Lifestyle Travel & Leisure

Festival Bakar Tongkang, Rayakan Keberagaman di Tanah Kunang-kunang

Meski jadi tradisi Tionghoa di Bagansiapiapi, Festival Tongkang juga diramaikan warga dari berbagai suku dan agama.

Avatar
  • July 3, 2024
  • 5 min read
  • 1630 Views
Festival Bakar Tongkang, Rayakan Keberagaman di Tanah Kunang-kunang

Kepulan asap dan hujan abu dari ribuan dupa yang terbakar, tak memadamkan semangat puluhan ribu orang di Festival Bakar Tongkang, (22/6) silam. Kota Bagansiapiapi, tempat dihelatnya festival mendadak merah meriah, dengan berbagai ornamen khas Tionghoa. 

Kota ini memang jadi tempat tradisi dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa. Saya yang kebetulan jadi partisipan pelatihan digital journalism oleh Australian Broadcasting Channel, merasa beruntung karena bisa meliput acara ini. Saya pun mencoba mencari kisah di balik meriahnya festival yang diperingati setahun sekali tersebut. 

 

 

Festival Bakar Tongkang di Kota Bagansiapiapi
Seorang perempuan lansia sedang berdoa kepada para dewa di hadapan altar (Foto oleh: Jeje Bahri)

Baca juga: Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur 

Daratan dengan Ribuan Kunang-kunang 

Begitulah awal mula penamaan Bagansiapiapi, kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Roni Rakhmat, saat diwawancarai selama Festival Bakar Tongkang berlangsung. 

“Sampailah mereka (imigran Tionghoa) terdampar di pinggiran pantai Sumatera. Saat itu, ada lampu-lampu kelap-kelip…dulu namanya api-api (kunang-kunang)…”Bagan” itu kan lapanganan, “Bagansiapiapi” [artinya lapangan] yang ada api,” tuturnya pada Magdalene

Sejarah Festival Bakar Tongkang memang tak bisa dilepaskan dari migrasi orang China ke Bagansiapi-api. Roni mengisahkan, para dewa laut telah menuntun imigran Tionghoa untuk menepi hingga akhirnya menetap di Kepulauan Riau. Para dewa yang dimaksud bernama Ki Ong Yan dan Tai Su Ong. Senada dengan penjelasan salah satu artikel WawasanRiau.com, mereka adalah dewa yang menyimbolkan dualisme dalam hidup: Baik dan buruk, suka dan duka, serta rezeki dan malapetaka berdasarkan kepercayaan masyarakat Tionghoa

Festival Bakar Tongkang
Padatnya lokasi upacara Festival Bakar Tongkang yang dihadiri belasan sampai puluhan ribu orang (Foto oleh: Jeje Bahri)

Festival Bakar Tongkang dilaksanakan sebagai bentuk syukur warga Bagansiapiapi keturunan Tionghoa kepada para dewa. Sebab, para dewa telah menuntun leluhur untuk mendapatkan tempat tinggal dan penghidupan lebih baik di tanah Riau. Konon, leluhur mereka merupakan generasi Hokkien Distrik Tong’ An, Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan, tulis Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Riau dalam laman resminya. 

Sampailah saya pada atraksi yang paling ditunggu-tunggu: Pembakaran kapal atau tongkang. Ritual ini berasal dari para leluhur yang membakar kapal mereka sesampainya di Bagansiapiapi sebagai bentuk sumpah untuk menetap selamanya di daerah tersebut. Sepanjang ritual, orang menyerukan kata “hwala”, yang saya tak tahu persis apa maknanya.

Parade marching band yang dipertunjukkan oleh komunitas remaja etnis Melayu lokal (Foto oleh: Jeje Bahri)

Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia 

Harmoni antar-Etnis

Meriahnya festival, megahnya atraksi-atraksi yang dipamerkan, serta bertebarannya kuliner mengalahkan perhatian saya pada profil orang-orang yang hadir di festival. Sejauh mata memandang, mudah sekali menemukan ibu-ibu berhijab yang berpartisipasi dalam menjaga kebersihan area upacara. Atau bapak-bapak etnis Melayu yang dengan semangat bergotong-royong, membantu memindahkan properti upacara bersama bapak-bapak etnis Tionghoa. Bahkan, ada komunitas remaja lainnya yang memeriahkan festival dengan unjuk tarian Reog dan parade marching band

Kelompok ibu-ibu etnis Melayu yang berpartisipasi menjaga kebersihan selama upacara berlangsung (Foto oleh: Jeje Bahri)

Walaupun berlokasi di pulau yang kebanyakan pemerintah daerahnya memproduksi kebijakan diskriminatif—terutama dalam isu agama—rakyat Bagansiapiapi justru jadi antitesis. Mereka menunjukkan toleransi luar biasa.

Yanti, remaja lokal etnis Melayu mengatakan, keharmonisan antar-etnis di tempat tinggalnya merupakan hal yang normal. 

“Sekitaran kami ini Chinese semua, tetangga kami Chinese semua. Mereka (warga etnis Tionghoa) pun sama kami saling menghargai kalau di sini,” ungkapnya pada Magdalene

Menurutnya, warga Tionghoa setempat dirangkul dengan baik karena mereka senang bergotong royong dan membaur tanpa ada sekat, bahkan dalam acara warga beretnis Melayu. Mau kaya miskin, apa pun agamanya, mereka sama-sama warga Bagansiapi-siapi.

Sebagai informasi, mayoritas penduduk Bagansiapiapi adalah etnis Melayu beragama Islam, diikuti oleh etnis Tionghoa. Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hilir pada 2014 mencatat, jumlah penduduk etnis Tionghoa mencapai 17.091 jiwa pada 2017 silam.

Festival Tongkang Butuh Dukungan Negara

Satu hal yang disayangkan dari Festival Bakar Tongkang adalah kurangnya perhatian dan keseriusan pemerintah. Khususnya dalam memperkenalkan dan memasarkan acara yang amat berpotensi menjadi sumber devisa negara. 

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau mengeklaim, lebih dari 40.000 orang telah menghadiri Festival Bakar Tongkang tahun ini, termasuk turis mancanegara. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Turis mancanegara yang hadir di festival relatif sedikit, dan kebanyakan merupakan warga Bagansiapiapi atau WNI yang memang tinggal di negara tetangga seperti Thailand dan Singapura. Selain dua fasilitator program pelatihan saya, tidak ada satu pun turis asing yang terlihat di lokasi festival. 

Gotong-royong antara warga lokal etnis Tionghoa dan etnis Melayu (Foto oleh: Jeje Bahri)

Baca juga: Kamu Orang Mana, Kamu Orang Apa: Ketika Jadi Orang Indonesia Tak Cukup 

Selain itu, popularitas festival ini juga belum begitu berkembang—bahkan di tengah masyarakat Indonesia sendiri. Mayoritas partisipan dan fasilitator program pelatihan seperti saya pun, baru mengetahui soal festival ini saat program pelatihan berjalan. 

Kurangnya keseriusan dan pengelolaan pemasaran juga terlihat dari minimnya informasi tentang festival. Dari titik utama festival, rundown acara, informasi tenant, rute parade pembakaran tongkang—semua informasi penting acara besar tidak bisa ditemukan di festival tersebut. Ironisnya, poster festival baru dipajang setelah acara berlangsung. 

Kurang apiknya strategi pemasaran juga membuat Festival Bakar Tongkang tidak terlalu memikat minat generasi muda, seperti Gen Z. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau pun tidak menampik fakta tersebut. 

Saya mengamini pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai budaya, sejarah, dan identitasnya. Dan salah satu upaya saya melestarikan satu dari berlimpahnya budaya dan tradisi negeri adalah dengan menyebarkan informasi tentang Festival Bakar Tongkang lewat tulisan ini. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jeje Bahri

Jeje Bahri adalah seorang ilustrator dan desainer yang senang melamun dan menghabiskan waktu memandangi lingkungan sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *