Dari Beban Ganda hingga Bias Pribadi: Lagu lama Hambatan Perempuan Pekerja
Ternyata yang sering bikin karier mandek pada perempuan justru bias dan perasaan ragu pada diri sendiri.
Partisipasi angkatan kerja perempuan dalam ekonomi digital masih cenderung rendah di Indonesia. Karena itulah, MicroSave Consulting (MSC) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) membuat studi tentang ini di 9 provinsi di Indonesia. Riset bertajuk “Women’s informal employment in the digital economy” bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja tantangan perempuan pekerja informal dalam dunia ekonomi digital.
Studi yang makan waktu enam bulan itu akhirnya dipublikasikan pada publik akhir Mei lalu. Peneliti Putu Monica dan Rhifa Ayudia menjabarkan sejumlah temuan penting sebagai berikut:
Baca juga: JKP adalah Kebijakan Bagus, Sayangnya Pekerja Informal Luput Diperhatikan
Unconscious Gender Bias Masih Ada
Studi terhadap 400 perempuan pekerja informal dari berbagai sektor bisnis menemukan, diskriminasi dalam bentuk unconscious gender bias masih jadi momok pekerja perempuan. Dikutip dari International Labour Organization (ILO), unconscious gender bias merupakan asosiasi mental yang tidak disengaja, terjadi secara otomatis berdasarkan jenis kelamin, dan berasal dari tradisi, norma, nilai, budaya, serta pengalaman sehari-hari.
Dalam studi ini, unconscious gender bias mewujud dalam berbagai pengalaman buruk. Misalnya, A dari Yogyakarta, yang mendapatkan cibiran negatif saat melakukan pekerjaan cuma karena bentuk tubuhnya.
“Pelanggan sering kali mendiskriminasi perempuan. Mereka beranggapan, perempuan tidak bisa melakukan tugas-tugas tertentu, seperti membawa kargo yang berat. Namun, saya mengatakan kepada mereka, perempuan juga bisa melakukannya. Saat ini, perempuan bisa melakukan pekerjaan laki-laki, tetapi laki-laki tidak bisa melakukan pekerjaan perempuan,” jelas A yang berprofesi sebagai buruh gendong.
Selain A, pekerja rumahan dari Sumatera Utara, N, mengaku kerap dianggap tidak cocok dengan bidang mesin hanya karena perempuan. Menurut N, ini cukup merugikan, mengingat pekerja operator yang berhadapan dengan mesin, pasti memiliki upah yang lebih tinggi.
“Saya dulu bekerja di perusahaan produksi mi. Biasanya, laki-laki menjadi operator mesin, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang lebih halus, seperti pengemasan. Perempuan tidak pernah bekerja sebagai operator. Padahal, operator menerima gaji yang lebih tinggi, beserta insentif dan tunjangan,” ujar N dalam laporan hasil penelitian tersebut.
Baca juga: Dari Ojol hingga Penerjemah: Pekerja ‘Gig’ yang Serba Tak Pasti
Beban Ganda dan Pengasuhan
Masih seputar konstruksi dan peran gender, tantangan lain yang menjadi hambatan perempuan pekerja informal adalah beban ganda dan tugas pengasuhan. Temuan pada riset ini mendapati, 47,5 persen perempuan berusia 17-25 tahun terlibat dalam pekerjaan perawatan tidak langsung selama lebih dari 10 jam per minggu. Perempuan yang masuk dalam kelompok ini mayoritas belum menikah.
Temuan ini sekali lagi menegaskan, tanggung jawab pengasuhan tidak hanya identik dengan peran ibu atau istri, tapi juga dengan identitas perempuan secara utuh.
Meski begitu, sebanyak 71,8 persen responden perempuan punya bias dengan menganggap dirinya perempuan secara natural memang dilahirkan untuk menjadi perawat. Temuan ini, kata Putu Monica, cukup mengkhawatirkan. Namun, ia memahami, bias itu muncul karena konstruksi publik yang memang membebankan kerja perawatan dan domestik hanya pada perempuan saja.
“Yang menjadi concern sebenarnya adalah ketika internalisasi ini dijadikan pembenaran atas peminggiran yang dialami perempuan. Perempuan bisa kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja,” jelas Putu dalam sesi pemaparan hasil penelitian.
Baca juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim
Minimnya Akses Penitipan Anak
Berkaitan dengan peran gender konvensional terkait tanggung jawab pengasuhan, akses ke Tempat Penitipan Anak (TPA) juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Tujuannya agar perempuan dapat terlibat lebih banyak dan setara dalam angkatan kerja.
Dari penelitian ini ditemukan, sekitar 59 persen responden tidak memiliki akses ke TPA yang dapat diandalkan dan terjangkau di sekitar rumah mereka. Karena tidak bisa diandalkan dan kurang terjangkau, 46 persen responden kurang percaya pada TPA yang ada. Sebaliknya, mereka menganggap pengasuhan anak oleh kakek neneknya justru lebih baik dan tanpa biaya.
“Saya tidak mengetahui keberadaan TPA. Saya juga tidak akan mempercayainya meskipun saya tahu. TPA tidak memiliki orang khusus yang menjaga anak-anak saya, seperti keluarga kami sendiri,” jelas pekerja rumahan di Medan.
Karier Mandek
Temuan lain terkait tantangan yang perlu dihadapi perempuan pekerja informal adalah kurangnya kesempatan pengembangan karier. Studi ini menemukan, sebanyak 48 persen responden merasa tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan promosi. Mereka juga mengeluhkan ketidakjelasan jenjang karier yang harus dihadapi. Hal ini membuat perempuan sering kali terjebak dalam kerja-kerja berat tanpa upah yang setimpal.
Untuk mengatasinya, beberapa responden mengaku melakukan upskilling kemampuan secara mandiri. Seperti C, perempuan pekerja lepas dari Jawa Barat. Ia mengaku perlu berupaya lebih untuk meningkatkan kemampuannya dengan mengikuti komunitas dan berlatih sendiri.
“Sebagai penata rias, saya harus melatih keterampilan saya dengan trend dan model baru. Untuk itu, Saya bergabung dengan asosiasi penyandang disabilitas dan mengakses peluang pelatihan untuk melatih penyandang disabilitas sebagai penata rias,” tutur C.
Rendahnya kesempatan pengembangan karier juga diperparah dengan situasi beberapa sektor pekerjaan informal yang masih dilakukan secara luring. Mereka yang bekerja di sektor ini cenderung sulit melakukan proses pengembangan karier karena keterbatasan waktu yang dimiliki.