
Perkembangan teknologi dunia di masa sekarang membuat platform media sosial semakin banyak. Kalau dulu di tahun 2010-an kita mengenal yang namanya Facebook. Facebook bisa dibilang sebagai pembuka jalur dari ketenaran media sosial ini. Walaupun sebelum Facebook terdapat beberapa platform media sosial yang sudah ada, tapi nasibnya tidak seberuntung aplikasi ciptaan Mark Zuckerberg ini.
Seiring berjalannya waktu, pesaing Facebook pun mulai bermunculan. Dan fitur-fitur yang mereka bagikan semakin banyak dan mempermudah akses para pengikutnya. Seperti Instagram dengan ciri khas sebagai platform media sosial gambar dan video. Hingga Tiktok yang booming dengan format video singkat dan cukup merajai minat para pengguna internet.
Fenomena media sosial yang makin jadi bagian keseharian kita, bikin orang-orang juga mencari uang dari sana. Media sosial tak lagi dijadikan tempat bersosialisasi dengan kawan saja, tapi juga sumber mata pencarian. Budaya ini berkembang setelah sejumlah akun dengan pengikut banyak dijadikan tempat berdagang atau mempromosikan produk dagangan. Biasanya kita melihat para selebgram yang membuat konten dengan mempromosikan sebuah produk yang biasa disebut endorsement.
Orang-orang yang biasanya punya banyak pengikut dan ditargetkan produsen untuk membantu mereka berdagang disebut influencer. Pekerjaan ini belakangan makin populer, setelah dinilai cukup menghasilkan dalam waktu yang singkat. Orang-orang yang mendapuk diri sebagai konten kreator alias pembikin konten mulai menjamur. Target mereka adalah engagement dan jumlah pengikut yang meroket, agar para produsen melirik memberikan endorsement.
Ilusi ‘pasar bebas’ yang diciptakan media sosial ini akhirnya bikin para pembuat konten ini berlomba-lomba menyajikan sesuatu yang unik demi menarik penonton. Belakangan, konten-konten yang mereka ciptakan bahkan membawa diskursus-diskursus menarik karena kebanyakan menyinggung moral dan logika. Dari sinilah, istilah ngemis online muncul.
Baca juga: Ancaman Utama yang Perlu Diatasi Lewat UU Perlindungan Data Pribadi
Ngemis Online dan Konten-konten Nyeleneh untuk Mencari Uang Secara Instan
Salah satu jenis konten yang gampang viral dan menarik banyak atensi di dunia perkontenan media sosial adalah konten prank. Prank orang tua, prank memberikan giveaway hingga prank mengalami kekerasan dalam rumah tangga, adalah beberapa contoh yang belakangan viral dan bikin heboh. Seperti yang dilakukan oleh publik figur Baim Wong dan istrinya. Alih-alih menghibur penontonnya, justru konten mereka menuai kecaman dari publik. Bahkan pihak kepolisian pun sampai harus menjadi bagian dari konten tersebut.
Salah satu konten yang sedang viral dan menjadi bahasan publik adalah mandi lumpur. Konten ini awalnya hanya melibatkan anak muda saja tapi sekarang justru talentnya beralih menjadi orang tua. Mereka dibiarkan kedinginan di ruang terbuka dengan terus menerus mengguyur tubuhnya dengan air.
Awalnya mandi lumpur ini dianggap sebagian yang menontonnya merasa iba. Mereka pun memberikan hadiah yang ada di fitur Tiktok. Lama kelamaan karena terlalu mengeksploitasi orang tua, mandi lumpur ini mendapat kecaman dari publik. Alasan lainnya karena sang pembuat konten kreator Sultan Akhyar dianggap menjadikan hal ini sebagai untuk mencari uang secara instan.
Sultan Akhyar sang konten kreatornya pun sempat memamerkan beberapa barang-barang yang dibelinya dengan hasil uang dari hadiah Tiktok. Di akun Facebook-nya, dia mengunggah motor seharga tiga puluh lima juta. Serta seperangkat komputer dan smartphone baru yang akan digunakannya untuk melakukan live streaming di Tiktok.
Ketenaran mandi lumpur membuat stasiun TV memutuskan untuk mengundang mereka. Belakangan, stasiun televisi yang sebetulnya menggunakan frekuensi publik, juga menggunakan cara serupa media sosial. Apa pun yang sedang viral dan ramai dibincangkan di dunia maya, akan ditarik dan dijadikan bahan tontonan di TV kita.
Baca juga: Marak Konten Kreator Seputar Dunia Kerja, Bisakah Berdayakan Perempuan?
Di salah satu stasiun TV swasta Indonesia, Akhyar bercerita bahwa ia membuat konten mandi lumpur itu semata untuk membantu para orang tua yang ada di kontennya untuk mendapat uang. Ia juga menceritakan bahwa warga yang hidup di desanya ini sangat miskin dan banyak terlilit utang. Maka dari itu banyak warga desa yang meminta bantuan dengannya untuk ikut dalam kegiatan mandi lumpur ini. Ia juga membantah telah mengeksploitasi para orang tua.
Eksploitasi atau tidaknya, hal yang dilakukan oleh Sultan tidak bisa dianggap benar juga. Ada banyak cara agar bisa mendapat uang yang benar seperti mencari pekerjaan yang layak. Selain itu media juga melakukan kesalahan karena mengundang mereka yang bisa disaksikan oleh orang di seluruh Indonesia.
Itulah mengapa konten-konten aneh dan nyeleneh ini makin digemari oleh masyarakat luas karena media seolah menjadikan ini sebagai suatu hal yang lumrah. Selain itu pihak dari platform juga perlu menindaklanjuti konten-konten semacam ini. Semakin banyak perhatian yang diberikan maka akan semakin berlanjut mandi-mandi lumpur yang lain.
Menurut Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajat Sulistyo Widhyarto, seperti yang diberitakan oleh Republika menyebutkan bahwa fenomena ‘ngemis online’ ini akan berhenti jika warganet tidak mendukung kegiatan tersebut. Dalam hal ini media juga ikut berperan. Derajat juga mengatakan pemerintah juga tidak perlu meregulasi khusus fenomena ini. Perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengedukasi pengguna sosial media untuk tidak mendukung upaya berbelas kasih kepada orang lain guna mendapat keuntungan di media sosial. Apalagi jika yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi orang rentan seperti orang tua dan anak-anak kecil.
Mandi lumpur ini bisa trending dan viral karena algoritma dan interaksi yang tinggi sehingga membuatnya menjadi video FYP atau For You Page. Kompas menyebutkan bahwa pola ini akan mengundang perhatian para pengguna jika berada dalam urutan atas. Konten-konten cenderung yang berisi sensasi dan perdebatan serta perhatian publik luas akan cenderung membuatnya naik dan menjadi teratas. Para pembuat konten pun berlomba-lomba ingin mencari atensi.
Baca juga: Dear Baim Wong dan Paula, KDRT itu Bukan Bahan Candaan
Maka dari itu selain dibutuhkan dukungan warganet dan juga pemerintah untuk mengatasi ngemis online ini, dukungan dari pihak platform juga dibutuhkan. Contohnya dalam hal ini Tik Tok dibutuhkan tindakan tegas, missal men-take down konten-konten yang dianggap nyeleneh. Perlu adanya kerja sama sangat penting dilakukan.
Kita juga sebagai warganet harus benar-benar pintar untuk memilih konten apa saja yang dianggap menghibur. Tanpa harus mengorbankan dan mengeksploitasi orang-orang yang tidak berdosa. Jangan hanya demi hiburan semata kita justru malah jadi menjatuhkan status dan mengorbankan konten-konten yang mendidik.