Film ‘Pria’ Melawan Stigma, Mendamba Kesetaraan
Film ‘Pria’ berhasil mengkritik budaya yang makin melanggengkan praktik diskriminatif terhadap kaum homoseksual.
Dua tahun lalu, tanpa banyak pemberitaan hingga kini, sebuah film pendek diam-diam mendobrak masyarakat Indonesia. Tentu bukan karena film itu berisi kisah romansa klise remaja masa kini. Tapi film ini berhasil mengeksplorasi unsur budaya dan hal yang terbilang tabu untuk dibicarakan di negara ini: seksualitas. Film ini berjudul Pria karya Yudho Aditya dan saya sendiri hanya bisa mengaksesnya dari YouTube baru-baru ini.
Pria mengisahkan seorang pemuda gay bernama Aris (Chicco Kurniawan) yang bergulat dengan identitas seksualnya, yang dianggap sebagai kutukan oleh keluarganya. Selama 20 menit, film ini memotret kehidupan masyarakat perdesaan di Jawa, dan secara apik melakukan kritik terhadap kebudayaan dan norma masyarakat.
Film ini dibuka dengan adegan Aris dan keluarganya yang akan melamar seorang gadis dari desa seberang. Ibu Aris telah memaksanya untuk menikahi perempuan yang telah ia pilih. Dalam budaya Jawa, otoritas dari orang tua terhadap anaknya memang bersifat absolut. Aris tidak diberikan celah untuk membantah perintah sang ibu, bahkan untuk urusan pasangan hidup.
Bias otoritatif yang tampak dari hubungan Aris dan ibunya dilatarbelakangi oleh pola asuh yang berkembang di masyarakat Jawa. Seorang anak telah ditanamkan sikap hormat kepada orang tuanya lewat ajaran yang dinamakan wedi, isin, sungkan. Selain menanamkan sikap hormat, pola asuh ini juga mencoba memengaruhi anak bahwa orang tua adalah pedoman hidup yang harus diikuti. Praktis, ajaran yang mungkin masih berlaku di sebagian masyarakat Jawa ini tidak memungkinkan adanya proses negosiasi dari anak kepada orang tuanya setiap berkomunikasi.
Dalam film, tokoh Ibu menggambarkan Aris sebagai sosok yang minim berpengalaman, harus dituntun, dan belum mengenal asam garam kehidupan. Praktik seperti ini kerap disebut ageisme, yang didefinisikan sebagai prasangka dan diskriminasi terhadap individu semata-mata karena umurnya.
Baca juga: 10 Film dan Serial TV Bertema LGBT yang Wajib Ditonton
Keluar dari mitos maskulinitas yang mencekik
Narasi jantan yang dibangun dalam budaya patriarkal membuat Aris terpaksa memenuhi standar yang terbentuk secara turun temurun. Sebelum resmi menikah, Aris bersama Gita, calon istrinya harus melewati “kelas” pranikah yang dipimpin oleh ayah Gita sendiri.
Calon mertua Aris memberi nasihat tentang urusan ranjang. Ia percaya bahwa menggulung ekor kuda di kemaluan pria niscaya akan meningkatkan vitalitasnya saat bersetubuh. Si calon mertua Aris bahkan tidak ragu memintanya mendemonstrasikan mitos tersebut.
Mitos tersebut melanggengkan narasi maskulinitas yang harus dipenuhi oleh pria. Standar-standar abstrak seperti inilah yang mesti dikritik. Akan ada ketakutan dalam diri pria jika sikapnya tidak sesuai dengan standar yang telah berlaku di masyarakat, seperti yang tergambar dalam karakter Aris. Ia hanya bisa berperilaku sebagaimana yang ia kehendaki hanya ketika dirinya sedang sendirian. Jelas, ada ketakutan seorang gay tidak akan diterima dalam kehidupan bermasyarakat.
Adanya pertentangan dalam diri yang dialami oleh para gay terkadang menimbulkan berbagai macam perasaan seperti cemas dan malu. Untuk mengatasi perasaan-perasaan ini, banyak orang-orang gay lari dari masalah, berusaha menjadi seperti yang diinginkan oleh lingkungan, mengatur gaya bahasa dan tubuh, serta menjalin suatu relasi heteroseksual.
Kritik inilah yang dicoba disampaikan oleh Pria. Film ini menyampaikan keresahan kelompok homoseksual di Indonesia yang terjebak dengan standar maskulinitas atau feminitas yang mengakar. Selain itu, terdapat pula kritik terhadap praktik diskriminasi gay. Ucapan “bau” yang Gita layangkan untuk Aris dalam suatu adegan menjadi refleksi bagaimana gay diperlakukan di masyarakat. Layaknya bau yang tidak sedap, gay dianggap sebagai entitas yang mengganggu dan tidak pantas bersanding dengan masyarakat lainnya.
Kritik yang disampaikan oleh film ini merupakan upaya untuk tidak lagi menormalisasi praktik diskriminasi terhadap kaum homoseksual. Meski begitu, gay di Indonesia tidak hanya bergulat dengan tindakan diskriminatif.
Baca juga: Contoh Buruk Representasi LGBT dalam Film
Keluar dari Stigma yang Menyesatkan
Stigma negatif terhadap gay juga tidak jarang diasosiasikan dengan hal-hal berbau supernatural. Dalam film pendek ini, terdapat adegan Ibu Aris yang memaksa anaknya memakan beras merah. Tindakan itu dilakukan setalah Aris merasa yakin perempuan pilihan ibunya bukanlah sosok yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Ketakutan terhadap orientasi seksual anaknya membuat ibunya mencari cara menolak “sial” , yakni dengan memakan beras merah.
Upaya ibu Aris menjadi representasi masyarakat Indonesia terhadap gay. Gay masih dianggap sebagai fenomena yang tabu, terkutuk, dan membawa sial. Pada level yang ekstrem, mengakarnya mitos tidak jarang membuat asumsi kausalitas antara gay dan bencana alam.
Pria menjadi satu dari sedikit film yang mau membawa fenomena yang tabu ke permukaan. Film ini juga berhasil menyampaikan kritik terhadap budaya yang makin melanggengkan praktik diskriminatif terhadap kaum homoseksual. Selain itu, film ini juga menyampaikan bahwa orientasi seksual merupakan entitas yang melekat dalam diri individu. Homoseksualitas juga bukanlah sebuah kutukan yang bisa dijadikan alasan atas segala musibah terjadi.
Film ini juga dengan lantang menyuarakan bagi kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) untuk hidup sesuai dengan apa yang ia kehendaki, bukan lagi hidup atas tuntunan dan arahan orang lain. Sebuah pesan manis tersaji bagi siapa pun yang menonton film ini. Meski membawa isu homoseksualitas sebagai premis, film ini juga menyampaikan pesan mendalam bagi penonton. Pesan itu tidak lain agar kita lebih memahami diri sendiri.