase Kritis Sangat Penting

  1. Menentukan Keselamatan Korban

Korban dalam jam pertama pascabencana cenderung sangat rentan: bisa terjebak reruntuhan, mengalami luka serius, kekurangan oksigen, terpapar cuaca ekstrem, atau terisolasi tanpa air dan makanan. Karena selama 72 jam pertama respons dan bantuan bisa berdampak besar pada tingkat kelangsungan hidup, pengetahuan tentang fase kritis ini membantu masyarakat dan aparat bertindak cepat dan tepat sasaran. Ini sejalan dengan konsep tanggap darurat dalam manajemen bencana.

  1. Menjadi Dasar Pengambilan Keputusan Darurat

Fase awal bencana adalah saat banyak keputusan penting harus dibuat—misalnya menetapkan status darurat, menentukan zona aman, prioritas evakuasi, mendirikan posko, sampai mengerahkan tim SAR dan mendistribusikan bantuan. Jika semua pihak sadar bahwa 72 jam pertama itu krusial, keputusan bisa dibuat cepat dan terkoordinasi.

  1. Mengurangi Risiko Bencana Susulan

Bencana awal kadang diikuti ancaman tambahan seperti gempa susulan, longsor, banjir, atau bahaya struktural dari bangunan yang rusak. Pemahaman fase kritis bisa membantu penyelamat dan warga menghindari area berisiko serta mengurangi kemungkinan korban tambahan. Beberapa literatur manajemen bencana menyarankan kesiapsiagaan terhadap ancaman lanjutan ini sebagai bagian dari tanggap bencana awal.

  1. Menjaga Kelancaran Koordinasi Antarlembaga

Penanganan bencana melibatkan banyak pihak: pemerintah daerah, lembaga nasional, organisasi kemanusiaan, relawan, hingga masyarakat. Tanpa kesadaran bersama betapa pentingnya fase kritis, bantuan bisa tumpang tindih atau keteteran — misalnya bantuan datang tapi tidak tepat sasaran, informasi simpang-siur, atau tim penyelamat menumpuk di satu titik sedangkan area lain kosong. Penelitian di Al-MUNZIR menunjukkan bahwa komunikasi risiko dan koordinasi sejak awal sangat penting agar respons bisa berjalan efektif.

  1. Membantu Masyarakat Bertindak Tepat dan Tidak Panik

Ketika bencana terjadi, kepanikan bisa membuat orang mengambil keputusan berbahaya — balik ke rumah untuk ambil barang, mendekati zona rawan, atau ikut menyebar hoaks. Dengan pemahaman fase kritis, masyarakat lebih mungkin tetap tenang, mengikuti instruksi resmi, dan mengambil tindakan aman. Ini juga tercermin dari studi tentang pentingnya komunikasi risiko dalam tanggap bencana.

  1. Meningkatkan Efektivitas Bantuan & Evakuasi

Fase kritis menyediakan panduan untuk menentukan siapa yang paling butuh bantuan dulu, jenis bantuan paling mendesak (obat, makanan, air), area yang harus ditangani segera, dan lokasi posko paling strategis. Dengan demikian, bantuan bisa tepat sasaran dan tidak mubazir. Ini penting, terutama di negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia.

  1. Menjadi Dasar Mitigasi & Kesiapsiagaan Jangka Panjang

Mengetahui pentingnya fase awal membuat pemerintah dan masyarakat terdorong membangun kesiapsiagaan sejak sebelum bencana: melakukan simulasi, memperkuat jalur evakuasi, membangun sistem komunikasi risiko, hingga menyiapkan logistik darurat. Kajian kesiapsiagaan dan mitigasi bencana menyebut bahwa kualitas tanggap awal sangat dipengaruhi oleh seberapa baik persiapan dilakukan sebelumnya.

Baca Juga: Alam Sumatera Hancur di Sana, Aktivis Diburu di Sini 

Rangkaian laporan ini menunjukkan bahwa di Sumatera, fase kritis kerap tidak dimanfaatkan secara maksimal—bukan karena minimnya pemahaman soal pentingnya 72 jam pertama, tetapi akibat lemahnya kesiapan birokrasi, buruknya logistik darurat, serta koordinasi antarlembaga yang tersendat.

Ketika negara datang terlambat, beban keselamatan berpindah ke masyarakat dan relawan, dan golden hours berubah menjadi masa penantian yang menentukan hidup-mati banyak warga terdampak.

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.