Gender & Sexuality Issues

Di Balik Tuduhan Transgender pada Imane Khelif: Misoginis, Rasisme, dan Transfobia

Imane Khelif bukan yang pertama dituduh transgender. Berkat sistem gender warisan kolonial kulit putih, sudah banyak perempuan kulit berwarna jadi korbannya.

Avatar
  • August 12, 2024
  • 8 min read
  • 611 Views
Di Balik Tuduhan Transgender pada Imane Khelif: Misoginis, Rasisme, dan Transfobia

Imane Khelif, perempuan petinju asal Aljazair mendadak viral di dunia maya. Namanya terus disebut-sebut bukan karena prestasinya mengalahkan Angela Carini di cabor tinju putri kelas 66 kg Olimpiade Paris 2024. Melainkan karena dia jadi target misinformasi. Nama-nama besar seperti J.K Rowling hingga Elon Musk menuduh Khelif bukan seorang cis perempuan, melainkan transgender.

J.K Rowling yang punya pengikut lebih dari 14 juta pengikut di X melakukan transvestigasi alias menyelidiki dan menuduh seseorang sebagai transgender hanya lewat foto atau video. Ia juga mengunggah foto Khelif yang tengah menghibur Carini. Foto itu ditambahkan dengan keterangan misinformasi yang menuduh Khelif sebagai laki-laki.

 

 

“Senyuman seorang laki-laki yang tahu dia dilindungi oleh lembaga olahraga misoginis yang menikmati kesedihan seorang perempuan yang baru saja dipukulnya di kepala, dan impian hidupnya yang baru saja dihancurkan,” cuit penulis yang terkenal anti-trans itu.

Sedangkan, Elon Musk turut menyebarkan misinformasi ini melalui unggahan dari perenang Riley Gaines yang menyatakan bahwa laki-laki tidak memiliki tempat di olahraga perempuan. Musk menyetujui pernyataan tersebut dengan menulis, “Tentu saja.”

Transvestigasi terhadap Khelif semakin parah saat informasi bahwa Khelif tidak lulus tes jenis kelamin yang dilakukan Asosiasi Tinju Internasional (IBA) tersebar. IBA yang statusnya dicabut oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena korupsi menyatakan Khelif gagal dalam beberapa tes jenis kelamin. Dikutip langsung dari kanal websitenya, IBA menolak untuk merinci tes-tes ini, tetapi Khelif “terbukti memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan kompetitor perempuan lainnya”.

Bak bola api liar, misinformasi bahwa Khelif adalah transgender banyak disebarkan pengguna media sosial bahkan media lokal dan internasional. Khelif maupun IOC dapat kecaman hingga ada yang menggalang dana buat Carini yang dikatakan kalah oleh laki-laki. Menyusul misinformasi ini, IOC pun akhirnya buka suara.

“Agresi saat ini sepenuhnya didasarkan pada keputusan sewenang-wenang ini, yang diambil tanpa prosedur yang tepat mengingat para atlet ini telah berkompetisi di kompetisi tingkat atas selama bertahun-tahun,” kata pernyataan IOC.

Baca Juga: ‘Gender Equal Pay’ di Dunia Olahraga dan Kenapa Atlet Perempuan Dibayar Rendah?

Tes Jenis Kelamin yang Problematik

Walau secara resmi IOC sudah memberikan pernyataan, bola api yang yang sudah menyebar tak bisa begitu saja dipadamkan. Terlanjur termakan misinformasi, banyak orang masih mempertanyakan identitas Khelif dan tiba-tiba menjadi ahli kromosom. Mereka mendebat hasil tes IBA yang menyebut Khelif kelebihan kromosom Y (kromosom jenis kelamin laki-laki) dan menganggap itu alasan kuat untuk mengeluarkan sang petinju dari cabor tinju perempuan.

Perdebatan begini bukan hal baru dan telah jadi kontroversi di olahraga elite macam olimpiade. Biang keroknya tidak lain adalah tes jenis kelamin sebagai indikator kualifikasi.

Jaime Schultz, Profesor Kinesiologi dari Penn State dalam Regulating Bodies (2024) menyebut tes ini sebagai “kebijakan protektif”. Arsitek utama dari kebijakan ini adalah mantan pejabat di IOC dan Atletik Dunia yang mayoritas terdiri dari laki-laki kulit putih.

