Issues Opini

Dari Ojol hingga Penerjemah: Pekerja ‘Gig’ yang Serba Tak Pasti

Berapa banyak pekerja ekonomi gig di Indonesia dan bagaimana kerentanan mereka?

Avatar
  • August 24, 2023
  • 8 min read
  • 1205 Views
Dari Ojol hingga Penerjemah: Pekerja ‘Gig’ yang Serba Tak Pasti

Hari ini, kita tak asing lagi dengan istilah ekonomi gig atau gig economy. Itu didefinisikan sebagai pekerjaan berbasis tugas jangka pendek yang dimediasi oleh platform digital. Keberadaan platform digital sebagai mediator dan durasi kerja yang sangat pendek inilah yang membedakan karakteristik pekerja gig dengan pekerja prekariat lain seperti pekerja kontrak ataupun pekerja alih daya (outsourcing).

Di Indonesia, ekonomi gig mulai ramai diperbincangkan sejak kehadiran platform pengemudi ojek daring Gojek pada 2015. Bahkan, ekonomi gig dipandang sebagai “jenis pekerjaan masa depan” karena menawarkan fleksibilitas dan semangat wirausaha “to be your own boss”.

 

 

Meski demikian, hingga kini belum ada data aktual yang dapat dirujuk untuk menggambarkan besarnya ekosistem ekonomi gig di Indonesia–suatu langkah yang penting untuk mengembangkan dan meregulasi sektor potensial tersebut sekaligus memastikan hak dan perlindungan pekerja.

Apalagi, ada pandangan bahwa ekonomi gig merupakan kelanjutan dari praktik eksploitasi neoliberalisme–merujuk pada pemilik modal yang mengendalikan para pekerja secara tidak langsung dengan memanfaatkan kerancuan istilah “kemitraan”.

Studi kami berusaha memetakan tipologi pekerja dan platform ekonomi gig dengan menggunakan data mikro survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik. Kami mengestimasi, angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaan utamanya adalah sebesar 430 ribu hingga 2,3 juta orang atau sekitar 0,3-1,7 persen dari total angkatan kerja.

Baca juga: Nasib Ojol Selama Dua Tahun Pandemi: Tarif Ditekan, Pemerintah Membiarkan

Tipologi Umum Ekonomi ‘Gig’

Istilah ekonomi gig pertama kali populer di Amerika Serikat (AS) pascaresesi besar 2008–saat pekerjaan yang ada didominasi oleh proyek-proyek jangka pendek dan para pekerjanya direkrut secara nontradisional dengan kontrak alternatif dan bayaran berbasis hasil. Istilah ‘gig’ sendiri diadopsi dari konsep musisi amatir yang melakukan konser ‘gig’ dari satu kafe ke kafe lainnya–identik dengan mereka yang bekerja tanpa adanya kantor dan pemberi kerja yang permanen.

Jika dilihat dari prosesnya, ekonomi gig sebenarnya hanyalah bentuk lain dari skema alih daya. Bedanya, peran perusahaan alih daya digantikan oleh platform sebagai perantara.

Secara tipologi, ekonomi gig dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, berbasis online. Dalam jenis ini, seluruh pekerjaan disampaikan tanpa melalui interaksi tatap muka atau bisa disebut sebagai crowdwork.

Beberapa contoh platform crowdwork yang banyak digunakan oleh pekerja gig online di Indonesia, misalnya Upwork (AS), Freelancer (Australia), dan Fiverr (Israel). Di Asia Tenggara sendiri, belakangan muncul platform crowdwork yang cukup ternama, seperti Fastwork (Thailand), Projects.co.id (Indonesia), dan Sribulancer (Indonesia).

Kategori kedua adalah gig berbasis lokasi (location-based gig) yang pekerjaannya harus diselesaikan melalui interaksi tatap muka. Model yang paling umum dalam kategori ini adalah penyedia layanan transportasi (ride-hailing), yang didominasi oleh Uber (AS), Didi (Cina), atau Lyft (AS). Model bisnis lainnya yang juga marak adalah jasa pengantaran makanan (Deliveroo, Justeat, UberEat) dan jasa kurir (Maxim, Lalamove).

Menariknya, platform yang mendominasi ekonomi gig Indonesia seperti Gojek, Grab, dan belakangan ini Shopee adalah platform yang mengombinasikan beragam layanan sekaligus, atau biasa disebut sebagai superapp.

Baca juga: Akun Tuyul sampai Joki: Bagaimana Pengemudi Gojek Lawan Eksploitasi Kerja

Berapa Jumlah Pekerja ‘Gig di Indonesia?

Meski berkembang pesat, pemerintah masih gagap mengestimasi jumlah populasi pekerja gig ekonomi. Padahal, penting untuk mengetahui jumlah maupun tipologi dari pekerja gig agar dapat mencari kebijakan-kebijakan yang tepat.

Meski data Sakernas belum bisa secara sempurna memperkirakan jumlah pekerja gig di Indonesia, kita dapat menggunakan survei tersebut untuk melakukan perhitungan secara kasar.

Berangkat dari studi-studi sebelumnya yang pernah dilakukan di AS, Eropa dan Inggris, kami melakukan riset menggunakan data Sakernas 2019 untuk mengestimasi jumlah pekerja gig di Indonesia. Alasannya, Sakernas mulai mengikutsertakan pertanyaan mengenai apakah pekerja menggunakan internet pada pekerjaan utama–termasuk pemanfaatannya untuk komunikasi, promosi, atau transaksi–pada 2018 dan pertanyaan tambahan mengenai apakah proses penjualan barang/jasa dilakukan melalui situs web/aplikasi marketplace pada 2019. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dihilangkan pada 2020.

Kami menggunakan dua pendekatan untuk melakukan pengukuran.

Pertama, terbatas hanya untuk pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang menggunakan internet dan yang proses penjualan barang/jasanya dilakukan melalui situs web/aplikasi marketplace. Dengan pendekatan ini, kami memperkirakan terdapat 430 ribu orang pekerja gig di Indonesia yang bekerja penuh waktu.

Meskipun pendekatan ini sangat jelas menggambarkan karakteristik pekerja gig, kekurangan muncul dari ambiguitas pertanyaan survei yang bisa menghasilkan angka di bawah kondisi sebenarnya (under-estimation). Seorang pengemudi ojek online, misalnya, belum tentu mendefinisikan aplikasi Gojek yang dipakainya sebagai aplikasi marketplace.

Pendekatan kedua mendefinisikan pekerja gig secara lebih umum, yakni sebagai pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang memanfaatkan medium internet pada pekerjaannya. Dengan pendekatan ini terdapat 2,3 juta pekerja gig di Indonesia pada 2019 yang bekerja penuh waktu. Rinciannya, 1,2 juta pekerja berkecimpung di sektor transportasi dan sisanya di sektor jasa lainnya.

Pendekatan ini menggambarkan lebih banyak opsi platform dalam ekosistem ekonomi gig dan tidak menghasilkan ambiguitas dalam pertanyaan survei. Kekurangannya, definisi ini juga mengikutsertakan pengemudi ojek yang menggunakan aplikasi media sosial untuk mendapatkan konsumen tanpa melalui perantara platform, sehingga angka yang dihasilkan bisa saja di atas kenyataan di lapangan (over-estimation).

Berangkat dari dua pendekatan di atas, terdapat 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja di sektor gig sebagai mata pencaharian utama, atau setara dengan 0,3-1,7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia pada 2019.

Baca juga: Kenapa Istilah “Mitra” Buat Driver Ojol Bermasalah?

Karakteristik Pekerja ‘Gig’ Indonesia

Data Sakernas juga membantu mengidentifikasi karakteristik pekerja gig, misalnya terkait jam kerja, gender, dan latar belakang pendidikan.

Kami menemukan bahwa pekerja gig di sektor transportasi memiliki jam kerja yang tinggi hingga mencapai 57 jam per pekan. Hal ini sejalan dengan banyak riset yang menggambarkan kondisi pekerjaan pengemudi ojek daring dan kurir yang terpaksa bekerja dalam waktu sangat panjang untuk mencapai target dan bonus harian.

https://flo.uri.sh/visualisation/14805897/embed
Made with Flourish

Dari sisi gender, pekerja gig di sektor transportasi didominasi oleh laki-laki (97,6 persen). Sementara, rasio gender pekerja gig di sektor jasa lainnya mirip dengan pekerja formal, dengan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 36,4 persen.

Selain itu, riset kami juga mengonfirmasi bahwa ekonomi gig adalah fenomena urban. Sebanyak 88 persen pekerja gig di sektor transportasi dan 80,7 persen di sektor jasa lainnya tinggal di perkotaan.

Fenomena ekonomi gig juga menunjukkan dominasi Pulau Jawa dan ibu kota. Sebanyak 1,7 juta (74 persen) pekerja gig berada di pulau terpadat di dunia ini. Lebih lanjut, 480 ribu (39 persen) pekerja gig di sektor transportasi terkonsentrasi di aglomerasi Jakarta (Jabodetabek).

Selain Jabodetabek, konsentrasi pekerja gig sektor transportasi (jumlah pekerja per 100.000 orang penduduk dewasa) paling tinggi berada di ibu kota provinsi seperti di Manado, Bandar Lampung, dan Denpasar. Ini sejalan dengan ukuran pasar dan konsumen di tingkat lokal yang dilayani oleh jasa transportasi berbasis gig seperti ojek daring dan kurir barang maupun makanan.

Di sektor jasa lainnya yang bekerja secara daring, pekerja gig terdistribusi juga di kota-kota tier kedua yang ukuran populasinya lebih kecil. Mereka biasanya bisa ditemukan di kota yang identik dengan kota kreativitas, pariwisata, dan pendidikan seperti Denpasar, Malang, dan Yogyakarta. Dengan catatan bahwa pekerja di sektor ini bekerja secara daring, tidak sekadar fokus pada pasar lokal, kota-kota tersebut menjadi pilihan utama para pekerja gig terdidik berketerampilan tinggi yang identik dengan pekerja kreatif ini.

Dari segi upah, distribusi pendapatan di antara sesama pekerja gig transportasi–misalnya antara sesama pengemudi ojek daring–tidak berbeda jauh. Sebaliknya, pendapatan per bulan pekerja gig di sektor jasa lainnya cukup timpang.

Sebagai ilustrasi, pekerja gig di sektor jasa perusahaan bisa memiliki rata-rata pendapatan Rp4,9 juta per bulan, sementara di sektor pendidikan hanya sebesar Rp2,3 juta per bulan.

Dari rata-rata usia, pekerja gig umumnya lebih muda daripada pekerja informal lainnya. Ini karena biasanya seorang pekerja gig dituntut untuk melek teknologi dan bisa menggunakan aplikasi digital melalui perangkat komputer elektronik mereka.

Masa Depan Ekonomi ‘Gig’ Indonesia

Pekerja gig di Indonesia.
Pekerja gig tak melulu berada di sektor transportasi online. Mulai dari pendidik hingga penulis lepas, kian banyak pekerja memanfaatkan platform untuk menjajakan jasa mereka. Daren Woodward/shutterstock

Besaran persentase pekerja gig di Indonesia berdasarkan penelitian kami tidak jauh berbeda dengan estimasi pekerja gig penuh waktu di AS, Eropa, dan Inggris yang berkisar di antara 0,5-5% dari angkatan kerja.

Bedanya, di negara-negara tersebut, ekonomi gig sudah diregulasi dengan jauh lebih serius. Di inggris misalnya, platform tidak bisa lagi mengategorikan orang yang bekerja di platformnya sebagai mitra. Pekerja gig kini diklasifikasikan sebagai pekerja yang punya hak upah minimum, hak istirahat, dan jaminan pensiun.

Uni Eropa kini sedang dalam proses membuat aturan yang komprehensif dan protektif tentang platform work. Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak sosial orang yang bekerja dalam ekonomi gig di wilayah eropa.

Di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat kekosongan hukum terkait ekonomi gig. Keengganan pemerintah untuk meregulasi ekonomi gig tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut, karena pekerjaan dengan model ini kemungkinan akan terus berkembang dan berlipat ganda.

Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memiliki basis data yang jelas soal jumlah, sebaran, dan karakteristik pekerja gig secara nasional.

Penting bagi pemerintah untuk mengukur jumlah pekerja ekonomi gig secara independen tanpa melibatkan para perusahaan penyedia platform. Ini karena data pekerja gig yang terintegrasi dengan survei tenaga kerja akan bermanfaat untuk analisis perbandingan antara pekerja gig dengan pekerja dan angkatan kerja secara keseluruhan.

Dengan memiliki data yang akurat soal ekonomi gig, pemerintah diharapkan akan bisa membuat kebijakan yang ideal untuk masa depan ekonomi gig yang berkelanjutan dan lebih berkeadilan.

Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Labour Law, Universitas Gadjah Mada ; Media Wahyudi Askar, Phd candidate, University of Manchester, dan Muhammad Yorga Permana, Dosen di School of Business and Management ITB and PhD Student in Economic Geography, London School of Economics and Political Science.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nabiyla Risfa Izzati, dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *