Sekitar pukul empat sore, matahari masih terik. Sonia beranjak dari kasurnya, mengambil ponsel di sebelahnya, lalu menghampiri sumber masuknya cahaya di balik jendela. Jari-jarinya membuka Instagram, aplikasi andalannya untuk selfie. Begitu membuka layar, kameranya otomatis menampilkan wajahnya.
Kedua tangannya memegang ponsel. Sementara kepalanya ditelengkan ke kiri, menentukan angle terbaiknya. Lalu ia menekan tombol shutter, mengabadikan wajahnya di bawah sinar matahari.
“Lho kok mukaku enggak simetris? Kenapa bekas jerawatnya kelihatan?” tanya Sonia, berperang dengan diri sendiri. Ia merasa malu melihat hasil foto yang dipotret tanpa menggunakan filter kecantikan. Kemudian, memilih filter “Golden Bloom” untuk menghapus insecurity-nya.
Sejak 10 tahun lalu, perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil itu, menggantungkan kepercayaan dirinya pada augmented reality (AR). Waktu itu, ia baru pertama kali memiliki ponsel pintar. Lalu, berkenalan dengan filter kecantikan lewat aplikasi B612 dan Camera360.
Sekitar tahun 2012, aplikasi pengeditan foto dengan berbagai fitur mulai bermunculan. Salah satu yang paling populer adalah Camera360, aplikasi milik Pingguo, sebuah startup yang berbasis di Chengdu, Cina. Melansir TechCrunch, aplikasi tersebut merupakan salah satu yang paling sukses di dunia, dengan pengguna lebih dari 180 juta di 200 juta negara.
Kemudian, disusul dengan Snapchat yang merilis filter lewat fitur ‘Lenses’ pada 2015. Lewat ‘Lenses’, pengguna dapat menggunakan tujuh filter yang tersedia, untuk mengambil foto dan video. Dua tahun berikutnya, Instagram mengikuti jejak Snapchat di industri AR.
Sebagai generasi Z, saya sangat familier dengan filter di media sosial sejak masih SMA. Awalnya, saya mengira fitur ini hanya untuk bersenang-senang. Sampai jenis filter kecantikan belakangan ini kian beragam, menyulap penampilan semua pemakainya.
Namun, penggunaan filter kecantikan ternyata lebih dari sekadar bersenang-senang. Fitur ini malah sering dimanfaatkan untuk menyempurnakan penampilan, seperti yang dilakukan Sonia.
“Kenapa kok memilih pakai beauty filter?” tanya saya.
“Buat nutupin wajah yang enggak simetris, bekas jerawat, dan (warna) bibirku yang hitam. Jadi enggak perlu makeup udah bagus,” jawab Sonia.
Sebagai seseorang yang berasal dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, menurut Sonia orang-orang di sekelilingnya masih mengamini standar kecantikan eurosentris. Kulit putih, rambut lurus, hidung mancung, dan tubuh langsing. Bahkan, produk-produk kecantikan yang menyematkan kata “pemutih” masih banyak digunakan.
“Aku sendiri jadi menginternalisasi standar kecantikan itu, sampai hari ini,” akunya. Uniknya, Sonia dapat melihat kecantikan dalam diri orang lain, berdasarkan kepribadian yang terpancar lewat aura. Namun, bagi diri sendiri, ia akan merasa cantik hanya saat tidak ada jerawat di wajahnya.
“Makanya aku merasa lebih bagus foto pake Instagram, soalnya ada filternya,” ujarnya tertawa.
Berdasarkan survei yang dilakukan Magdalene pada Juni lalu, sebanyak 35,5 persen responden sesekali menggunakan filter kecantikan di aplikasi media sosial. Terlepas dari berbagai faktor penggunaannya, rasa tidak percaya diri merupakan salah satu alasan utama mereka. Ini menunjukkan, filter dilihat sebagai fitur untuk menyempurnakan penampilan.
Namun, Kevin justru merasa sebaliknya. Pekerja swasta itu merasa tidak percaya diri ketika memakai filter kecantikan.
“This is not me,” kata Kevin menirukan reaksinya, ketika menggunakan beauty filter.
Baginya, mengunggah foto dengan filter kecantikan enggak ada bedanya dengan memberikan konten yang orang lain inginkan, tapi bukan dirinya sendiri. Maka itu, Kevin enggan menggunakannya.
“Masa filter bisa mengubah penampilan sedrastis itu? I am me, yang enggak perlu mengubah penampilan sampai (kelihatan) setirus itu. Walaupun pengen (tirus),” ucap laki-laki yang lebih menyukai filter black and white tersebut.
Dengan jenis yang beragam, tak dimungkiri kehadiran filter kecantikan turut melanggengkan beauty standard. Hal ini dibenarkan oleh Imam Arifin, seorang kreator filter asal Boyolali, Jawa Tengah.
Sejak bergerak di industri AR—tepatnya filter di media sosial pada 2020, Imam menetapkan fokusnya pada filter kecantikan karena target pasar. Menurutnya, definisi “cantik itu putih” masih menjadi standar kecantikan di Indonesia. Ia membuktikan lewat impresi karyanya di Instagram dan TikTok.
“Ada satu miliar pengguna filterku di Instagram, kalau TikTok sampai 87 miliar,” ungkapnya. “Kebanyakan yang di TikTok itu ya beauty (filter), yang pakai standar kecantikan ‘putih itu cantik’. Sampai sekarang masih banyak yang pake.”
Awalnya, laki-laki yang bekerja penuh waktu di industri musik itu, melihat ada celah di kalangan kreator filter Instagram yang kebanyakan hanya bermain di preset. Lalu, ia mengadaptasi karya kreator filter di luar negeri, yang menyertakan bulu mata, lipstik, dan mengecilkan dagu.
“Filter ini namanya deformasi ya. Kebanyakan orang-orang Eropa dan AS itu sukanya bibir tebal, kulitnya tanned, dan punya bulu mata. Jadi aku adaptasi dari situ,” katanya.
Perbedaan yang Imam terapkan hanya terletak pada warna kulit. Ia mempertimbangkan, enggak ada warganet yang mau menggunakan, kalau warna kulit gelap juga diterapkan pada filternya.
“Mau enggak mau skin tone-nya aku ubah, dibikin putih dan dicocokin dengan tipe makeup orang Indonesia. Biar enggak medhok,” tutur Imam.
Cara itu sempat menjadi kunci, agar filter kecantikannya viral dan disukai banyak orang. Dalam proses kreatifnya, Imam kerap mengacu pada kpop. Contohnya makeup Lalisa Manoban. Ia menyesuaikan warna lipstik, blush on, dan softlens member Blackpink tersebut.
Dengan memproduksi filter kecantikan, Imam mengaku penghasilan pekerjaan sampingannya ini lebih besar, dibandingkan pekerjaan utamanya. Meskipun enggan menyebut angka, ia mengatakan profesinya sebagai kreator filter, menyelamatkan kondisi finansialnya selama pandemi.
Namun, di balik keuntungan yang diraup kreator filter, terdapat dampak yang disebabkan oleh filter kecantikan. Yakni body dysmorphic disorder (BDD), atau gangguan dismorfia tubuh. Gangguan kesehatan mental itu dikarenakan kecemasan berlebihan, terhadap kekurangan diri secara penampilan fisik.
Menurut psikolog klinis dewasa Syazka Narindra, gangguan itu dapat terjadi apabila seseorang terus menerus memfokuskan perhatiannya, pada anggota tubuh yang dianggap tidak sesuai. Dalam hal ini, filter kecantikan berperan saat seseorang terobsesi dengan dirinya ketika menggunakan filter tersebut, sehingga menginginkan penampilannya tampak serupa.
Enggak dimungkiri, filter kecantikan membuat penampilan penggunanya terlihat rupawan. Dengan kulit yang mulus, hidung dan bibir lebih besar atau kecil, pipi lebih tirus, melancipkan dagu, melebarkan rahang, hingga mata berbentuk fox eye seperti Bella Hadid.
Perubahan itu memberikan ekspektasi semu bagi penggunanya. Menimbulkan perasaan tidak pernah puas, saat melihat diri apa adanya.
Alasan tersebut juga menjadi salah satu faktor sejumlah pengguna media sosial rela melakukan bedah estetika. Pada 2017 silam, American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgery mencatat, 55 persen dokter bedah mengatakan, selfie adalah motivasi pasiennya mengubah bentuk tubuh.
Selain menunjukkan kelekatan dengan filter kecantikan di media sosial, tingginya minat mengubah bentuk tubuh juga menandakan bahwa bedah estetika tidak lagi dipandang tabu. Namun, dengan adanya perubahan sudut pandang ini, apakah semakin tunduk terhadap standar kecantikan? Atau mendekatkan diri dengan citra tubuh yang positif?
Baca Juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
Perkembangan Industri Estetika dan Standar Kecantikan
Bagi generasi boomer dan X, mengubah bentuk wajah lewat bedah estetika, dipandang layaknya hal tabu. Bahkan, sampai sekarang, ketika menonton televisi bersama Ibu dan Bapak, mereka kerap mengomentari bagian tubuh figur publik yang tampak berubah.
“Lihat deh, hidungnya beda, tadinya kan pesek. Pasti operasi,” kata Ibu saat melihat seorang penyanyi perempuan, tampil di acara televisi swasta. Menurutnya, bedah estetika adalah tindakan berdosa karena mengubah pemberian Tuhan.
Penyanyi, seniman, dan aktivis Kartika Jahja yang vokal terhadap isu body positivisme meyakini, anggapan bedah estetika sebagai hal yang tabu merupakan pola pikir generasional. Ia sendiri termasuk di generasi yang masih sulit menerima kenyataan, seseorang dapat melakukan bedah estetika atas pilihannya dan dengan kesadaran penuh.
Kartika mengutarakan, mungkin generasi berikutnya dapat meyakinkan bahwa pilihan untuk melakukan bedah estetik, adalah sesuatu yang memberdayakan. “Tapi. sambil jalan memang harus balance. Kita harus melihat secara kritis, terbuka, dan non judgemental,” tuturnya.
Kendati demikian di Amerika Serikat, American Society of Plastic Surgeons (ASPS) pada 2018 menunjukkan, lebih dari 50.000 prosedur kecantikan dilakukan oleh generasi baby boomers.
Menurut Alan Matarasso, presiden dari ASPS dan profesor klinis di Plastic Surgery at Hofstra University’s Northwell School of Medicine, baby boomers ingin penampilannya menarik untuk bisa kembali berkencan pasca perceraian. Kebanyakan dari mereka melakukan botoks, filler, facelift, operasi kelopak mata, rekonstruksi hidung, sedot lemak, dan pembesaran payudara.
Persepsi itu juga semakin luntur di generasi Y dan Z. Pada survei Magdalene, 34,9 persen responden menyatakan ingin memperbaiki bagian wajah yang tidak disukai. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menganggap bedah estetika sebagai sesuatu yang tabu.
Perubahan sudut pandang tersebut menunjukkan bahwa bedah dan prosedur estetika dilihat sebagai cara merawat diri. Pun sejumlah selebritas secara terang-terangan menunjukkan treatment yang baru dilakukan, lewat media sosial atau wawancara.
Salah satunya aktor Femmy Permatasari. Dalam program Ini Baru Empat Mata (2020), ia mengaku merekonstruksi cuping hidung, tanam benang, filler, dan botoks. Femmy melihatnya sebagai bentuk perawatan.
Roby, seorang wiraswasta asal Jakarta, juga sependapat dengan Femmy. Ia tidak pernah menganggap rekonstruksi wajah sebagai sesuatu yang tabu. Alih-alih memercayai kodrat—mengaitkan antara bentuk wajah dengan ciptaan Tuhan, Roby justru memandang miring bedah estetika karena hasilnya.
“Dulu tuh bedah estetika kurang halus ya, terlalu kelihatan kalau bentuk wajahnya diubah. Kalau sekarang sih enggak masalah,” akunya. Roby sendiri ingin mengubah bentuk rahang, walaupun tidak termasuk keinginan utama.
“Standar kecantikan untuk laki-laki menurutku itu punya rahang yang tegas, dan aku merasa belum punya itu,” ujarnya.
Kini justru ada banyak klinik kecantikan, yang masif mempromosikan jasa layanannya di media sosial. Tanpa ragu, mereka menyebut prosedur yang dapat dilakukan, seperti rhinoplasty atau mengubah bentuk hidung, liposuction atau sedot lemak, dan facelift. Begitu pula dengan prosedur estetik nonbedah, yakni filler dan botoks.
Dokter Laurent Supit, Sp.BP-RE menuturkan, Kpop merupakan faktor utama perubahan sudut pandang terhadap bedah estetika.
“Kpop semakin terkenal, penggemarnya juga mengikuti (budayanya). ‘Oh ternyata di Korea Selatan itu banyak orang mengoperasi wajah, termasuk anak muda’,” ujarnya kepada Magdalene, (29/6). “Akhirnya muncul kesadaran, ‘Iya juga ya, kenapa enggak (operasi) kalau bisa lebih cakep dari muda?’”
Realitasnya, perkembangan bedah estetika di Korea Selatan berkembang pesat. Dalam Beliefs and trends of aesthetics surgery in South Korean young adults (2019) disebutkan, bedah estetika menjadi faktor penting dalam hubungan dan pencapaian, terutama bagi perempuan.
Peneliti Rachel Park, dkk. menjelaskan, mereka termotivasi untuk melakukan bedah karena tidak puas dengan penampilannya.
“Banyak yang meyakini, daya tarik fisik berkaitan dengan popularitas mereka di lingkungan sosial,” tulis para peneliti. Sebab, di Korea Selatan terdapat stereotip yang berkorelasi dengan penampilan mereka. Contohnya karakteristik pemalas, anti sosial, dan tidak kompeten, bagi yang penampilannya kurang menarik.
Survei International Society of Aesthetic Plastic Surgeons pada 2015 juga menempatkan Korea Selatan, sebagai salah satu negara yang menduduki 10 peringkat pertama dengan tingkat bedah estetika tertinggi. Pun prosedur yang banyak dilakukan adalah tulang rahang berbentuk ‘V’, mata berukuran besar, flawless skin, alis berbentuk rata, wajah berukuran kecil, postur tubuh ramping, dan warna kulit yang pucat.
Alhasil, kini beauty standard semakin beragam. Berdasarkan pengamatan dr. Supit, standar kecantikan tidak lagi berpusat pada kecantikan Eropa, yang mengutamakan kulit putih.
“Sekarang ada banyak layanan streaming untuk menonton, dan konten yang ditayangkan beragam, bukan cuma Barat kayak dulu di tv kabel,” paparnya. Karena itu, permintaan pasiennya untuk melakukan bedah estetika juga semakin beragam.
Namun, dr. Supit tidak melihat filter kecantikan sebagai faktor pasiennya melakukan bedah estetika. Baginya, ada lebih dari satu faktor pasien mengubah bentuk tubuhnya. Mungkin filter hanya salah satunya.
“Menurut saya, pasien udah punya keinginan untuk memperbaiki sesuatu pada tubuhnya,” ucapnya. “Filter ini seperti kaca, bikin sadar kalau bagian tubuh itu terlihat lebih bagus setelah mereka pake filter.”
Walaupun demikian, dr. Supit mengatakan ada pasiennya yang ingin wajahnya tampak seperti versi di FaceApp—aplikasi menggunakan artificial intelligence (AI) untuk mengubah wajah jadi lebih rupawan.
“Beberapa pasien yang datang, ingin wajahnya terlihat seperti di FaceApp. Tapi, aplikasi itu enggak mengubah wajah sih, jadi kebanyakan kasus nggak perlu intervensi sampai pembedahan,” terangnya.
Apabila merujuk pada aplikasi tersebut, treatment yang dilakukan adalah botoks, filler, dan tanam benang. Fungsinya adalah menyamarkan garis wajah, kantong mata, menaikkan dan menebalkan alis, serta membuat mata belo.
“Itu juga tidak bisa selalu dicapai, karena algoritma di FaceApp yang berubah,” tambah dr. Supit.
Baca Juga: Mau Lebih ‘PD’ Sama Tubuhmu? Pilih-pilih Ikuti Akun di Medsos
Dilema Memiliki Bentuk Tubuh Ideal
Selain dipengaruhi media sosial, citra figur publik turut berperan dalam membentuk standar kecantikan. Pasalnya, atensi media memberikan akses bagi publik dalam mengikuti perkembangannya. Karena itu, penampilan mereka sering menjadi tren, tolok ukur, hingga perbandingan diri oleh publik dalam berpenampilan.
Hal itu dibenarkan peneliti Zoe Brown dan Marika Tiggeman. Dalam Attractive celebrity and peer images on Instagram: Effect on women’s mood and body image (2016) keduanya menjelaskan, perempuan cenderung membandingkan penampilan mereka dengan selebritas. Bahkan, sampai menimbulkan ketidakpuasan bentuk tubuh.
Salah satu selebritis yang berpengaruh adalah The Kardashians. Lewat Keeping Up with the Kardashians (2007-2021), kehidupan keluarga selebritas Amerika Serikat itu selalu menjadi sorotan. Mereka mengekspos privasinya sebagai konsumsi publik. Mulai dari konflik keluarga, relasi romantis, perjalanan karier, hingga perubahan bentuk tubuh.
Tanpa segan, The Kardashians mengakui telah melakukan bedah estetika. Dalam sebuah episode reuni, Khloe Kardashian pernah mengatakan, “Semua orang bilang saya udah tiga kali melakukan transplantasi wajah. Kenyataannya, saya baru sekali operasi hidung.”
Tak hanya mengubah bentuk hidung, The Kardashians juga terkenal dengan bentuk tubuh hourglass dan menggunakan filler. Pada episode yang sama, Kylie Jenner juga mengungkapkan bahwa ia menggunakan filler bibir saat berusia 17 tahun, karena merasa insecure.
Pasca keputusan Kylie tersebut, Transform—sebuah grup bedah kosmetik di Inggris mengatakan, permintaan bedah kosmetik dengan The Kardashians sebagai referensi, meningkat sebesar 73 persen. Mereka menyebut fenomena ini sebagai “Dash Effect”.
Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di Inggris. Dokter Supit mengatakan, sejumlah pasiennya juga menginginkan bentuk hidung seperti The Kardashians. Menurutnya, keinginan itu juga dikarenakan mereka mengikuti perkembangan selebritis tersebut sejak sebelum mengubah penampilan, hingga sangat rupawan seperti saat ini.
“Pasien sering nanya, gimana caranya supaya kelihatan kayak The Kardashians. Padahal, itu tergantung modalnya,” jelas dr. Supit. “Bentuk hidungnya kan dari awal berbeda. Bisakah kita capai, hidung seperti ini jadi mirip The Kardashians?”
Ia menambahkan, ekspektasi pasien sering kali menyulitkan praktisi estetik, baik bedah maupun non bedah. “Mereka (pasien) kayak menggampangkan. Padahal kita nggak tahu treatment apa yang sebenarnya dilakukan The Kardashians.”
Terlepas dari rasa sakit yang harus ditanggung, keinginan membuat diri menjadi lebih baik, adalah motivasi utama seseorang mengubah bentuk tubuh. Pasalnya, setelah melakukan bedah estetika, bagian tubuh yang dioperasi akan mengalami komplikasi seperti bengkak, luka yang tidak kering, dan berdarah dalam waktu lama. Komplikasi itu berlangsung selama satu sampai dua minggu, dan hasil yang sempurna baru akan terlihat dalam waktu dua hingga enam bulan.
Roby adalah salah satu dari sekian orang yang rela menahan sakit, demi mengubah penampilan lewat prosedur kecantikan. Sejak 2015, ia menggunakan tools liquify di Photoshop, untuk menebalkan rambut dan alis. Dua bagian tubuh yang membuatnya tidak percaya diri.
“Aku senang lihat orang yang punya rambut dan alis tebal. Makanya insecure banget kalau ada yang komentar, ‘Kok rambutmu tipisan?’,” ceritanya.
Dengan mengedit foto sebelum mempublikasikannya di media sosial, Roby mengaku bangga dan lebih percaya diri. Ia tidak merasa penampilannya di media sosial berbeda dengan realitas, ataupun khawatir orang-orang di sekitarnya mendapati perbedaannya.
“Tapi lama-lama aku mikir, ngapain sih capek-capek ngedit alis?” tuturnya.
Pada 2019, akhirnya Roby memutuskan melakukan sulam alis di salah seorang kenalannya. Sebelumnya, ia enggan menyulam alis lantaran kebanyakan hasil yang dilihatnya terlihat seperti menggunakan makeup—salah satu hal yang tidak ia sukai. Namun, setelah direkomendasikan teman dan mengetahui proses kerjanya, dengan mantap Roby melakukan prosedur kecantikan tersebut.
“Menurutku dia jago sih bikinnya, enggak kelihatan kalau alisnya buatan. Memang di awal dia bilang, enggak akan bikin yang sekali hajar langsung bagus. Jadi perlu di-touch up,” cerita Roby.
Dalam rentang waktu tiga tahun, ia sudah melakukan tiga kali touch up. Padahal, si ahli kecantikan hanya menyarankan Roby melakukannya sebanyak dua kali. Namun, ia merasa tidak puas, walaupun artinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Pasalnya, untuk satu kali prosedur sulam alis saja, Roby merogoh kocek sebesar Rp4 juta. Laki-laki 42 tahun tersebut mengaku, itu nominal yang tidak sedikit untuk prosedur yang dilakukan. Tapi, hasilnya yang memuaskan baginya seperti self-reward.
“Aku punya insecurity itu (ketebalan alis). Kalau bisa diselesaikan (dengan sulam alis), ya aku lakukan,” katanya. “Selama pengeluaran itu enggak mengganggu keuanganku, aku rela ngeluarin uang untuk bedah atau prosedur estetika.”
Di sisi lain, pertimbangan untuk mengubah bentuk tubuh juga dihadapi Imam. Sebagai kreator filter, ia sangat aware karyanya dapat memengaruhi kepercayaan diri orang lain. Maka itu, belakangan ini intensitasnya mengunggah filter kecantikan mulai berkurang.
“Filter yang kubuat kan termasuk melanggengkan standar kecantikan ya, bisa dibilang aku merasa berdosa juga karena ikut berperan di fenomena dismorfia tubuh ini,” katanya.
“Apalagi dalam Islam enggak boleh mengubah bentuk tubuh yang udah diberikan Tuhan,” tambahnya. “Cuma di sisi lain, orang-orang suka banget sama filterku.”
Kesadaran itu dimiliki sejak Imam bergabung di TikTok. Sebab, media sosial tersebut memiliki kebijakan agar para kreator tidak menciptakan filter yang mengubah warna kulit dan mengubah bentuk tubuh.
Baca Juga: Narasi ‘Semua Perempuan Itu Cantik’ Bisa Berdampak Negatif
Batasan itu membuat Imam menyesuaikan situasi, dan tidak melulu mengutamakan eksposur. Akibatnya, pengikutnya di Instagram menurun drastis dan mempertanyakan alasan ia tidak lagi memproduksi filter baru, dalam empat bulan terakhir.
Sebagai seorang aktivis, Kartika Jahja melihat filter kecantikan sebagai suatu kekhawatiran. Masalahnya, meskipun kita mengetahui filter itu palsu, ada segelintir orang yang masih terjebak dalam standar kecantikan dan berusaha masuk di dalamnya. Terlebih mereka yang belum nyaman dengan dirinya sendiri di realitas, cenderung membentuk image ideal di media sosial.
“Filter itu justru bisa bikin mereka kesulitan mencari identitas diri, identitas tubuhnya, dan bagaimana berelasi dengan tubuhnya,” ucap Kartika. Ia menuturkan, hal itu dapat terjadi ketika seseorang dibanjiri pujian atas fisiknya, saat memakai filter.
Tapi, keinginan untuk menggunakan filter juga bukan sesuatu yang dapat disalahkan. Yang perlu digarisbawahi adalah, berbagai aspek yang membuat seseorang memakainya. Misalnya media sosial yang menyediakan filter dan semakin mendorong tren, perusahaan ponsel yang menciptakan efek distorsi kamera, atau industri kecantikan itu sendiri. Sementara pengguna hanya menikmati fitur yang disediakan.
Begitu pula dengan mengubah bentuk tubuh lewat bedah estetika. Meskipun ia masih sulit menerima kenyataan, bahwa seseorang dapat melakukan bedah estetika atas kesadaran penuh, baginya setiap individu berhak mengambil keputusan demi memiliki citra tubuh yang positif.
Namun, untuk mencapai titik itu merupakan proses panjang dan tidak linear. Pun bukan sebuah perjalanan yang berakhir pada garis finish. Terlebih kebencian, ataupun selalu merasa kurang atas bentuk tubuh, adalah sebuah pola pikir yang diinternalisasi.
Menurut Kartika, mengingatkan dan mengapresiasi tubuh adalah kunci untuk meraih citra tubuh yang positif. Layaknya sebuah rumah, tubuh merupakan satu-satunya “tempat” bagi setiap orang untuk menetap.
“In order for me to survive mentally, physically living in this world, I have to make peace with living in this body,” tegasnya.