December 5, 2025
Lifestyle Opini

Rawat Hari, Bukan Kejar Hasil: Pelajaran Produktivitas dari Keluarga Amerika

Refleksi hangat dari Amerika tentang bagaimana aktivitas hobi bisa jadi bentuk produktivitas yang bermakna tanpa harus menghasilkan sesuatu.

  • November 5, 2025
  • 5 min read
  • 691 Views
Rawat Hari, Bukan Kejar Hasil: Pelajaran Produktivitas dari Keluarga Amerika

Perjalanan lima jam dari Richmond, Indiana, menuju negara bagian Illinois saat itu terasa menyenangkan. Dari jendela mobil, pemandangan terus berganti, dari pohon-pohon musim gugur yang mulai meranggas, ladang kosong, dan langit yang pelan-pelan memutih karena musim dingin mulai datang. Beberapa kali kami disalip oleh monster truck yang bentuknya buat saya tampak lucu.

Saya duduk diam, menikmati perjalanan bersama keluarga besar kenalan saya, Nenek Lynn. Tanpa sadar, saya belajar banyak tentang cara mereka memaknai produktivitas.

Pagi sebelum berangkat, saya mendapati Ibu Diane sudah duduk di ruang makan, melanjutkan menyusun puzzle besar berukuran hampir satu meja penuh. Tangannya lincah, matanya fokus, dan ia tersenyum saat setiap kepingan berhasil dipasangkan. Di mobil, ia juga sibuk main game di ponsel, seperti tidak bisa diam begitu saja. Sementara anaknya, di kursi belakang, asyik membaca buku tebal. Saya jadi teringat rak buku besar di ruang bawah tanah rumah mereka, setinggi dan sepanjang satu dinding.

Baca Juga: Sibuk Jadi Dewasa, Tak Ada Salahnya Lakukan Hobi Masa Kecilmu

Pak Thomas, suami Ibu Diane, terlihat lebih santai. Sepanjang jalan, ia asyik bercerita tentang asal-usul keluarganya yang sebagian besar dari Jerman. Pak Thomas punya hobi mengoleksi segala sesuatu bertema bebek, dari lukisan, patung, hingga gelas bebek yang dipajang di ruang tamu. Ia tak hanya suka mengumpulkan barang tersebut, tapi mengingat setiap barang—asalnya dari mana, siapa yang memberi, dan tahun berapa ia mendapatkannya.

Saya jadi teringat tulisan sosiolog Robert Stebbins (2001) tentang serious leisure, bahwa kegiatan sederhana bisa menjadi ekspresi identitas ketika dijalani dengan penuh makna. Mungkin begitulah Pak Thomas merawat dirinya, melalui bebek-bebek kecil yang ia cintai.

Sesampainya di rumah Nenek Lynn, kami disambut dua saudara Ibu Diane. Keduanya veteran perang. Salah satunya kehilangan kaki di Irak dan kini menggunakan kaki prostetik. Saya mendengarkan ceritanya dengan campuran kagum dan ngeri. Perang yang selama ini hanya terdengar di berita, kini ada di depan saya dari seorang saksi mata. Tante Lyene memotong cerita dengan bercanda agar suasanya tidak terlalu menegangkan. Ibu Diane menimpali bahwa menjadi guru, seperti saya, adalah pilihannya karena ia tak sanggup angkat senjata dan membunuh orang. Mereka tahu caranya menjaga perasaan satu sama lain tanpa harus menjadi terlalu sentimental.

Masuk ke rumah Nenek Lynn seperti mengunjungi museum kecil. Di sofa, boneka-boneka tua berderet duduk rapi. Dalam dua lemari besar, ada boneka pembawa susu dari Belanda, pengawal kerajaan Inggris, sampai boneka kecil berpakaian Jepang. Di jendela, boneka tengkorak sisa Halloween masih tergantung. Di ruang bawah tanah, dua meja besar dihiasi miniatur rumah. Katanya, itu proyek Nenek Lynn untuk memetakan lingkungan sekitarnya. Saya cuma bisa kagum. Ternyata hobi juga bisa berarti menjaga kenangan.

Baca Juga: 5 Tips Agar Enggak ‘Awkward’ Saat Liburan bareng Keluarga Besar

Menjelang malam, Nenek Lynn mengajarkan kami bermain board game Yatzee. Tapi akhirnya saya menyerah karena aturannya agak rumit, dan beralih ke permainan lain, Qwirkle. Nenek Lynn main dengan semangat, matanya masih awas, dan otaknya menghitung dengan cepat. Menurut para ilmuwan, permainan semacam ini memang bisa membantu ketajaman otak terutama pada usia lanjut. Tapi lebih dari itu, ia tetap aktif dan terlibat dalam kehidupan keluarga. Tidak hanya pasif menonton televisi, tapi terus menjaga interaksi sosial. Dan itu bentuk produktivitas juga.

Malam ditutup dengan Zhadian Christmas, semacam pesta Natal kecil yang terlambat karena sudah lewat tanggal 25. Semua tante dan om, sebagian besar veteran, ikut bermain Rob Your Neighbour. Intinya, setiap orang mengambil kado secara acak, tapi bisa direbut orang lain kalau angka dadu yang dilempar bagus. Permainan ini mengundang gelak tawa, teriakan, dan candaan. Mungkin inilah sebabnya kenapa mereka terlihat bahagia: mereka tahu cara menikmati waktu bersama.

Saya mulai memahami sesuatu. Ketika urusan perut bukan lagi masalah utama, orang-orang bisa fokus pada hal lain, yaitu hobi dan kebersamaan keluarga. Pak kembali bercerita soal kastil tua bernama Castle Lynn di Jerman, tempat asal keluarganya. Kastil itu kosong tapi masih berdiri. Bagi mereka, itu simbol asal-usul dan kesinambungan. Mereka merawat cerita tentang diri mereka sendiri, dengan penuh rasa bangga.

Baca Juga: Dibesarkan Keluarga yang Menjunjung Kesetaraan, Saya Sadar Tak Semua Perempuan Punya Hak Memilih

Saya jadi teringat keluarga saya di Indonesia. Dulu, Ibu suka sekali mengoleksi keramik dan menyulam di waktu senggang. Ayah gemar membuat perabot, termasuk meja makan oval di rumah Nenek yang masih ada dan kokoh sampai sekarang. Tapi lama-lama, semua kebiasaan itu hilang. Kami sibuk bekerja, sibuk mengejar waktu, dan mungkin juga lupa caranya menikmati sesuatu tanpa tujuan ekonomi di belakangnya. Saya merasa kontras sekali dengan keluarga di sini yang selalu punya kegiatan kecil untuk mengisi hari-hari mereka.

Mungkin produktivitas sejati bukan soal berapa banyak yang bisa dikerjakan dalam sehari. Tapi tentang bagaimana kita memelihara kebiasaan yang membuat hidup terasa berarti. Dalam keluarga Lynn, produktivitas hadir dalam bentuk yang sederhana: membaca, bermain, mengoleksi, bercerita. Semuanya dilakukan dengan konsisten dan suka cita. Saya ingin belajar hal itu. Bukan agar hidup terasa sibuk, tapi supaya setiap kegiatan punya makna untuk dikenang.

Sitti Maryam adalah ASN yang selalu meluangkan diri menulis isi pikiran agar tidak dipendam sendiri.

About Author

Sitti Maryam