Hak untuk Bekerja Tidak Bergender, Stop Larang Perempuan Melakukannya
Seorang perempuan yang mencintai hidupnya sebagai pekerja dihadapkan dengan harapan keluarga laki-lakinya untuk berhenti berkarya.
Saya besar di keluarga yang didominasi laki-laki. Selain Ayah, saya “dijaga” oleh empat saudara laki-laki. Kepercayaan kuno Tionghoa menyebut, porsi saudara seperti ini akan berdiri kokoh. Layaknya meja berkaki empat, kehadiran saya sebagai daun meja akan menciptakan meja yang berdiri tegak dan kuat. Ibu mungkin jadi semacam pot bunga segar, yang membuat meja dan seisi rumah menjadi indah dan wangi.
Sayangnya, peran sebagai daun meja yang saya jalani tidak sekokoh dan seistimewa yang orang-orang percayai.
Menjalani kehidupan di komunitas, media, dan berinteraksi dengan beragam manusia dengan beraneka latar belakang membuat saya tumbuh penuh khayalan. Mulai dari khayalan menjadi seorang pemberi orasi yang hebat, pewawancara tokoh penting di layar televisi, hingga memenangkan penghargaan sebagai perempuan inspiratif.
Sampai kini, belum ada satu pun dari ketiganya yang tercapai. Tapi, sebagai seseorang yang tumbuh tanpa referensi tentang betapa hebat dan banyaknya peran yang bisa dilakoni seorang manusia, terlebih perempuan, memiliki khayalan saja sudah menstimulasi hormon kortisol di otak saya.
Khayalan yang tumbuh sejak saya duduk di bangku SMA itu mengantarkan saya ke ibu kota. Berbekal pertemanan dari komunitas yang saya ikuti di kampung halaman, saya datang ke Jakarta untuk kuliah. Pada saat itu, Ilmu Komunikasi yang ingin saya pelajari belum ada di kampung saya, Kalimantan Barat. Jadi, atas nama “tanamkan cita-cita setinggi langit”, saya pun mengadu nasib menjadi perantau.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan
Menikmati Hidup sebagai Perempuan Pekerja di Jakarta
Perjalanan selama kuliah, magang, dan bekerja seketika membuat dunia saya berwarna. Bertemu manusia dengan berbagai cerita, tingkah laku, level kepintaran dan keunikan yang berbeda, membuat saya sangat menikmati masa kuliah.
Kewajiban memenuhi setiap tugas yang diberikan oleh atasan selama magang saya lakoni dengan penuh semangat, dalam busana wajib putih hitam khas anak magang. Terlebih karena proses magang selama hampir enam bulan saya lakukan di salah satu media impian saya. Media yang sudah wara-wiri di pikiran saya sejak enam tahun sebelumnya, akhirnya bisa menjadi bagian hidup saya. Sungguh kepuasan yang tidak terkira untuk seorang anak asal kampung.
Dunia kerja yang kemudian meleset dari impian menjadi seorang seperti Najwa Shihab tidak membuat dunia saya menjadi kelabu. Saya mewarnai masa kerja saya di bidang pemasaran selama hampir lima tahun dengan perasaan suka cita. Setiap kekalahan dan kemenangan yang saya dapat, besar dan kecil, membuat hari saya bermakna. Terlebih ketika turun bonus dari atasan.
Singkat cerita, saya suka bekerja.
Sebagai perempuan yang besar tanpa banyak bekal dari keluarga, mengenai khayalan akan betapa nikmatnya bisa menggunakan kebisaan kita, kesempatan bekerja adalah hal yang banyak mengubah persepsi saya. Terlebih saat kebisaan yang kita anggap biasa menjelma menjadi sesuatu yang bermanfaat, bahkan dengan hasil yang jelas terlihat. Uang melengkapi, tapi kesempatan berbuat dan berkarya membuat segalanya menjadi sangat indah.
Baca juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim
Siapa Pun Berhak untuk Bekerja
Sampai kemudian, saya kembali dihadapkan pada prinsip meja kokoh berkaki empat di depan mata.
Siapa sangka, kaki yang katanya akan menopang saya, ternyata tidak berukuran sama. Ada yang tinggi, ada yang pendek. Ada yang menghargai pilihan untuk menjadi perempuan pekerja, ada yang masih “oleng’” ada yang mencoba meniadakan hasrat berkarya saya dengan alasan “perempuan tidak perlu kerja, apalagi kalau sudah menikah”.
Mendarat pada titik ini, daun meja pun mulai bergoyang. Semoga tidak roboh.
Pekerjaan, berkarya, mencari uang, bukan milik laki-laki sepenuhnya. Ketiganya tidak menjadi hak yang bergender. Mereka uniseks. Ia bisa menjadi milik siapa saja. Tanpa membahas apa yang disebut “kodrat” perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga, melahirkan, mengurus anak, memasak di dapur, perempuan juga punya hak untuk bekerja, berkarya, dan menghasilkan. Entah saat masih sendiri atau tidak.
Berkarya tidak bergender. Ia milik semua orang yang ingin mencari nilai hidup dengan menjadi bagian dari masyarakat. Berkarya adalah hak setiap orang yang ingin menjadikan dirinya bermakna bagi orang lain, dengan kebisaan yang dia miliki.
Berkarya adalah bentuk syukur atas kebisaan yang dimiliki. Keberadaannya bisa dilipatgandakan. Terlebih, ketika seseorang bisa melahirkan sesuatu yang berguna untuk orang lain.
Teruntuk Abang, Paman, Ayah, Kakek yang membaca, tidak perlu menghentikan keinginan ibu, istri, adik, atau keponakan perempuan yang ingin terus berkarya, selagi mereka bisa dan ingin. Semua manusia berhak bahagia dengan caranya masing-masing, apa pun jenis kelamin yang dimilikinya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari