Issues

Yang Hilang Jika Twitter Benar-benar Bubar

Dari testimoni saksi mata yang berharga hingga data mentah perilaku manusia, maupun wadah bagi akun-akun troll.

Avatar
  • December 8, 2022
  • 5 min read
  • 125 Views
Yang Hilang Jika Twitter Benar-benar Bubar

Tahukah kamu persamaan antara peneliti keamanan siber yang membangun sistem deteksi kerentanan dan ancaman digital, pengamat yang melacak persebaran kebakaran hutan, serta tenaga kesehatan profesional yang berupaya memprediksi angka pendaftaran asuransi kesehatan?

Ketiganya mengandalkan data dari Twitter.

 

 

Twitter adalah layanan ‘mikroblog’. Artinya, ia didesain untuk membagikan unggahan berisi teks, audio, dan klip video yang pendek-pendek. Kemudahan berbagi informasi dengan jutaan orang lain di seluruh dunia membuat Twitter sangat populer untuk percakapan langsung (real-time).

Entah itu individu yang mencuit tentang tim olahraga favoritnya, ataupun organisasi dan figur publik yang memakai Twitter untuk meraih audiens yang lebih luas, platform ini telah berkembang menjadi bagian dari catatan kolektif manusia selama satu dekade lebih.

Arsip Twitter memberikan kita akses lengkap dan instan untuk setiap cuitan publik. Ini memposisikan Twitter tak hanya sebagai arsip perilaku manusia secara kolektif tapi juga layanan pengecekan fakta dan kredensial di tingkat global.

Sebagai peneliti yang mempelajari media sosial, saya percaya bahwa fungsi-fungsi ini sangat berharga bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan siapa pun yang memakai data agregat untuk mendapat wawasan tentang perilaku manusia.

Menjamurnya modus penipuan dan peniruan merek (brand impersonation) atau perusahaan, hengkangnya banyak pengiklan, hingga kekacauan di internal perusahaan membuat banyak orang mempertanyakan masa depan platform tersebut. Jika Twitter bangkrut, kehilangan yang ditimbulkan akan sangat terasa di seluruh dunia.

Baca juga: Gaya ‘Hardcore’ Elon Musk di Twitter: Enggak Perlu, Banyak Ruginya

Analisis Perilaku Manusia

Dengan koleksi cuitannya yang luar biasa besar, Twitter menyajikan cara-cara baru untuk mengukur diskursus publik secara kuantitatif, alat-alat baru untuk memetakan persepsi publik, serta menawarkan jendela untuk memahami perilaku manusia secara makro.

Jejak atau catatan digital tentang aktivitas manusia semacam ini mengizinkan peneliti di berbagai bidang, dari ilmu sosial hingga kesehatan, untuk menganalisis beragam fenomena.

Lewat kecerdasan terbuka (open source intelligence) sampai sains masyarakat (citizen science), Twitter tak hanya berperan sebagai “alun-alun digital” (digital public square), tapi juga memfasilitasi riset untuk memahami perilaku yang sulit dideteksi dengan metode-metode penelitian tradisional.

Sebagai contoh, kesediaan orang membayar untuk kebijakan atau layanan yang bertujuan melawan krisis iklim selama ini banyak diukur melalui survei. Data sentimen pubik di Twitter membekali peneliti dan pembuat kebijakan dengan alat-alat baru untuk mengevaluasi perilaku ini demi merancang aksi iklim yang lebih baik.

Para peneliti kesehatan publik bahkan telah menemukan hubungan antara mencuit tentang HIV dengan prevalensi HIV. Mereka bisa mengukur sentimen di tingkat lokal (neighborhood) untuk memahami kondisi kesehatan secara umum di daerah tersebut.

Tempat dan Waktu

Data dari Twitter yang memuat penandaan geografis (geotagged data) sangat bermanfaat dalam beragam bidang, termasuk penggunaan lahan urban dan ketahanan bencana. Kemampuan untuk mengidentidikasi lokasi dari serangkaian cuitan juga membantu peneliti untuk menghubungkan informasi dalam suatu cuitan dengan tempat dan waktu.

Misalnya, peneliti bisa mengkorelasi cuitan dengan kode pos untuk mengidentifikasi titik-titik konsentrasi orang-orang meragukan vaksin.

Twitter selama ini sangat berharga dalam bidang kecerdasan terbuka (open source intelligence atau OSINT), terutama untuk melacak kejahatan perang. OSINT menggunakan crowdsourcing (urun daya) untuk mengidentifikasi lokasi diambilnya suatu foto atau video.

Di Ukraina, penyelidik HAM telah memakai Twitter dan TikTok untuk mencari bukti pelanggaran.

Open source intelligence juga terbukti berguna dalam mengungkap kondisi medan perang. Misalnya, analis OSINT begitu cepat menemukan bukti bahwa misil yang meledak di Przewodow, Polandia dekat perbatasan Ukraina pada November 15 lalu, kemungkinan merupakan rudal antipesawat S-300 dan kemungkinan bukanlah rudal yang ditembakkan Rusia.

Baca juga: Ramai-ramai Tinggalkan Twitter Era Elon Musk, Memang Semudah itu?

Pengujian Kredensial dan Verifikasi

Meski misinformasi beredar luas di Twitter, platform tersebut juga berperan sebagai mekanisme verifikasi global.

Pertama, banyak orang merupakan pengguna Twitter maupun platform media sosial lain. Melalui crowdsourcing yang cukup jelas, media sosial berupaya mengambil peran sebagai penyaji informasi yang otoritatif dan mengurangi ketidakjelasan yang dihadapi orang ketika mencari informasi baru. Para platform ini melakukan fungsi pengujian kredensial yang beberapa ahli sebut sebagai “algoritma relevansi publik” – mereka seakan telah menggantikan peran keahlian teknis atau bisnis dalam mengidentifikasi apa yang perlu orang ketahui.

Twitter juga melakukan pengujian kredensial secara resmi. Sebelum pengambilalihan oleh Elon Musk, mekanisme verifikasi Twitter memberi tanda centang biru di profil figur publik. Ini berperan sebagai cara mudah untuk menentukan apakah suatu cuitan benar-benar berasal dari seseorang atau suatu organisasi, atau bukan.

Meski masalah seperti berita palsu, misinformasi, dan ujaran kebencian memang nyata adanya, kemampuan pengujian kredensial ditambah dengan banyaknya orang yang memakai platform ini secara real-time membuat Twitter sebagai pengecek fakta dan penyaji informasi yang relatif kredibel.

Alun-alun Digital

Peran ganda Twitter dalam membangun komunikasi langsung dan bertindak sebagai wasit informasi otoritatif, sangatlah penting bagi akademisi, jurnalis, dan lembaga pemerintah.

Selama pandemi, misalnya, banyak lembaga kesehatan publik mengandalkan Twitter untuk mempromosikan perilaku yang memitigasi risiko penularan.

Kala terjadi bencana alam atau situasi darurat lain, Twitter menjadi arena yang penting untuk mengumpulkan data saksi mata dari publik. Pada saat Badai Harvey di AS, misalnya, peneliti menemukan bahwa pengguna merespons dan berinteraksi paling banyak dengan cuitan dari akun Twitter ‘centang biru’ (terverifikasi), terutama lembaga pemerintah.

Akun Twitter resmi juga membantu dalam penyebaran informasi secara cepat ketika terjadi krisis kontaminasi air di West Virginia, AS. Data Twitter pun bermanfaat dalam proses evakuasi ketika badai.

Tak hanya itu, Twitter telah menjadi cara penting bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.

Nilai nyata Twitter adalah memberdayakan orang untuk terhubung dengan satu sama lain secara real-time dan sebagai arsip perilaku kolektif.

Berbagai organisasi internasional, lembaga pemerintah, dan pemerintah lokal pun memahami ini. Mereka telah menginvestasikan sumber daya secara signifikan di Twitter dan kini mengandalkan platform tersebut. Edwar Markey, seorang anggota senat AS, bahkan mengatakan bahwa Twitter “esensial” bagi masyarakat Amerika.

Jika Twitter berujung kolaps, untuk saat ini belum ada calon pengganti yang jelas.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Anjana Susarla