Issues

Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Lulus S2 enggak menjamin Gen Z mudah dapat kerja. Sebenarnya, siapa yang paling bertanggung jawab atas pengangguran terdidik ini?

Avatar
  • September 24, 2024
  • 7 min read
  • 79 Views
Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Sudah lima bulan sejak “Danar”, 24 lulus studi Magister Manajemen di Universitas Indonesia. Namun, ia masih belum mendapat kerja. Dari 200 lowongan kerja yang diikuti, jumlah perusahaan yang memanggil untuk melanjutkan proses rekrutmen bisa dihitung pakai jari. Realitas ini membuat Farhan yang tadinya cukup selektif dalam mengirimkan lowongan kerja, jadi pasrah mencoba ke berbagai perusahaan. 

“Awalnya nargetin perusahaan-perusahaan besar, tapi belakangan aku ‘nebar’ jaring. Yang penting dapat kerja dulu,” ungkapnya. 

 

 

Saat lulus S1 Psikologi pada awal 2022, Danar tak membayangkan akan kesulitan mendapat kerja setelah meneruskan studi. Hanya selang enam bulan dari waktu kelulusannya, sampai ia melanjutkan S2. Pilihan itu Danar ambil demi memfokuskan karier di bidang manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). 

Kenyataannya, menggunakan ijazah S2 untuk mencari kerja justru lebih sulit. Ia perlu membedakan CV saat melamar kerja: Ada yang menggunakan ijazah S1 dan ada yang memakai ijazah S2. Danar menyesuaikannya berdasarkan jenis pekerjaan dan job requirement yang dibutuhkan. 

Untuk menyambi waktu luang dan mengikuti proses rekrutmen di perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), ia menjalani bisnis jual beli mobil. 

Dengan pendidikan tinggi, idealnya, Danar lebih mudah mendapat kerja. Jika merujuk pada data tracer study Universitas Indonesia pada 2022, ia termasuk dalam tujuh persen lulusan S1 yang melanjutkan pendidikan. 

Ia sendiri adalah satu dari generasi Z yang susah mendapat kerja setelah lulus S-2. Tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan soal anak muda di rentang usia 15-24 tahun yang termasuk dalam NEET (not in employment, education, and training). BPS mencatat, 452.713 orang lulusan S1, S2, dan S3 tidak bekerja. 

Lebih lanjut, jika merujuk pada riset akademisi Robby Jannatan, bahkan kampus-kampus ternama pun tak menjamin lulusannya otomatis dapat kerja dengan mudah. Misalnya, survei alumni Universitas Indonesia (UI) pada 2021 menyebut, sebanyak 9 persen lulusan mereka masih atau sedang mencari kerja dan belum bekerja setelah dua tahun lulus. Sebelas dua belas, laporan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menunjukkan masih ada 5 persen mahasiswa angkatan 2015 yang sudah lulus tapi belum bekerja pada 2022. 

Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi situasi ini? 

Baca Juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan 

Benarkah Skills Mismatch Penyebab Gen Z Susah Dapat Kerja Setelah S2? 

Saat melalui proses wawancara di beberapa perusahaan, pihak human resources (HR) kerap menanyakan pengalaman kerja Danar. Alasannya, ia belum punya pengalaman kerja yang cukup lama di bidang HR. Satu-satunya pengalaman Danar adalah magang selama dua bulan, sebelum lulus S1. 

“Mungkin ekspektasi perusahaan cukup tinggi, tapi, aku belum punya skill yang diharapkan,” katanya. 

Yang Danar alami merupakan skills mismatch, atau kemampuan pelamar kerja yang dinilai kurang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja—antara kemampuannya berbeda atau tidak memenuhi standar perusahaan. 

Belakangan, skills mismatch sering disebut sebagai faktor banyaknya pengangguran—sebagaimana BPS, pada Februari lalu mencatat 4,82 persen penduduk Indonesia adalah pengangguran. Tak hanya media online yang menyampaikan hal serupa lewat pemberitaan, alasan ini juga diamini oleh Program Officer International Labour Organization (ILO), Dina Sari Novita. 

Saat dihubungi Magdalene, Dina menyatakan, skills mismatch berkontribusi besar dalam pengangguran—termasuk pada Gen Z lulusan S2. Namun, yang perlu dilihat adalah permasalahan struktural di baliknya. 

Di antaranya belum cukup komunikasi antara pemerintah, perusahaan, dan pihak kampus. Ini berdampak pada pengembangan kebijakan yang seharusnya mencukupi tenaga kerja. Misalnya, perusahaan memerlukan programmer dengan kualifikasi tertentu. Kebutuhan itu perlu disampaikan oleh perusahaan terhadap kampus, supaya memfasilitasi mahasiswa lewat perkuliahan. Harapannya, kemampuan mahasiswa dapat memenuhi permintaan pasar kerja. 

Sebenarnya, skills mismatch enggak bisa dilihat sebagai faktor tunggal. Lewat tulisannya di The Conversation, peneliti Senza Arsendy menjelaskan, skill mismatch justru menempatkan isu pengangguran sebagai kesalahan individual, seolah pelamar kerja yang bertanggung jawab karena enggak punya kemampuan yang mumpuni. Sementara ada hal-hal lain yang mempertebal masalah ini. 

Misalnya sedikitnya lapangan kerja yang layak dan berkualitas. Ini terlihat dari jumlah pekerja sektor informal yang lebih besar, yaitu 59,17 persen dari total tenaga kerja. Diikuti oleh perusahaan yang tidak menggaji karyawannya dengan layak, atau mempekerjakan karyawan sebagai mitra—bukan pekerja tetap.  

“Banyak perusahaan sektor formal lagi kesulitan ekonomi,” terang Bhima. “Jadi ekspektasi (gaji) pencari kerja berijazah S2, enggak sesuai dengan yang ditawarkan perusahaan.” 

Baca Juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Lalu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di perusahaan start-up, yang terjadi sejak pandemi COVID-19 hingga belakangan ini. Sepanjang 2022 saja, setidaknya ada 19 perusahaan start-up yang melakukan PHK besar-besaran. Perusahaan yang disebut berinovasi dalam menciptakan lapangan kerja, justru tertekan secara keuangan. 

Selanjutnya, faktor kelas ekonomi, gender, ras, dan agama. Sejumlah hal ini sering kali luput, ketika membicarakan hambatan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan. Faktanya, perempuan cenderung lebih sulit berpartisipasi dalam dunia kerja. Penyebabnya adalah minimnya kesempatan kerja yang berkaitan dengan stereotip gender, dan kerja perawatan yang enggak dipandang sebagai pekerjaan. 

Kelas ekonomi juga memengaruhi kesuksesan orang-orang miskin saat mengikuti tes pekerjaan. Meski berasal dari kampus ternama, mereka belum tentu diterima. Soalnya, perusahaan menilai mereka enggak mampu beradaptasi dengan budaya di perusahaan elit. 

Lantas, bagaimana permasalahan ini bisa diatasi? 

Baca Juga: Beda Gen Z dan Milenial Hadapi Tekanan Kerja di ‘Start-up’, Siapa Lebih Tangguh? 

Yang Mendesak Dilakukan 

April lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi bilang, lulusan S2 dibutuhkan untuk tingkat manajemen. Namun, ketersediaan posisi itu enggak sebanyak bagian produksi sehingga lapangan kerja terbatas. Ia juga menekankan, alih-alih mencari pekerjaan, lulusan S2 mestinya menciptakan lapangan kerja. 

Sayangnya, kurang tepat jika menuntut lulusan S2 untuk menjadi wiraswasta. Menurut Bhima, S2 adalah pendalaman teori dan keahlian yang spesifik, hingga mengembangkan keilmuan yang lebih tepat di bidang penelitian atau akademis. Lagi pula, setiap lulusan punya keahlian sesuai dengan minatnya.  

Karena itu supaya Gen Z lulusan S2 bisa mendapatkan pekerjaan, menurut Bhima, pemerintah perlu memperkuat dan mendukung sektor formal maupun teknologi tinggi, yang memerlukan kompetensi pekerjaan berkeahlian tinggi. Terutama yang berkaitan dengan skills mismatch.  

“Persoalan skills mismatch memerlukan terobosan perkembangan teknologi, tren industri, dan keahlian yang dibutuhkan di masa depan,” kata Bhima. Jika kampus kesulitan menyediakan dosen, mereka bisa bekerja sama dengan praktisi industri. 

Lain halnya dengan Dina. Menurutnya, harus ada kebijakan yang dibuat berdasarkan dialog dari pemangku kepentingan—pemerintah, swasta, serikat pekerja, dan akademisi universitas. Dialog ini bertujuan untuk memahami dan memetakan kebutuhan skill dan pengetahuan, yang diperlukan setiap pekerjaan agar sesuai dengan kompetensi mahasiswa. Dan pemerintah bisa terlibat untuk menjembatani lewat berbagai pelatihan. 

Dina menambahkan, saat ini ILO sedang menyusun studi soal framework untuk kemampuan dasar yang harus dimiliki di abad ke-21. Hal itu mencakup kemampuan sosial dan emosional, metakognitif, keterampilan digital dasar, dan green jobs—atau pekerjaan ramah lingkungan yang berkontribusi untuk melestarikan lingkungan. 

“Kami pikir pihak kampus harus memfasilitasi kemampuan dasar, supaya transisi mahasiswa ke dunia kerja lebih mudah,” tutup Dina. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini: 

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I) 

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian II) 

Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan 

Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas 

Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga

Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 1)

Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 2)

Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’

Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan?



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *