Hal yang Tak Masuk Akal dari ‘Cultural Appropriation’
Siapa yang memiliki otoritas untuk memberikan izin sebuah elemen budaya berhak digunakan atau tidak?
Seorang perempuan kulit putih di Amerika Serikat yang menggunakan cheongsam ke pesta dansa atau prom dihujat dengan alasan cultural appropriation. Namun perempuan lain yang tinggal dan lahir di Jepang dan mengecat rambutnya menjadi pirang, atau perempuan Indonesia yang menggunakan burka tidak menghadapi protes yang sama. Mengapa?
Istilah cutural appropriation mencuat setiap kali elemen-elemen budaya-budaya Asia dan Afrika seperti pakaian, ornamen, atau bahkan makanan melekat pada kebudayaan kulit putih Eropa atau Amerika. Menurut asumsi dari orang-orang melemparkan tuduhan apropriasi pada orang kulit putih tersebut, bangsa kulit putih telah lama menjajah dan mengeksploitasi mereka selama ini. Dan pada hari ini, ketika bangsa non-kulit putih bisa bersuara, setiap elemen budaya non-Eropa yang tersemat pada tubuh atau dilakukan oleh sekelompok orang kulit putih adalah cultural appropriation.
Menurut saya, cultural appropriation adalah sebuah konsep tidak masuk akal apabila kita mau memperdebatkan soal relasi kuasa baik pada tubuh perempuan atau dalam kondisi kebudayaan yang a-gender. Tulisan ini tidak hendak membela manusia dari warna kulit tertentu tetapi untuk memperlihatkan argumentasi cutural appropriation yang tidak logis dan mengapa kita sebaiknya bicara dimensi yang lebih krusial ketika bicara soal kekuasaan yang timpang.
Pertama, saya menggunakan istilah cultural dengan bahasa Inggris karena terasa kurang pas untuk menerjemahkannya menjadi konsep apropriasi budaya. Cultural appropriation diartikan sebagai usaha menggunakan atribut kebudayaan masyarakat minoritas oleh kelompok mayoritas. Istilah ini mencuat di Indonesia akibat kejadian-kejadian populer di Amerika seperti kasus cheongsam di atas, bintang televisi Kylie dan Kendal Jenner yang mengeriting rambutnya seperti orang kulit hitam, film animasi Moana yang dalam proses produksinya tidak mengundang orang Maori dan sebagainya.
Namun, ketika di Jakarta, ada teman saya kulit putih bertato wayang dan keris, tidak ada yang menuduh dia melakukan cultural approproation. Atau ketika teman saya menggunakan pakaian adat Dayak padahal dia adalah orang Jawa, juga tidak ada yang menuduhnya sebagai cultural appropriation.
Budaya dan konsep negara-bangsa
Untuk itu ada baiknya kita memahami dulu apa itu budaya. Budaya dalam bahasa Indonesia berasal dari kata budhi yang berarti kebudayaan. Sedangkan definisi culture dalam bahasa Inggris hampir sama dengan yang dikemukakan oleh bapak Sosiologi Indonesia Selo Soemardjan tentang kebudayaan, yakni sebagai sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Saya mewawancarai Geger Riyanto, antropolog muda yang sedang belajar di Universitas Heidelberg, Jerman terkait konsep kebudayaan dan mengapa cultural appropriation bisa menjadi perbincangan hangat di media daring. Geger menyatakan ada dua konsep tentang kebudayaan yang menjadi pembeda dasar mengapa konsep seperti cultural appropriation bisa hadir dan menjadi masalah, sementara di sisi lainnya dianggap tidak masuk akal.
Pada dasarnya, semua budaya adalah cultural appropriation karena kebudayaan seperti aliran, timbal-balik dan terus berubah sesuai dengan kehidupan manusia. Dalam konsep antropologi, budaya adalah sebuah kategorisasi dari hal-hal yang kita anggap sebagai realitas. Pengalaman indra kita menerjemahkan realitas dan kemudian kita mengategorikannya melalui tatanan yang kita sebut sebagai kebudayaan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa ada sekelompok orang tertentu merasa memiliki sebuah budaya?
Geger menuturkan lagi bahwa keberadaan negara bangsa dan kompetisi memunculkan sebuah hasrat ingin memiliki dan menguasai. Negara-bangsa adalah konsep muda yang abstrak dan membutuhkan kegiatan atau benda-benda konkret untuk menerjemahkannya. Baju daerah dan tari-tarian adalah bentuk nyata dari pengejawantahan negara-bangsa. Begitu juga tim nasional sepak bola dan makanan khas.
Konsep budaya diciptakan sebagai implementasi dari negara-bangsa sehingga konsep yang abstrak ini bisa terasa di masyarakat. Konsekuensinya, kebudayaan menjadi sesuatu yang statis dan dapat dimiliki. Ketika Malaysia menyatakan klaim atas rendang sebagai miliknya, ada perasaan nasionalisme kita yang cedera karena kita melihat rendang sebagai kebudayaan stagnan dan sesuatu yang dimiliki. Sebelum peristiwa klaim terjadi, tidak ada dari kita yang merasa memiliki rendang. Perasaan kehilangan hadir karena berada dalam sebuah kompetisi negara-bangsa.
