December 5, 2025
Issues

Hari Kesaktian Pancasila: Sejarah, Kontroversi, dan Makna 1 Oktober

Sejarah Hari Kesaktian Pancasila tidak tunggal. Generasi hari ini harus mengingatnya dengan cara berbeda.

  • October 2, 2025
  • 6 min read
  • 650 Views
Hari Kesaktian Pancasila: Sejarah, Kontroversi, dan Makna 1 Oktober

Setiap 1 Oktober, negara memperingati Hari Kesaktian Pancasila, sebagai pengingat atas tragedi besar di masa lalu. Peringatan ini terkait langsung dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), sebuah upaya kudeta berdarah yang menewaskan beberapa perwira TNI AD dan kemudian mengubah arah politik Indonesia secara dramatis.

Tapi, penting diingat: sejarah tahun 1965 bukanlah satu narasi tunggal yang baku. Dikutip dari Djuanda University, Mengenang Sejarah Kelam G 30-S/PKI, ada banyak versi dan interpretasi yang bersinggungan, narasi resmi dari era Orde Baru, catatan-catatan baru dari akademisi, hingga kritik dari sejarawan kontemporer. Beberapa pihak melihat Hari Kesaktian Pancasila sebagai simbol tegaknya Pancasila di tengah ancaman ideologi lain, sementara yang lain berpendapat bahwa narasi resmi perlu diperiksa ulang agar tampil lebih obyektif.

Walau ada perdebatan, tanggal 1 Oktober tetap dijadikan momen refleksi nasional. Bagi banyak orang, hari itu bukan semata untuk mengenang masa lalu, melainkan sebagai pengingat bahwa persatuan lebih penting ketimbang perbedaan, baik ideologi, agama, atau budaya. Pancasila dijadikan simbol konsensus bersama; meski cara memaknainya bisa sangat variatif.

Di zaman sekarang, ketika masyarakat makin terbuka terhadap berbagai pandangan sejarah, Hari Kesaktian Pancasila bisa jadi ruang dialog yang produktif. Bukan hanya menerima versi tunggal, melainkan membuka ruang untuk memahami kompleksitas masa lalu agar tragedi serupa tak terulang, dalam bentuk baru sekalipun.

Baca Juga: 55 Tahun Impunitas Membawa Mundur Indonesia sejak Tragedi 1965

Latar Belakang Hari Kesaktian Pancasila

Agar kita tahu kenapa 1 Oktober akhirnya jadi Hari Kesaktian Pancasila, bukan sekadar tanggal simbolis, kita harus menyusuri sejarah dan situasi politik-sosial Indonesia di dekade 1960-an. Itu masa turbulen: baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada konflik internal, tekanan ideologi, dan krisis ekonomi.

Sejarah Sebelum G30S/PKI

Memasuki awal 1960-an, suasana politik Indonesia benar-benar kompleks. Negara baru saja keluar dari masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, tapi langsung dihadapkan pada tarik-menarik kepentingan ideologi besar: nasionalis, agama, dan komunis.

Dikutip dari Jacobin, The Indonesian Counter-Revolution, pada periode ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang sangat pesat, bahkan mengklaim punya jutaan anggota, dan disebut sebagai salah satu partai komunis terbesar di dunia di luar Tiongkok dan Uni Soviet.

Di sisi lain, Angkatan Darat (AD) menjadi kekuatan politik dan keamanan yang sangat dominan. Persaingan antara PKI dan militer inilah yang kerap dianggap sebagai salah satu pemicu utama ketegangan ideologis di dalam negeri.

Situasi ekonomi saat itu juga tidak kalah genting. Dikutip dari Liputan 6, Inflasi yang Pernah Terjadi di Indonesia, Begini Sejarahnya dari Awal Kemerdekaan hingga Kini, inflasi melambung hingga mencapai lebih dari 600 persen pada 1965, membuat harga kebutuhan pokok sulit dijangkau rakyat.

Kondisi ini bukan hanya melemahkan daya beli masyarakat, tapi juga memperparah polarisasi sosial yang sudah rapuh akibat konflik politik. Masih dari Liputan 6, tingginya inflasi dipicu oleh pembiayaan politik luar negeri seperti Konfrontasi Malaysia, ditambah pencetakan uang besar-besaran tanpa kontrol yang efektif.

Politik Orde Lama dan Gagasan Nasakom

Dalam upaya meredam ketegangan itu, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Gagasannya sederhana: tiga kekuatan besar harus diakomodasi bersama dalam panggung politik nasional. Namun, dalam praktiknya konsep ini justru menimbulkan kecurigaan dan konflik tersembunyi di antara kelompok yang merasa saling mengancam.

Kedekatan PKI dengan Soekarno membuat Angkatan Darat semakin khawatir akan dominasi ideologi komunis di pemerintahan. Ketegangan antara kedua kubu ini akhirnya mencapai puncaknya pada Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), sebuah peristiwa berdarah yang menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia.

Dikutip dari Tirto, Dampak Nasakom ala Sukarno terhadap Politik di Indonesia dan PKI, sistem Demokrasi Terpimpin dan Nasakom memang memperkuat posisi Soekarno, tapi sekaligus memperuncing pertentangan antara militer dan PKI.

Baca Juga: ‘Sowan’: Film Pendek sebagai Perawat Ingatan Tragedi 65

Dari Mana Munculnya Istilah “Kesaktian Pancasila”?

Setelah tragedi G30S/PKI, rezim Orde Baru membentuk narasi bahwa Pancasila “diselamatkan” dari upaya kudeta ideologi komunis. Dari situ lah istilah Kesaktian Pancasila dilekatkan pada tanggal 1 Oktober sebagai simbol bahwa dasar negara ini berhasil bertahan di tengah ancaman ekstrem.

Dikutp dari Geotimes, Kesaktian Pancasila dan Politik Memori, namun, sejumlah sejarawan mempertanyakan bahwa istilah itu lebih berkaitan dengan kebutuhan politik Orde Baru untuk memperkuat legitimasi mereka. Narasi resmi tentang “penyelamatan Pancasila” dianggap sebagai bagian dari politik memori yang sengaja dibangun agar kekuasaan Orde Baru tampak sebagai “penyelamat bangsa”.

Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 kemudian menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang dirayakan secara nasional, meskipun bukan sebagai hari libur resmi.

Kontroversi dan Polemik Seputar Hari Kesaktian Pancasila

Walau setiap tahun diperingati secara resmi, Hari Kesaktian Pancasila tak luput dari kritik dan kontroversi. Bagi sebagian orang, peringatan ini penting sebagai penguat komitmen terhadap Pancasila. Tapi bagi kelompok lain, dalam praktiknya banyak muatan politik yang diselipkan, terutama lewat narasi Orde Baru yang mengaitkan peristiwa G30S/PKI dengan “ancaman terhadap Pancasila”.

Namun pasca reformasi 1998, narasi semacam itu mulai dipertanyakan. Dikutip dari Universitas Gajah Mada, PSP UGM Usulkan Penulisan Ulang Sejarah Gerakan 30 September, para sejarawan dan peneliti mengungkap bahwa peristiwa 1965 jauh lebih kompleks: bukan semata “PKI melawan negara,” tetapi melibatkan konflik internal militer, perebutan kekuasaan, serta konteks geopolitik Perang Dingin.

Makna “Kesaktian” yang Dipersoalkan

Istilah “kesaktian” sendiri turut memicu perdebatan. Sebagian pihak menganggap kata ini terlalu mistis, seolah Pancasila punya kekuatan magis yang menyelamatkan bangsa. Istilah ini juga dipandang sebagai alat legitimasi politik: Pancasila diklaim sebagai heroik, Orde Baru sebagai penyelamat.

Di sisi lain, ada yang berpendapat istilah “kesaktian” bisa dipahami simbolis, bahwa Pancasila harus tetap kokoh ketika diterpa konflik sejarah.

Polemik Korban dan Keadilan 1965

Peringatan 1 Oktober sering menyoroti para jenderal TNI AD yang menjadi korban G30S/PKI sebagai “pahlawan revolusi”. Tapi sayangnya, narasi ini hampir tidak memunculkan memori korban lain, yaitu ratusan ribu orang yang dituduh anggota atau simpatisan PKI, lalu ditahan, disiksa, bahkan dibunuh tanpa proses hukum.

Dikutip dari Jurnal UGM, Rekonsiliasi dan Keadilan bagi Korban Tragedi, menurut hasil penelitian, angka korban pembunuhan massal tahun 1965–1966 berkisar antara ratusan ribu hingga lebih dari satu juta jiwa, tergantung metodologi dan sumber penelitian.

Karena itu, banyak keluarga korban merasa suaranya tidak diposisikan dalam narasi resmi. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila dianggap terlalu terpaku pada sudut pandang militer dan negara, tanpa menyentuh memori kolektif seluruh korban.

Baca Juga: 5 Hal Seputar Peristiwa 1965 yang Sungkan Kamu Tanyakan

Perspektif Baru: Pandangan Sejarawan dan Generasi Muda

Seiring arus keterbukaan informasi, generasi muda kini mulai menjelajahi berbagai perspektif sejarah tentang 1965. Buku, riset, dan dokumenter menghadirkan kisah terpinggirkan, korban lokal, perempuan yang disiksa, hingga aktor pelaku yang tidak selalu “PKI semata”.

Tanggal 1 Oktober mestinya menjadi pengingat bahwa sejarah perlu dibaca dengan jujur, bukan dipersoalkan untuk menguatkan citra penguasa, melainkan sebagai landasan refleksi dan rekonsiliasi.

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.