Tim Pendamping: Lewat DIAM, Arawinda Ekspresikan Pengalaman Jadi Korban Kekerasan Seksual
Arawinda membuat film DIAM, sebagai respon terhadap kasusnya.
Tim Independen Pendamping Korban, yang terdiri dari sekelompok praktisi psikologi klinis dan psikososial yang berpengalaman dalam memberikan pendampingan kepada korban-korban kasus kekerasan seksual, telah memberikan pendampingan dan dukungan kepada Arawinda sejak awal tahun 2023.
Dalam perjalanan panjang kami mendampingi, kami telah menjalani berbagai proses pendampingan sosial dan psikologis yang mendalam untuk membantu Arawinda mengatasi dampak traumatis dari kekerasan seksual yang dialaminya. Proses pemulihan Arawinda adalah sebuah perjalanan yang rumit dan membutuhkan waktu. Namun, Arawinda dengan tekun berusaha untuk mengurai berbagai komplikasi psikologis yang muncul akibat pengalaman traumatis yang telah ia alami.
Melalui media sosial pribadinya, Arawinda dengan jujur mengungkapkan perasaannya dan upayanya untuk berbagi pengalaman pribadi sebagai seorang penyintas kekerasan seksual. Sayangnya, yang seharusnya menjadi sebuah momen empati dan dukungan dari masyarakat, malah kembali menjadi kontroversi yang memicu opini publik yang berseberangan.
Lebih lanjut, Arawinda merasa bahwa perhatian publik yang semestinya difokuskan pada pelaku kekerasan yang sebenarnya, satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, hal itu malah teralihkan.
Arawinda menyadari bahwa pemberitaan dan berbagai spekulasi yang beredar selama ini telah menyakiti banyak pihak, termasuk korban kekerasan seksual lainnya, dan ia ingin menyampaikan permohonan maaf yang mendalam atas dampak yang telah terjadi. Meskipun usahanya dalam berbagi pengalaman mungkin secara tidak langsung telah berkontribusi pada eskalasi pemberitaan dan kontroversi, niatnya selalu baik untuk memperjuangkan isu yang sangat penting ini.
Kami, sebagai Tim Independen Pendamping Korban, akan terus mendukung Arawinda dalam perjalanan pemulihannya, dan kami berharap masyarakat dapat memahami pentingnya mendukung penyintas kekerasan seksual dan menempatkan tanggung jawab pada pelaku untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi semua korban. Selama ini, Arawinda telah terpaksa merahasiakan kenyataan atas kekerasan yang dialaminya.
Sebagai seorang korban kekerasan seksual, Arawinda menghadapi berbagai tantangan, termasuk merasa terisolasi dalam rasa takutnya, memilih untuk diam demi menjaga nama baiknya, dan seringkali tidak dipercaya oleh banyak pihak karena tidak memiliki bukti yang dapat diperlihatkan. Hal ini mencerminkan praktik pembebanan terhadap korban (victim blaming) yang seringkali terjadi dalam kasus kekerasan seksual.
Namun, melalui proyek yang diberi nama DIAM, Arawinda akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri dan mengungkapkan kebenaran mengenai kekerasan seksual yang dialaminya pada tahun 2022. Proses ini memakan waktu satu tahun lamanya untuk mengumpulkan kekuatan dan keberanian yang diperlukan agar ia bisa berbicara secara terbuka mengenai pengalaman traumatisnya di hadapan publik. Harapan kami adalah bahwa karya DIAM akan menjadi sarana bagi Arawinda untuk menyampaikan kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Karya ini merupakan tindakan katarsis yang dipilih Arawinda secara sadar, dengan tujuan menggambarkan beragam emosi yang telah lama ia tahan dan rasakan. Setelah lebih dari delapan bulan proses pendampingan yang telah berlangsung, kami berharap agar Arawinda dapat melanjutkan perjalanan pemulihan psikologisnya sehingga ia dapat pulih dan menjadi penyintas, serta kembali mendapatkan kehidupannya.
Lebih dari itu, karya ini juga diharapkan dapat menjadi sarana dukungan bagi seluruh korban kekerasan seksual yang merasa terpaksa diam akibat ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang mereka alami dalam kasus kekerasan yang mereka hadapi. Terakhir, tim pendamping ingin menegaskan kembali bahwa dalam kasus kekerasan seksual, kesalahan sepenuhnya ada pada pelaku.
Pengalaman yang dialami oleh para korban adalah pengalaman yang sah dan berharga, dan kami selalu siap untuk memberikan dukungan yang diperlukan agar para korban dapat mengakses proses pemulihan yang mereka perlukan.