Dalam budaya populer hari ini, kebudayaan muncul dan saling berkompetisi karena budaya telah menjadi komoditas yang menghasilkan uang. Budaya yang merupakan konsep abstrak diterjemahkan menjadi konkret (corak, tari-tarian, pakaian adat, resep masakan, dan seterusnya), kemudian mengalami komodifikasi melalui persaingan pasar.
Pemahaman soal cultural apropriation sebagai hal yang mengada-ada berangkat dari pemikiran bahwa (1) Budaya adalah sesuatu yang konkret; (2) Budaya bersifat stagnan; dan (3) Budaya dianggap esensialis dan diromantisasi. Padahal berdasarkan konsep antropologi tentang budaya, budaya selalu hadir karena interaksi dan tumbukan. Seperti asal manusia Indonesia yang beragam, begitu pula budayanya. Budaya tidak ada yang asli, berkualitas rendah-tinggi ataupun dimiliki. Justru, kehadiran negara dan kompetisi menghasilkan budaya yang kaku dan teromantisasi.
Ilusi Mayoritas-Minoritas
Permasalahan yang diangkat dari cultural appropriation adalah relasi kuasa yang dihadirkan melalui interaksi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Tapi apakah yang disebut mayoritas dan minoritas? Mayoritas dan minoritas adalah sebuah konsep yang relatif tergantung dengan variabel pendukungnya. Perempuan di Jepang mengecat rambutnya menjadi pirang sebagai imitasi terhadap ciri khas orang kulit putih yang berambut pirang. Orang kulit putih berambut pirang adalah minoritas dalam jumlah di Jepang. Apa dengan itu perempuan tersebut lantas melakukan cultural appropriation?
Kita bisa menyatakan Tionghoa sebagai etnis minoritas di Indonesia minoritas tapi bagaimana kategori Tionghoa dalam perekonomian Indonesia? Tionghoa menjadi tidak minoritas ketika variabel jumlah diganti dengan penguasaan ekonomi. Minoritas-mayoritas adalah terminologi yang relatif. Ada dimensi yang lebih konkret jika hendak melakukan komparasi ketimpangan relasi, yaitu dimensi ekonomi.
Ketimpangan ekonomi menghasilkan ketimpangan kekuasaan. Akumulasi modal yang dilakukan Eropa telah dilakukan ratusan tahun lalu melalui imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Amerika melakukan ekspansi ekonomi ke seluruh dunia pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Kemudian ketimpangan ekonomi ini menjadi budaya sebagai kategorisasi dan mengeras melalui identifikasi negara-bangsa. Apabila kita mau melawan ketimpangan relasi kuasa antara orang dari negara Eropa-Amerika dengan bangsa Asia-Afrika atau Amerika Latin maka mulailah degngan menyadari ketimpangan ekonomi dan bagaimana kekuatan ekonomi berpengaruh pada kebijakan negara.
Kekuatan ekonomi menggerakkan politik dunia hari ini dan penggunaan elemen budaya secara personal ataupun komunitas menjadi imbasnya. Kebudayaan yang mengeras tadi diklaim bukan oleh sekelompok melainkan sekelompok yang punya otoritas. Siapa yang berhak menentukan sebuah budaya ini adiluhung dan lainnya adalah budaya rendah? Siapa dan apa kepentingan seseorang atau sekelompok yang meromantisasi budaya lokal? Penguasaan kekuasaan?
Budaya sengaja dibuat keras dan diklaim tersebut oleh orang-orang yang memiliki otoritas. Ini menjadi masalah baru apabila kita bersikukuh untuk menerapkan istilah cultural appropriation pada kebudayaan. Siapa yang memiliki otoritas untuk memberikan izin sebuah elemen budaya berhak digunakan atau tidak? Misalnya saya memiliki darah Tionghoa 25 persen saja, maka siapakah yang berhak menentukan saya boleh memakai cheongsam atau tidak? Apakah ketika seseorang hendak menggunakan blangkon dan batik corak Jawa Tengah harus meminta izin kepada Hamengkubuwono X?
Berpalingnya kita pada analisis ekonomi sebagai ketimpangan relasi kekuasaan adalah tanda kedangkalan berpikir kita untuk mengatasi masalah sehari-hari. Pemaknaan budaya yang kaku dan dapat dimiliki adalah bukti kebudayaan itu sendiri telah taken for granted. Kita mengklaim suatu budaya milik kita tanpa mengetahui dari mana dan bagaimana jaringan kekuasaan yang bisa membuat kita mengategorisasikan hal-hal menjadi “budaya saya”.
Baca juga surat untuk Kartini.