‘Hacker’ Bjorka di Antara Puja dan Cela
Bjorka, ‘hacker anonymous’ dipandang sebagai simbol perlawanan warga Indonesia yang lelah terhadap kebocoran data. Ia juga jadi pengingat pentingnya RUU PDP.
Belakangan, Bjorka, peretas anonim itu jadi buah bibir masyarakat Indonesia. Tak cuma jadi trending topic Twitter, Bjorka juga kerap mengisi headline media daring kita.
Melalui akun Twitternya @bjorkanism yang kini kena suspend, Bjorka membeberkan berbagai aksi pembobolan data yang ia lakukan. Terkadang, ia juga memperjualbelikan data-data ke pasar gelap. Masih ingat dengan kasus kebocoran data kartu SIM milik pelanggan Indonesia pada (31/8) silam? Ya, itu salah satu ulah hacker ini.
Dilansir dari Kompas, Bjorka mengunggah dua juta data sampel Sim Card ponsel masyarakat Indonesia di situs Breached Forums yang ia dapat dari sistem Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Data yang diduga bocor itu meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor telepon, nama penyedia layanan atau provider, dan tanggal pendaftaran. Berdasarkan investigasi terakhir Kominfo, 15-20 persen dari data sampel tersebut valid.
Meski membobol miliaran data pribadi warga, menariknya kini aksi Bjorka secara mengejutkan panen dukungan. Hal ini tak lain karena ia membocorkan data pribadi milik para pejabat tinggi negara. Mulai Kementerian Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, hingga Presiden Joko Widodo.
Data pribadi yang ia bocorkan pun tak tanggung-tanggung. NIK, nama lengkap, nomor ponsel, nomor Kartu Keluarga, alamat rumah, pendidikan, golongan darah, bahkan hingga nomor vaksin pun semuanya ia bocorkan ke publik.
Baca juga: Magdalene Primer: Kebocoran Data Pribadi dan Hak Warga yang Harus Dilindungi
Bjorka Dipuji Layaknya Robin Hood
Berbicara soal pembobolan data, kita perlu mengakui, sosok Bjorka sebenarnya relatif kontroversial. Di satu sisi, sebenarnya dia laik jadi musuh bersama, lantaran ia membobol miliaran data pribadi dan memperjualbelikannya tanpa rasa bersalah. Namun di sisi lain, cara Bjorka “menelanjangi” pemerintah rupanya cukup mewakili frustasi berjamaah kita kepada pemerintah.
Bagaimana enggak frustasi, lihat saja, di tengah himpitan ekonomi dan momok inflasi, pemerintah justru menaikkan harga BBM. Keputusan yang jelas bakal berdampak pada naiknya semua harga kebutuhan pokok. Mirisnya lagi, ketika ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah pada (6/9), para anggota Parlemen justru asyik merayakan ulang tahun Puan Maharani.
Tak cuma frustasi dengan sikap abai pemerintah, kita juga lelah karena privasi sendiri tak lagi berharga di negeri ini. Lihat saja kinerja Kominfo. Pakar digital forensik Ruby Alamsyah berkata pada CNN Indonesia, sejak awal 2022 sampai sekarang, setidaknya sudah terjadi 10 kasus dugaan kebocoran data. Namun, bukannya berbenah, Kominfo justru sibuk mencari alibi.
Enggak cukup sampai di situ. Alih-alih memperbaiki, Kominfo lagi-lagi menggulirkan kebijakan omong kosong dengan memblokir kata “slebew” yang kata mereka, enggak ada urgensinya sama sekali.
Karena hal-hal itulah, tak heran kehadiran Bjorka dianggap sebagai Robin Hood. Kehadirannya adalah simbol dari pembangkangan, perlawanan, sekaligus ejekan paling mutakhir terhadap pemerintah Indonesia saat ini.
Ia tak membuat rakyat “susah”. Ia jadi pihak yang saat ini tak hanya mendengarkan omelan rakyat terhadap ketidakbecusan pemerintah, tapi juga membalaskan dendam masyarakat pada mereka
Baca juga: Serangan Digital Marak, Kebebasan Berpendapat di Ujung Tanduk
Pelajaran Lain
Apa yang dilakukan oleh Bjorka lewat aksi vigilante-nya juga jadi pengingat tentang rentannya data pribadi kita. Aksi Bjorka adalah penegasan terhadap kegagalan pemerintah yang gagal melindungi data pribadi. Instansi-instansi pemerintah tak pernah punya panduan lengkap, sumber daya manusia, dan teknologi mumpuni di bidang keamanan siber.
Selama ini, masalah siber di Indonesia baru diatur menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU Nomor 19 Tahun 2016). Sayangnya, menurut ahli hukum siber dari Universitas Padjadjaran Sinta Dewi dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia, aturan itu masih belum dirumuskan dengan baik. Sinta mencontohkan, satu-satunya pasal yang terkait mengenai cybercrime hanya tercantum pada Pasal 26.
“Jadi tidak komprehensif mengaturnya, seperti apa, dan kewajibannya bagaimana. Akhirnya kerap sekali, hal seperti ini [kebocoran data pribadi],” jelasnya.
Karena itu, penting buat kita mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi untuk disahkan segera. Setidaknya, ada tiga poin penting yang berguna untuk menjaga keamanan identitas warga dan pengguna internet.
Baca juga: Dari Pembobolan Akun sampai ‘Sextortion’: Risiko Besar Kebocoran Data Pribadi
Dilansir dari The Conversation, tiga poin ini antara lain, warga berhak memilih informasi apa saja yang bisa dikumpulkan oleh laman atau aplikasi internet, warga berhak menghapus data pribadi yang disimpan oleh perusahaan atau perpanjangannya, dan melindungi warga ketika bersengketa dengan perusahaan besar.
“Ini dibutuhkan untuk melindungi kita semua, agar data tidak dipergunakan oleh korporasi, negara atau individu lain atau punya niat atau kepentingan yang berbeda baik dengan sengaja atau tidak sengaja,” tambah Dhyta.
Sekarang jawabannya ada di pemerintah. Melihat banyak sekali kebocoran data yang “dibiarkan”, apakah kini mereka tergerak untuk sesegera mungkin membahas RUU PDP? Apakah mereka bersedia melakukan asesmen-asesmen yang lebih berfaedah dibandingkan saling lempar kesalahan dan bikin blunder. Ya, kalau berharap pada pemerintah enggak bisa, masa iya harus berharap pada Bjorka?