Culture

Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur

Inilah ceritaku bagaimana hidup sebagai Tionghoa keturunan Indonesia Timur dan merayakan Imlek setiap tahunnya.

Avatar
  • February 10, 2024
  • 2 min read
  • 636 Views
Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur

“Eh, ini keluarga dari mana nih?”

Guyonan seperti itu hampir selalu aku terima setiap perayaan imlek. Saat berkumpul dengan keluarga Mama, aku dan kakak perempuanku memang terlihat paling berbeda. Kulit kami lebih gelap, bahkan mungkin tak terlihat ada darah Tionghoa dalam diri kami. 

 

 

Aku sendiri lahir dari keluarga campur. Mama berdarah Tionghoa sedangkan Papa berasal dari Maluku Utara. Banyak orang kaget saat tahu Mamaku Tionghoa, katanya, mukaku seperti orang Jawa.

Menjadi anak dari kawin campur kadang membuatku punya krisis identitas. Saat sedang ngumpul dengan keluarga Mama aku merasa “I dont belong there”, di sisi lain, saat kumpul di keluarga Papa pun aku juga merasa demikian. 

Baca juga: 2024 Tahunnya Shio Naga Kayu, Apa Saja yang Harus Kamu Tahu

Mama sendiri saat memilih memasukkan aku ke salah satu sekolah swasta berbasis Kristen, di mana sebagian besar anak-anak keturunan Tionghoa sekolah di sana. Selama sekolah aku merasa dipandang berbeda. Sampai akhirnya saat SMP Mama mencoba memasukkanku ke sekolah negeri.

Mungkin karena mukaku terlihat “Jawa”, di sini aku merasa lebih bisa beradaptasi. Tapi, di sisi lain, sekolah di negeri juga menyadarkanku soal stereotip dan rasisme yang disematkan pada orang Tionghoa.

Temanku pernah mengatakan bahwa orang-orang keturunan Tionghoa itu anjing dan cuma bisa mengeruk keuntungan. Di sana aku kaget sekali, tapi aku hanya bisa diam saja karena takut dipandang berbeda jika mereka tahu Mamaku Tionghoa. 

Di momen ini juga aku jadi paham, kenapa banyak orang Tionghoa biasanya menyekolahkan anaknya di swasta seperti Mama menyekolahkanku dari TK sampai SD. Mama sendiri cerita sempat takut saat akhirnya memutuskan agar aku masuk negeri.

Baca Juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia

Orang sering kali berkomentar bahwa orang-orang Tionghoa itu eksklusif karena hanya mau bersekolah dan berkumpul dengan “sesamanya”, tapi aku jadi paham bahwa ada trauma kolektif juga di sana. Omku misalnya, lebih memilih tinggal di apartemen karena trauma saat kerusuhan 1998.

Trauma kolektif seperti itu kadang diturunkan pada anak-anak. Aku tahu beberapa keluarga yang bahkan tak memperbolehkan anaknya menikah dengan yang bukan Tionghoa. Mungkin ini juga yang jadi alasan kenapa aku sering merasa dipandang “berbeda”.

Tumbuh menjadi anak campuran pada akhirnya membuat aku paham bahwa akar dari rasisme itu juga kompleks. Tapi, terlepas dari itu, aku hanya berharap bahwa apa pun identitasku, aku hanya berharap orang bisa saling memperlakukan orang lain dengan baik. Toh, kita semua orang Indonesia dan berhak hidup nyaman di negara sendiri.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *