Ibu Bekerja dan Kelelahan Digital: Saat Notifikasi Menghapus Jeda
Menjadi ibu bekerja sering terasa seperti hidup di dua layar sekaligus: satu untuk kantor, satu untuk rumah. Tubuh mungkin duduk di meja kerja, tapi pikiran sudah menghitung kebutuhan anak, jadwal sekolah, atau stok di dapur. Kondisi ini kerap disebut “kehadiran terpisah”: fisik ada di satu tempat, mental sudah pindah ke tempat lain. Konsepnya dekat dengan psychological detachment yang dikenalkan Etzion, Eden & Lapidot (1998) dan banyak dibahas Sabine Sonnentag—kemampuan untuk benar-benar “lepas” dari urusan kerja ketika waktunya istirahat. Masalahnya, di era digital, “lepas” itu makin sulit.
Teknologi yang seharusnya memudahkan, sering justru menghapus jeda. Notifikasi membuat kita selalu bisa dihubungi dan pelan-pelan muncul ekspektasi bahwa kita memang harus selalu siap. Ibu bekerja akhirnya terjebak tuntutan untuk hadir penuh di rumah dan kantor, padahal mustahil seratus persen berada di dua tempat sekaligus.
Kelelahan itu biasanya tidak datang sebagai satu ledakan besar. Ia hadir pelan-pelan, dari kebiasaan membalas pesan sambil memasak, dari rapat yang masih terbayang saat menemani anak tidur, dari rasa bersalah yang muncul entah ke mana pun kita menghadap. Ada hari-hari ketika kita merasa sudah bekerja keras, tapi tetap terasa kurang. Di kantor kurang fokus, di rumah kurang hadir. Di titik itulah banyak ibu mulai menyadar, ini bukan sekadar capek fisik tapi capek yang menempel di kepala.
Di baliknya ada dua sumber lelah yang paling sering bekerja: pergantian peran yang cepat dan budaya always-on.
Baca juga: Kalau Istri Bisa Segalanya, Tugas Suami Apa?
Pergantian peran yang menguras kepala dan hati
Istilah code switching awalnya merujuk pada peralihan bahasa. Dalam kehidupan ibu bekerja, maknanya melebar: berganti gaya bicara, cara bersikap, bahkan cara “menjadi diri” sesuai ruang yang sedang dihadapi. Di kantor, perempuan (termasuk ibu) sering dituntut tampil tegas, analitis, cepat, dan berorientasi target sebagai cara menunjukkan kompetensi. Begitu pulang, ia diharapkan langsung berubah menjadi sosok yang hangat, empatik, responsif, dan sabar menghadapi emosi keluarga.
Pergantian identitas yang nyaris tanpa transisi ini menguras energi kognitif. Rasanya seperti menekan tombol “mode kerja” dan “mode rumah” berkali-kali dalam sehari, kadang dalam hitungan menit. Dampaknya bisa sampai ke inti diri: memakai “suara kerja” atau persona profesional membuat sebagian perempuan merasa tidak otentik.
Survei Preply yang diberitakan lewat StudyFinds (2025) menyebut sekitar sepertiga perempuan merasa tidak menjadi diri sendiri saat memakai persona profesional, dan satu dari empat merasa hal itu menguras emosi. Menariknya, peralihan ini juga tidak selalu terjadi secara sadar.
Penelitian Liu (2023) dari University of Oxford menemukan bahwa emosi negatif akibat konflik kerja-keluarga dapat memicu lebih banyak code switching. Artinya, semakin stres, semakin sering kita “berganti mode”, dan semakin cepat baterai mental terkuras.
Di balik pergantian peran itu, ada pekerjaan lain yang sering tak terlihat: cognitive household labor atau beban kognitif rumah tangga. Ini bukan tugas fisik seperti mencuci atau memasak, melainkan kerja mental yang terus menyala: merencanakan, mengorganisir, mengingat, memastikan, dan mengantisipasi. Bahkan ketika ibu sedang bekerja di kantor, daftar ini tetap berjalan di kepalanya.
Riset dari tim University of Southern California yang dikutip News-Medical menyebut rata-rata ibu menanggung sekitar 73 persen beban kognitif rumah tangga. Tidak heran kalau kelelahan terasa “aneh”. Badan ada di satu tempat, tapi kepala seperti tidak pernah benar-benar berhenti. Dan ketika pergantian peran terjadi di atas beban mental yang sudah penuh, hasilnya mudah ditebak—stres kronis, mudah tersulut, cepat lelah, dan merasa gagal meski sudah melakukan banyak hal.
Baca juga: Beban Perempuan-Pekerja-Urban dan Pertanyaan ‘Yakin Nikah’?
Always-on: saat notifikasi merobek batas dan memicu burnout
Sumber kelelahan berikutnya adalah hiperkonektivitas. Teknologi seluler membuat batas kerja-rumah makin gampang ditembus. Email malam hari, pesan mendadak, grup kerja yang aktif di luar jam kantor—semuanya bisa masuk ke ruang keluarga tanpa permisi. Di sisi lain, urusan rumah juga menyusup ke jam kerja: chat dari sekolah, jadwal dokter, kebutuhan rumah yang harus dibereskan. Akhirnya, ibu bekerja melakukan strategi “menggabungkan” dua peran di tempat yang sama: membalas pesan kantor sambil menenangkan anak, menyusun laporan sambil mengingatkan PR, rapat sambil memikirkan makan malam.
Strategi ini sangat melelahkan karena menuntut pergantian fokus yang cepat dan berulang. Dalam jangka panjang, tekanan untuk selalu responsif—ditambah intensitas penggunaan perangkat—muncul sebagai kelelahan digital: lelah mental dan fisik yang rasanya tidak selesai-selesai. Bahkan saat badan sudah pulang, otak masih memantau layar—seolah kalau tidak cepat merespons, sesuatu akan berantakan.
Dampaknya juga tercermin pada kesehatan mental. Survei CVS/Harris Poll (2022–2023) menunjukkan 42 persen ibu bekerja mengalami kecemasan dan/atau depresi, hampir dua kali lipat dibanding populasi umum (28%). Studi Motherly (2021) melaporkan 93 persen ibu merasa mengalami burnout. Efeknya tidak berhenti pada ibu. Konflik kerja-keluarga yang tinggi berhubungan dengan perubahan gaya pengasuhan. Ketika energi habis, ibu bisa lebih mudah jatuh ke pola yang terlalu keras atau terlalu longgar, bukan karena tidak sayang, tapi karena tidak ada ruang untuk pulih.
Karena itu, mitos paling berbahaya adalah keyakinan bahwa “keseimbangan sempurna” itu realistis, dan bahwa ibu yang baik harus bisa menanggung semuanya tanpa kelihatan goyah. Mengejar kesempurnaan di dua ranah justru mempercepat kelelahan. Solusinya bukan “lebih kuat”, tetapi “lebih jelas”, dengan membangun batas yang sehat supaya inti diri tetap terjaga di balik label peran ganda (identity centrality).
Langkahnya bisa sederhana, tapi perlu konsisten. Aktifkan Do Not Disturb saat jam kerja atau saat bersama keluarga. Tetapkan jam bebas kerja, misalnya tanpa email/telepon setelah pukul 18.00, dan pisahkan ruang kerja dari ruang keluarga jika memungkinkan agar peran tidak bercampur setiap menit. Beban mental juga perlu dibagi lewat komunikasi yang konkret dengan pasangan. Bukan hanya “bantu ya”, tapi pembagian tanggung jawab yang jelas, termasuk urusan “mengingat dan merencanakan”, bukan sekadar “mengerjakan”.
Terakhir, dukungan tempat kerja bukanlah bonus. Fleksibilitas jadwal, budaya komunikasi yang menghormati jam pulang, dan ekspektasi respons yang manusiawi akan sangat menentukan. Kemampuan ibu untuk berganti peran dengan cepat memang kekuatan besar. Tapi kekuatan itu tidak boleh dibayar dengan kelelahan yang dipelihara diam-diam, setiap hari, lewat notifikasi yang tak pernah berhenti.