Awalnya tes jenis kelamin dirancang sebagai bagian dari usaha untuk melindungi semangat permainan yang adil, menjaga kesehatan dan kesejahteraan atlet, serta melindungi citra dan kepentingan olahraga. Kebijakan-kebijakan ini mencakup kebijakan yang mengatur doping dan peningkatan genetik, menetapkan batas usia dan kelas berat badan dan, dalam kasus Parasports (olahraga yang dimainkan oleh orang berkebutuhan khusus), menetapkan kelas-kelas untuk kompetisi.

Namun, di antara kebijakan lainnya tes jenis kelamin punya segudang masalah. Pada dasarnya kata Schultz sampai saat ini tidak ada cara yang pasti untuk menentukan jenis kelamin dan tidak ada konsensus mengenai sejauh mana perbedaan itu penting.

Dalam laporan Human Rights Watch pada 2020, tes awal kelayakan jenis kelamin dilakukan pada tahun 1940-an oleh otoritas olahraga untuk tujuan kelayakan bersifat informal dan ad hoc, tetapi pada tahun 1960-an, badan-badan pengatur olahraga seperti International Association of Athletics Federations (IAAF) dan IOC memulai tes jenis kelamin untuk semua atlet perempuan karena beredarnya rumor publik.

Baca Juga: “Pensiun” Buat Atlet: Cerita Lama yang Sering Diabaikan

Pada saat itu ada rumor yang beredar liar bahwa beberapa perempuan terlihat seperti laki-laki yang menyamar dan ini bisa mengakibatkan persaingan yang tidak sehat untuk perempuan cis. Untuk mengatasi rumor, badan-badan pengatur olahraga akhirnya mewajibkan tes jenis kelamin yang sistematis, dan terstandarisasi.

Tes jenis kelamin paling awal meliputi pemeriksaan genital/ginekologi wajib, yang disebut parade telanjang, dan penilaian karakteristik jenis kelamin sekunder seperti pola rambut. Di parade telanjang, atlet perempuan diminta menanggalkan seluruh pakaiannya untuk berdiri di depan panel dokter. Dari “pemeriksaan” ini, panel kemudian memutuskan apakah benar mereka perempuan atau laki-laki.

Setelah berjalan beberapa waktu, pemeriksaan alat kelamin visual kemudian diganti dengan metode tes jenis kelamin yang tidak terlalu traumatis dan merendahkan. Pada titik ini, tes kromosom mulai digunakan. IOC dan Atletik Dunia mengadopsi versi pengujian kromosom pada 1968. Di bawah metode ini, asalkan atlet perempuan punya kombinasi kromosom XX maka ia dinyatakan layak bertanding dan masuk cabor putri.

Schultz dalam tulisannya yang diterbitkan The Conversation bilang pada tahun 1980-an mulai ada keraguan tes kromosom buat atlet perempuan. Ini karena ternyata perempuan dapat memiliki pasangan kombinasi kromosom XY. Fakta ini membuat tes kromosom mulai dipertanyakan dan atlet yang dicurigai pun akhirnya diminta untuk mengikuti proses verifikasi gender yang beragam.

Baru pada sekitar tahun 2010, perbincangan di dunia olahraga internasional beralih ke tingkat testosteron alami. Yang dinilai pada tes ini adalah cara tubuh perempuan merespons testosteron tersebut dan diagnosis spesifik variasi interseks. Namun, lagi-lagi tes ini tidak pernah seratus persen bisa diandalkan. Mau bagaimana pun kata Schultz tidak ada patokan biner pasti dalam tubuh manusia yang bisa secara tepat mendefinisikan perempuan dan laki-laki.

Baca Juga: Kontroversi Pembukaan Olimpiade Paris 2024: ‘Queerphobia’ hingga Kritik ‘The Last Supper’

Misogini, Rasisme, dan Transphobia yang Lukai Atlet Perempuan

Tes jenis kelamin dan misinformasi yang dialami oleh Khelif bukan datang dari ruang kosong. Keduanya lahir dari belitan misogini, rasisme, dan transphobia yang menjangkiti masyarakat kita dan semua berakar dari satu hal. Sistem gender biner warisan kolonial bangsa kulit putih.

Maria Lugones, filsuf asal Argentina lewat tulisan terkenalnya Coloniality of Gender bilang kalau pemaknaan kita soal gender, siapa yang patut dianggap perempuan dan laki-laki sejati, dan siapa yang bukan berakar dari sistem gender biner yang lahir lewat kapitalisme Eurosentrisme. Kapitalisme ini menaturalisasi bahkan menegasikan pengalaman orang-orang selain kulit putih sehingga timbul proses penyempitan konsep gender menjadi kontrol atas jenis kelamin yang bersifat heteroseksual di semua bidang kehidupan.

Dalam kontrol atas jenis kelamin, karakteristik feminin berlebih diasosiasikan dengan perempuan dan dijadikan standar. Perempuan adalah sosok rapuh, lemah baik secara tubuh maupun pikiran, terasing di ruang privat, dan pasif secara seksual.

Karakteristik feminin terutama kelemahan pikiran dan tubuh kata Lugones secara spesifik dikonstruksi untuk perempuan borjuis kulit putih yang sengaja didomestifikasi oleh laki-laki kulit putih agar mereka diasingkan dari otoritas kolektif, produksi (termasuk produksi pengetahuan), dan sumber daya. Walau ditujukan untuk perempuan borjuis kulit putih, sayangnya karakteristik ini melukai lebih dalam perempuan kulit berwarna dan pada mereka yang tidak bisa diidentifikasi dalam gender biner.

Ini karena kata Lugones, dalam dimensi kolonialisme kulit putih mereka dicirikan dengan agresi, penyimpangan seksual, bahkan dianggap sebagai binatang. Parahnya lagi, walaupun feminisme kulit putih datang untuk menentang diskriminasi sistem gender, perjuangan mereka tebang pilih. Sesuai namanya, feminisme mereka cuma hadir untuk sesama saudara perempuan kulit putih bukan untuk semua perempuan. Akibatnya, eksistensi perempuan kulit berwarna dan mereka dengan keragaman identitas gender terus menerus disangkal bahkan mengalami dehumanisasi lewat sistem ketinggalan zaman.

Dalam olahraga elite, jauh sebelum Khelif, sistem ini telah menyabotase karier atlet perempuan kulit berwarna. Pelari India, Santhi Soundarajan pada Asian Games 2006 menjalani tes jenis kelamin dan karena hasilnya mengindikasikan Soundarajan tidak memiliki karakteristik seorang perempuan, Dewan Olimpiade Asia mencabut medali perak yang ia menangkan dalam lomba lari 800 meter. Setelah itu, Federasi Atletik India melarangnya untuk bertanding hingga ia mencoba bunuh diri setelah pemberitaan media tentang diskualifikasinya.

Tiga tahun berselang, pada 2009 IAAF mendiskualifikasi pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, dengan alasan kadar testosteronnya terlalu tinggi. Belakangan terungkap bahwa badan-badan atletik memaksanya untuk mengonsumsi obat-obatan yang secara medis tidak diperlukan untuk menurunkan kadar testosteronnya agar ia dapat terus berkompetisi.

Setelah didiskualifikasi Semenya membawa kasusnya ke Pengadilan Arbitrase Olahraga Internasional pada 2019, namun sayangnya ia kalah dan tidak dapat berkompetisi di Olimpiade Tokyo 2020. Menurut dokumen pengadilan yang dilaporkan oleh The Associated Press, World Athletics berargumen keras bahwa Semenya “secara biologis adalah laki-laki.”

Pelari cepat India, Dutee Chand juga menghadapi hal yang sama. Namanya dicoret dari Pesta Olahraga Persemakmuran 2014 setelah adanya laporan tentang peningkatan kadar testosteron. Chand kemudian menjalani serangkaian tes dan ia membawa federasi atletik internasional ke pengadilan, menentang peraturan yang memberlakukan batas kadar testosteron alami atlet perempuan.

Dari Khelif hingga Chand, kita semua bisa melihat benang merahnya. Persis seperti apa yang dikatakan oleh antropolog medis Danyal Kade Doyle Griffiths, profesor di City University of New York, ini adalah contoh nyata dari misogini, rasisme, dan transfobia. 

Dalam wawancara bersama Public Broadcasting Service awal Agustus lalu, Griffiths bilang perempuan kulit berwarna hampir selalu menjadi sasaran stereotip yang menggambarkan mereka tidak cukup feminin, terlalu berotot, mengintimidasi atau maskulin. Jika seorang atlet perempuan tidak sesuai dengan standar-standar kulit putih dan kebarat-baratan itu, mereka pasti akan menghadapi pertanyaan dan tuduhan yang mampu mendiskreditkan pencapaian mereka.

Dalam wawancara yang sama Payoshni Mitra, direktur Pusat Olahraga dan Hak Asasi Manusia, sebuah organisasi HAM yang berbasis di Swiss, menyayangkan pelanggengan diskriminasi lewat tes kelayakan jenis kelamin. Menurutnya, hal ini sudah ketinggalan zaman dan dunia olahraga harus mengubahnya.  

“Olahraga sangat Eurosentris—pendekatannya belum tentu global. Kita sudah harus menerima perempuan dalam segala keragamannya. Sayang ini belum kita lihat,” kata Mitra.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *