Culture Screen Raves

Film ‘Upstream’ Kupas Realitas Pahit Pekerja ‘Gig Economy’

Film Upstream mengangkat kisah para pekerja gig economy yang sering kali terjebak dalam ketidakpastian dan eksploitasi.

Avatar
  • January 24, 2025
  • 4 min read
  • 160 Views
Film ‘Upstream’ Kupas Realitas Pahit Pekerja ‘Gig Economy’

Sebuah kursi melayang nyaris mengenai seorang perempuan yang tengah duduk di balik meja kerja, membuat kaca penyekat ruangan hancur berserakan. Adalah Gao Zhilei (Xu Zheng) yang melemparkan kursi tersebut, setelah perempuan yang ada di balik meja itu memecatnya. Gao sudah belasan tahun bekerja di perusahaan itu sebagai pemrogram, dengan jabatan terakhir kepala departemen. Ia tidak terima dipecat begitu saja tanpa alasan yang jelas dan kompensasi yang memadai.

Adegan pada film Upstream (2024) itu merefleksikan gonjang-ganjingnya kondisi ketenagakerjaan saat ini. Di tengah kondisi ekonomi tak menentu, etos dan lama bekerja tidak menjamin posisi yang aman. Terlebih lagi untuk seseorang yang dianggap telah melewati usia emas.

 

 

“Ini ageisme. Diskriminasi usia!” seru Gao Zhilei ketika ia dinyatakan kena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Baca juga: Dari Ojol hingga Penerjemah: Pekerja ‘Gig’ yang Serba Tak Pasti

Ageisme terhadap pekerja perempuan

Disutradarai Xu Zheng (sekaligus pemeran tokoh utama film), Upstream menceritakan lika-liku kehidupan pekerja urban, khususnya di sektor pengantaran makanan. Berdurasi 121 menit, drama asal China itu tak hanya mampu mengoyak-ngoyak emosi penonton, tapi juga berhasil menyeret penonton masuk ke dalam persoalan ekonomi yang tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja.

Sudah bisa ditebak, Gao yang berusia 40-an kesulitan mencari pekerjaan baru setelah ia dipecat. Salah satu tempat kerja menolaknya mentah-mentah hanya karena ia dianggap sudah berumur, tidak peduli dengan pengalaman yang tertulis di CV.  Sebaliknya, Gao pun merasa tak percaya diri ketika bersaing dengan pencari kerja yang berumur jauh di bawahnya.

Gao sempat menganggur dua bulan sampai ia bertemu dengan Yang Dashan (Jiakai Wu) di emperan sebuah kedai minuman. Pria berjaket kuning itu asyik melakukan siaran langsung sembari memamerkan pendapatannya sebagai seorang kurir makanan untuk perusahaan Meituan. Mendengar ocehannya, Gao tertarik untuk menjajal pekerjaan tersebut. Toh, ia juga tak punya pilihan lain.

Di tempat baru, Gao tergopoh-gopoh menyesuaikan ritme kerja. Tenggat waktu kirim yang kejar-mengejar dengan pencarian titik lokasi pelanggan, target jumlah pelanggan yang harus dipenuhi, dan persaingan sesama pekerja dari satu perusahaan maupun dari perusahaan lain yang tak berkesudahan, membuatnya kelelahan dan cemas. Namun, dengan kerja keras demi menghidupi keluarga dan membayar cicilan rumah, Gao akhirnya mampu beradaptasi, meski tetap saja sempoyongan.

Baca juga: Kenapa Istilah “Mitra” Buat Driver Ojol Bermasalah?

Kerentanan pekerja gig economy

Ditayangkan di Netflix, Upstream muncul dalam waktu yang tepat, saat dunia mengalami ketidakpastian ekonomi. Tak heran jika di awal kemunculannya, Upstream menduduki peringkat teratas Box Office China.

Film ini boleh jadi sedang mencoba meyakinkan penonton betapa usaha dan kerja keras bakal mengantarkan siapa pun ke tempat mana pun. Tetapi, sialnya, di hadapan problem struktural seperti ketidakpastian ekonomi dan ketenagakerjaan, usaha dan kerja keras hanya membuahkan lelah dan ketertindasan yang kadang tak kasat mata.

Sebagai film yang menyoroti pekerja kurir daring, sebenarnya Upstream lekat dengan persoalan yang dialami oleh pekerja gig economy, atau hubungan kerja antara pekerja dan konsumen melalui perantara platform digital dalam durasi singkat. Perbedaan antara pekerja gig economy dan pekerja pada umumnya ada pada kategorisasi pekerja dan hubungannya dengan perusahaan.

Khususnya pada bidang jasa, seperti kurir dan ojek daring, perusahaan gig economy menyematkan status pekerjanya sebagai “mitra”. Dan tepat di sinilah persoalannya. Status “mitra” membuat para pekerjanya tidak memperoleh berbagai hak dan jaminan kerja seperti yang ada pada pekerja kontrak maupun alih daya (outsourcing).

Di banyak negara, seperti ditulis The Conversation, nihilnya perlindungan hukum juga menjadi penyebab rentannya posisi pekerja gig economy. Meskipun di beberapa negara perlindungan hukum itu sudah dibuat, sebagian besar negara, seperti China dan Indonesia belum menerapkan itu. Padahal, jumlah pekerja  gig economy di kedua negara tersebut diperkirakan membludak.

Sayangnya, Upstream tidak menyoroti secara gamblang persoalan relasi perusahaan gig economy dan “mitranya”. Bisa jadi itu sebagai upaya agar film tetap lolos sensor. Tetapi, paling tidak, kita dapat melihat bagaimana algoritma bekerja pada aplikasi yang digunakan oleh para kurir di Meituan. Da Hei (Feng Bing), misalnya, harus bekerja sampai 14 jam sehari agar memperoleh bonus yang bisa mencukupi kebutuhannya.

Baca juga: Akun Tuyul sampai Joki: Bagaimana Pengemudi Gojek Lawan Eksploitasi Kerja

Selain harus memenuhi target-target tertentu agar akun kurir bisa terus digunakan, para pekerja di Meituan juga tidak boleh mendapat ulasan buruk, yang terkadang diberikan dengan alasan yang tak masuk akal dan bukan salah pekerja. Jika sudah begitu, siap-siap saja pekerja yang bersangkutan mendapat potongan upah dan penurunan peringkat. Tak heran jika para kurir kerap mengendarai skuter listriknya dengan kecepatan tinggi, yang sebenarnya bisa membahayakan dirinya sendiri.

Secara keseluruhan, Upstream tetap menarik untuk ditonton. Ritme film yang cepat menjaga perhatian penonton, sementara ceritanya berhasil menggambarkan kompleksitas kehidupan modern. Dengan mengangkat isu-isu seperti ekonomi, keluarga, kesehatan, dan hubungan sosial, film ini menjadi cerminan relevan yang mengajak penonton merenungkan tantangan hidup pekerja gig dan berempati terhadap mereka.

Adinan Rizfauzi adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sempat aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes. Kini tulisannya tersebar di beberapa media, seperti Konde, Mojok, dan Whiteboard Journal.



#waveforequality


Avatar
About Author

Adinan Rizfauzi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *