Politics & Society

Identitas Perempuan dalam Sejarah Bangsa

Gerakan perempuan dan feminisme hari ini adalah hasil interaksi dan berbagai pertarungan politik.

Avatar
  • December 23, 2017
  • 6 min read
  • 910 Views
Identitas Perempuan dalam Sejarah Bangsa

“But first we must ask: what is a woman? ‘Tota mulier in utero’, says one, woman is womb.” –Simone De Beauvoir

Ketika Kongres Istri pertama diselenggarakan pada 22 Desember 1928, Soedjatien masih berusia 21 tahun dan masih lajang. Bersama-sama R.A. Soekonto dan Nyi Hadjar Dewantoro, mereka menjadi panitia penyelenggara Kongres yang terinspirasi dari Sumpah Pemuda yang berlangsung dua bulan sebelumnya. Tanggal diadakannya Kongres tersebut kemudian kita rayakan sampai sekarang sebagai Hari Ibu.

 

 

Menariknya, kata istri lebih populer digunakan dalam pergerakan organisasi dan penyebaran ide tentang bangsa Indonesia. Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang dibentuk setelah Kongres itu juga menggunakan kata istri, walaupun tidak semua dalam organisasi tersebut bersuami, seperti misalnya Soedjatien.

Penggunaan kata istri tidak lepas dari interaksi antara perempuan dan laki-laki pada masa itu yang didefinisikan melalui hubungan perkawinan. Akibatnya, isu-isu seputar perkawinan seperti perkawinan anak dan poligami menjadi topik panas untuk didiskusikan, di samping ketatnya pengawasan Hindia Belanda terhadap kongres dan organisasi politik yang menekankan soal nasionalisme kebangsaan. Topik perkawinan dan perempuan dianggap apolitis dan aman sehingga berbagai organisasi perempuan pada masa itu bisa leluasa bergerak dan membuat kongres.

Jika dilacak dengan seksama, penolakan organisasi perempuan terhadap ide tentang feminisme Barat dalam pidato-pidato dalam kongres bisa diartikan sebagai pembentukan sebuah bangsa yang menolak penjajahan (kolonialisme yang diwakili kulit putih Barat), dan oleh karena itu dalam Kongres Isteri 1928, tidak ada organisasi perempuan Belanda atau Tionghoa yang diundang.

Pada konteks penyebaran identitas kebangsaan, perempuan dilihat dari relasinya dengan lelaki melalui perkawinan, dan fungsi reproduksinya. Oleh karena itu, Kongres Istri dianggap aman dan sukses karena tidak bersifat politik dan mendukung wacana pergerakan nasional. Walaupun menggunakan kata ibu dan istri, bukan berarti pesertanya adalah perempuan yang telah menikah dan mempunyai anak. Kata istri didasarkan oleh identitas gender yang berlandaskan fungsi reproduksinya karena dalam konsepsi sebuah bangsa, perempuan sebagai identitas politik fungsinya terbatas pada reproduksi.

Gelombang Feminisme dalam Republik Indonesia

Ide tentang pembebasan perempuan sesungguhnya inheren dalam pembentukan kesadaran kebangsaan. Kesadaran perempuan sebagai sebuah identitas gender yang tertindas tidak bisa dipisahkan dari kesadaran negara-bangsa yang menjadi tren global di awal abad ke-20. Harus diakui bahwa feminisme dan kesadaran negara-bangsa adalah hasil dari pencerahan abad ke-18 di Eropa dan menemukan jalannya melalui politik etis yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-18. Interaksi Kartini dengan seorang feminis sosialis bernama Stella Zeehandelaar dan surat-suratnya menjadi menjadi buku wajib para founding father and mothers, dan kesadaran “keperempuanan” yang berasaskan kemanusiaan menjadi pencetus awal dari kesadaraan kebangsaan.

Pandangan mendua antara mengapresiasi perempuan sebagai identitas politik sekaligus membatasi perempuan hanya pada fungsi domestiknya barangkali menjadi pilihan Sukarno dalam menyikapi gerakan perempuan. Sukarno mendukung pergerakan perempuan Indonesia dengan catatan mendukung kemerdekaan bangsa terlebih dahulu. Pandangan proto-feminis seperti Sukarno ini umum sampai hari ini, di mana perempuan dilihat sebatas entitas politik yang hanya dilihat dari fungsinya sebagai simbol kesuburan dan reproduksi. Proto-feminisme bisa juga di sebut emansipasi karena gerakan perempuan belum bersifat nasionalis dan dianggap masih terbatas pada isu-isu sosial.

Saya membagi periodisasi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi proto-feminisme, feminisme, Ibuisme dan feminisme baru. Apabila proto-feminisme di Indonesia bisa dilihat melalui penggunaan kata istri dan definisi perjalanannya untuk membebaskan perempuan dari fungsi reproduksi (melahirkan, mendidik dan merawat) dalam sebuah bangsa, maka  kemunculan tokoh-tokoh pergerakan perempuan selanjutnya mencoba melakukan perubahan-perubahan yang sesuai dengan pergerakan global.

Feminisme dimulai ketika perempuan mulai masuk ke babak-babak politik dunia seperti akhir depresi besar dan perang dunia. Gerakan Istri Sedar dan PPII sejak 1930an semakin memasuki isu-isu politis khas Sosialisme seperti kondisi buruh dan perdagangan perempuan. Tuntutan-tuntutan kesetaraan yang dicapai melalui organisasi perempuan menghasilkan pemberantasan buta huruf terhadap perempuan dan kesempatan kerja bagi perempuan. Di bawah organisasi Kongres Wanita Indonesia (KWI) mengambil sikap politiknya seperti pada pembebasan Irian Barat, mendirikan koperasi hingga menjadi perwakilan untuk Konferensi Wanita Asia-Afrika. Di sini terlihat bagaimana gerakan perempuan semakin terintegrasi menjadi gerakan politik, meskipun di sisi lain juga ada tendensi Sukarno memanfaatkannya untuk kepentingan politik.

Sementara itu, Kongres Perempoean Indonesia III pada 1938 di Bandung menetapkan tanggal 22 Desember  sebagai Hari Ibu. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan Keputusan Presiden RI No. 316 tanggal 16 Desember 1959 menjadi Hari Nasional yang bukan hari libur.

Seiring dengan pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan pengaruh dari pemikiran Sosialisme yang marak pada 1940an, sebuah organisasi perempuan dengan topik yang lebih politis bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) hadir. Gerwani muncul di atas iming-iming kemerdekaan bangsa Sukarno yang mengkritik gerakan emansipasi perempuan yang semakin progresif.

Pendekatan esensialis khas proto-feminisme sesungguhnya tidak hilang tapi muncul juga pandangan mengenai ide-ide tentang buruh dan warga negara yang mulai membuka ide tentang keperempuanan sebagai konstruksi sosial. Hal ini ditandai oleh mulai didiskusikannya isu-isu seperti pemerkosaan dan hak politik perempuan, seperti tuntutan untuk mencabut undang-undang kolonial tentang pelarangan perempuan menduduki jabatan kepala desa.

Ibuisme dan Babak Baru Feminisme

Sayangnya, feminisme dipaksa mati ketika peralihan kekuasaan Orde Terpimpin Sukarno ke Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Pemberantasan komunisme yang merupakan “pesanan” dari negara-negara investor penyokong pasar bebas sekaligus membunuh gerakan feminisme dan pendekatan konstruktivis dalam keperempuanan. Perempuan ditarik kembali ke rumah dalam ideologi gender Ibuisme.

Penulis Julia Suryakusuma menyatakan bahwa Ibuisme dicirikan pertalian antara kapitalisme dan feodalisme yang terlihat dari beban ganda perempuan yang dipaksa untuk menjadi ibu dan tenaga kerja yang dibayar murah. Ideologi ibuisme disebarkan melalui perubahan makna Hari Ibu 22 Desember menjadi Mother’s Day dan Hari Kartini 21 April menjadi hari selebrasi beban ganda perempuan yang dibalut dengan budaya Jawa melalui hari berkebaya nasional. Kata-kata “ingat kodrat” dipopulerkan melalui kedua hari raya berbasis identitas gender ini. Berdirinya kementerian khusus urusan perempuan juga semata-mata untuk mengontrol populasi penduduk dan menjadi lembaga untuk mempertahankan ide esensialis tentang perempuan. Feminisme seperti layaknya Komunisme dan Sosialisme hanya bisa bernafas di ruang akademis kampus yang terbatas, melalui penyebaran diam-diam beberapa bacaan dan ajaran feminisme.

Feminisme baru yang lahir kembali berciri konstruktivis dan liberalis disebar perlahan melalui bacaan dan semangat melawan rezim. Angin pembebasan perempuan dan kebangkitan feminisme baru mulai menunjukkan geliatnya ketika kekuasaan Soeharto memasuki babak akhir pemerintahannya. Diawali oleh krisis ekonomi yang berdampak pada krisis politik hadir pemikir feminis yang menjadi aktivis yang giat untuk menurunkan kekuasaan Soeharto. Pasca reformasi, ide tentang pembebasan perempuan tidak lagi berlandaskan fungsi reproduksi dalam negara tetapi pada hak asasi manusia. Bahwa perempuan adalah manusia dan tidak didefinisikan berdasarkan jenis kelamin. Koalisi Perempuan Indonesia menjadi organisasi yang merumuskan gerakan feminis baru dan kebangkitan kembali feminisme pasca peristiwa reformasi. Berdirinya Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga membuka lebih luas definisi tentang perempuan bahwa sebuah identitas gender dan keperempuanan adalah bentukan sosial.

Kesimpulannya, gerakan perempuan dan feminisme hari ini adalah sebuah hasil dari interaksi dan berbagai pertarungan politik. Feminisme adalah bagian dari pergelutan Indonesia menjadi sebuah bangsa, dan definisi perempuan terlihat dinamis sesuai dengan konstelasi politik yang sedang berlangsung. Gerakan perempuan dan feminisme hari ini sudah memasuki era digital dan lebih dari sekedar alat analisis dan bagian dari kampanye. Feminisme adalah sebuah kesadaran kemanusiaan berbasis gender.


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *