Nasib di Ujung Tanduk Para Pekerja Seni Inisiasi Gerakan ‘Tolak Gambar AI’
Awal tahun 2024, pekerja seni di Indonesia menginisiasi gerakan ‘Tolak Gambar AI’ sebagai imbas dari perkembangan AI yang dinilai tidak beretika
Falcon Pictures banjir kritikan tak lama sesudah mengunggah poster film Pasutri Gaje yang akan tayang 2024 ini. Bukan dibuat langsung dari Annisa Nisfihani, selaku creator aslinya, Falcon Pictures justru menggunakan bantuan Artificial Intelligence (AI) untuk membuat poster press conference film tersebut.
Banyak warganet yang di antaranya pekerja seni menilai tindakan Falcon Pictures tidak etis bahkan semacam ironi. Film yang diadaptasi dari karya tangan pekerja seni Indonesia malah ternodai oleh teknologi yang dinilai banyak “mencolong” karya-karya pekerja seni dunia sebagai data set mereka.
Tak cukup kejadian ini saja, para pekerja seni Indonesia kemudian semakin dibuat gerah dengan kampanye politik gemoy Prabowo-Gibran. Pasangan calon (paslon) nomor urut dua ini mengandalkan AI untuk membuat ilustrasi gemoy. Ilustrasi ini jadi bahan kampanye, dicetak menjadi baliho dan poster yang menghiasi berbagai sudut kota di seluruh penjuru Indonesia.
Para pekerja seni mengkritik praktik massal penggunaan AI ini. Jemima, 24 ilustrator berdomisili di Jakarta misalnya mengatakan penggunaan AI untuk ilustrasi paslon nomor urut dua ini memperlihatkan betapa enggak dihargainya para pekerja seni oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Ia juga bilang momen ini juga jadi pengingat bahwa AI telah sukses merenggut perhatian dan apresiasi dari pekerja seni.
Mendapat berbagai kritikan pedas dari pekerja seni, tim Relawan Gatot Kaca Nasional lalu menyelenggarakan kompetisi desain ‘Gemoy, Bocil dan Bobby The Cat’. Dikutip dari Republika, kompetisi ini jadi cara mereka memberikan kesempatan para pekerja seni untuk berkarya. Namun nampaknya, itikad baik ini saja tak cukup karena nyatanya Prabowo-Gibran tidak memberikan pernyataan tegas soal penggunaan AI secara komersial. Hal ini pun terlihat dari masih digunakannya ilustrasi AI gemoy sebagai bahan kampanye hingga kini.
Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Teknologi Deepfake
Gerakan #TolakGambarAI
Tak berapa lama dari kehebohan penggunaan AI oleh Falcon Pictures dan Prabowo-Gibran, di X (dulu Twitter) sebuah gerakan menolak teknologi AI pun muncul. Gerakan ini adalah #TolakGambarAI. Pertama kali viral di X (dulu Twitter) pada 2 Januari lalu, gerakan #TolakGambarAI diinsiasi oleh akun @edenvychrome. Dalam poster yang diunggah, @edenvychrome menyampaikan poin-poin penting tentang tujuan, tuntutan hingga bagaimana para pekerja seni bisa terlibat dalam gerakan ini.
Magdalene berkesempatan mewawancarai otak dibalik #TolakGambarAI. Mereka adalah Envy, 22 dan ‘Key’ (bukan nama asli) 24 yang masing-masing memulai karier menjadi ilustrator sejak 2020 dan 2018. Keduanya mengatakan #TolakGambarAI adalah wujud protes dalam merespon upaya penormalisasian dan komersialisasi penggunaan AI generated image.
Mereka menilai teknologi terbukti mengeksploitasi karya seniman di seluruh dunia. AI generated image dalam penjelasan Ayu Purwarianti selaku Co-founder sekaligus Chief Scientist of Text Prosa.ai kepada Magdalene menggunakan model pembelajaran mesin, khususnya jaringan saraf tiruan yang dilatih untuk memahami dan menerjemahkan masukan teks ke dalam bentuk visual yang baru. Dalam model pembelajaran mesinnya, AI ini dilatih dari kumpulan data image domain publik yang bersumber dari internet.
Dengan model pembelajaran mesin seperti ini, Envy dan Key pun menyatakan maka secara langsung tanpa sepengetahuan, consent, kompensasi, hingga hak cipta pekerja seni telah sepenuhnya dilanggar. Pernyataan keduanya bukan omong kosong belaka. Kaloyan Chernev, pendiri Deep Dream Generator (DDG): AI Image Generator yang dikutip oleh The Guardian mengatakan kumpulan data image mereka “sebagian besar gambar domain publik yang bersumber dari internet”. Sayangnya database ini juga sering kali menyertakan banyak gambar berhak cipta.
Envy dan Key pun berbagi cerita rekan sesama pekerja seni, DedRoll yang karyanya masuk dalam datasetLaion 5B (kumpulan data terbuka berskala besar untuk melatih model teks gambar) tanpa sepengetahuan dan konsennya.
Tak hanya itu, menurut penuturan keduanya banyak pekerja seni yang karyanya juga dijadikan data training oleh User AI untuk model AI yang spesifik menghasilkan gambar dengan artstyle atau gaya ilustrasi yang khas milik Illustrator tersebut tanpa sepengetahuan, konsen dan kompensasi ke illustrator yang bersangkutan. AnooshaSyed, pekerja seni berdarah Pakistan jadi salah satu korbannya.
“Ada juga website seperti Civit AI, platform AI yang menyediakan model AI stable diffusion dengan berbagai artstyle milik seniman yang spesifik, khusus tanpa sepengetahuan mereka,” tambah Envy dan Key.
Penggunaan teknologi yang dinilai eksploitatif dan tidak etis ini membuat gelombang penolakan mulai massif terjadi. Di luar negeri, pada 2022 penolakan ini hadir lewat tagar Say No To AI Art pada 2022. Tapi di Indonesia, gaungnya mulai terdengar kuat dan jelas baru pada 2023 walau menurut penurutan Envy dan Key ilustrator lokal selalu aktif untuk menyuarakan eksploitasi sepihak teknologi ini.
“Di Indonesia ini mulai santer didengar sejak tahun lalu karena kami melihat betapa masifnya penggunaan teknologi ini. Beberapa contohnya seperti kontroversi penggunaan gambar AI dalam iklan Indomie, hingga penggunaan artwork AI dalam live action pasutri gaje,” jelas mereka.
Maka dari itu, #TolakGambarAI digunakan oleh oleh mereka, illustrator, sebagai tempat menyuarakan keresahan agar dapat didengar secara luas. Ketika merancang gerakan ini Envy dan Key menambahkan, keduanya juga seringkali bertukar pikiran dengan beberapa ilustrator profesional baik yang berkarir di kancah internasional maupun lokal yang memiliki keresahan dalam hal ini.
Semuanya mereka lakukan salah satunya supaya pemerintah bisa mulai mendorong mendukung industri ilustrasi dan sejawatnya. Ini supaya masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai profesi mereka sebagai pekerja seni.
Baca Juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan
Dihajar AI di Tengah Ekosistem yang Tak Kunjung Menghargai Pekerjanya
Penolakan para pekerja seni terhadap AI tak bisa lepas dari makna seni itu sendiri bagi mereka. Jemima mengatakan ide yang dalam merealisasikan suatu karya berkaitan erat dengan pengalaman si pekerja sendiri sebagai manusia. Mereka tak asal buat karya. Pengalaman masa kecilnya, latar belakang kultural, pendidikan, hingga cara pengasuhan orang tua bermain dalam guratan karya mereka.
Jemima pun memberikan contoh Yayoi Kusama. Seniman asal Jepang ini terkenal lewat polkadotnya. Sepanjang hidupnya, Yayoi Kusama menunjukkan gejala psikosis dan skizofrenia yang menyebabkan kecemasan dan paranoia. Salah satu gejala umum dari kondisi ini adalah proyeksi pikiran. Dengan kata lain, orang tersebut bingung apakah pikirannya itu miliknya sendiri atau ditempatkan di sana oleh orang lain.
Yayoi memasukkan ketakutan akan disintegrasi ini ke dalam proses kreatifnya sebagai sarana berkomunikasi dengan semua orang, bukan melepaskannya. Dengan menanamkan perasaan menakutkan ini ke dalam gambar, dia menciptakan ruang seni terapeutik untuk dirinya sendiri.
Proses kreatif yang berasal dari pengalaman pribadi inilah yang membuat AI menjadi seperti “musuh bersama” para pekerja seni. Teknologi ini seakan telah mengkhianati proses menjadi manusia. Selain itu, Ranituran 30, menambahkan penolakan terhadap penyalahgunaan karena dia dan banyak pekerja seni lainnya, seni visual adalah alat seni untuk berkomunikasi yang sebelumnya tak bisa disampaikan dengan baik lewat lisan maupun tulisan. Sedangkan untuk menggunakan AI generated image, seseorang tetap harus mengolah gagasan atau idenya tetap dalam tulisan yang kemudian “diterjemahkan” oleh teknologi ini.
Sayangnya pemaknaan soal seni yang diungkapkan Jemina dan Ranituran cuma bisa jadi idealisme belaka. Puty mengatakan masyarakat Indonesia lebih cenderung melihat hasil karya dalam hal ini ilustrasi atau gambar melalui kacamata komoditas komersial, untung dan rugi saja. Ini kenapa banyak industri bahkan tokoh politik berduyun-duyun memakai AI. AI menawarkan efisiensi baik dalam segi biaya dan waktu. Harganya lebih murah dan waktu pengerjaannya lebih cepat.
Hal ini diperparah karena pemerintah Indonesia belum punya perhatian khusus. Jangan dulu berbicara soal AI, pemerintah kata Puty bahkan masih kerap tertangkap basah menjiplak karya pekerja seni atau menyomot karya mereka tanpa memberikan kredit. Jika berbicara soal pekerja seni pun, pemerintah masih terjebak retorika yang sama.
“Kalau ngomongin pekerja seni selalu dikaitkan dengan ekonomi kreatif, harus ada ekonominya, harus ada nilai komoditasnya baru dihargai,” kata Puty. Tidak mengherankan kemudian, imbuh Puty ekosistem para pekerja seni jauh dari kata mensejahterakan.
“Artis di Indonesia udahunderpaid and undervalued karena tidak dihargai karyanya. Mereka cuma dilihat sebagai komoditas. ‘Ah gambar kaya gitu doang mahal’ ungkapan semacam ini kan masih common. Jadinya dengan ada AI ekosistemnya semakin tersudutkan. Memengaruhi kesempatan kesempatan para pekerja seni untuk tumbuh juga apalagi yang belum punya brand kuat sebagai artist,” ujarnya.
Senada dengan Puty, Envy dan Key juga mengungkapkan pekerja seni sering kali disepelekan dan dianggap tidak layak untuk dihargai sesuai dengan nilai dari karyanya karena terlihat mudah untuk dibuat. Terlebih lagi kata mereka, lantaran status “kreator” atau pembuat karya, para pekerja seni untuk beberapa industri seperti komik atau webtoon, pekerja seni tidak mendapatkan hak-hak dasar pekerja pada umumnya yang sudah termaktub dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Nasib pekerja seni kini tengah diujung tanduk. Ayu sebagai profesional di bidang AI mengungkapkan, kendati kemajuan AI memang tak bisa dibendung, manusia bisa membuatnya lebih beretika. Ia kemudian memberi contoh European Union atau EU yang menyatakan bahwa untuk perusahaan generatif AI baik teks, gambar, suara harus transparan membuka informasi data mereka.
Mereka harus mengungkapkan bahwa konten yang mereka hasilkan adalah hasil AI. Mereka harus menerbitkan ringkasan data berhak cipta yang digunakan untuk pelatihan mesin mereka dan merancang model untuk mencegah AI menghasilkan konten ilegal.
Baca Juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Selain itu, High-impactgeneral-purpose AI models seperti GPT-4 yang diciptakan OpenAI harus menjalani evaluasi menyeluruh dan setiap insiden serius harus dilaporkan ke EU. Ayu bilang sayangnya pemerintah Indonesia belum pada tahap seserius ini dalam meregulasikan peraturan terkait AI.
“Kita lihat saja bagaimana walaupun Kominfo sudah menerbitkan peraturan soal PSE atau Penyelenggara Sistem Elektronik, tetapi sampai saat ini ChatGP (AI yang cara kerjanya memakai format percakapan) belum resmi terdaftar sebagai PSE Lingkup Privat. Kalau dia enggak terdaftar, pemerintah harusnya kalau konsisten tidak mengizinkan mereka beroperasi,” tutur Ayu.
Buat Ayu, pekerja seni tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian. Menyikapi penyalahgunaan AI ini tak bisa dari bawah alias dari pekerja seninya. Ia bilang misalnya tak bisa pekerja seni dibebankan sepihak untuk mendaftarkan hak cipta karyanya karena bisa jadi hak cipta ini juga tak akan banyak berpengaruh mengingat pemerintah sendiri tak punya pernyataan yang jelas terkait larangan atau transparansi data perusahaan AI.
Karena itu menurut Ayu, satu-satunya jalan keluar yang harus dilakukan adalah menciptakan ekosistem baru buat para pekerja seni agar tak tergerus perkembangan zaman. Ayu dalam hal ini pun mendorong pemerintah untuk berperan aktif memberikan perlindungan.
“Nah, kita harus define dulu objek dalam ekosistem apa saja, setelah itu define fungsi ekosistem, termasuk harapan dari setiap objeknya apa, kegiatan dari setiap objeknya apa, termasuk penyiapan talenta AI sebagai bagian dari dari ekosistem. Ini harus menguntungkan semua pihak. Artinya ketika ada yang terancam, pemerintah punya strategi misalnya memberikan pelatihan buat up upskilling and reskilling. Jadi beneran disiapkan dan dilindungi,” jelas Ayu.
Pembuatan ekosistem ini lebih lanjut kata Ayu juga pastinya berjalan beriringan dengan penyusunan regulasi. Jangan sampai pemerintah mentok pada etika AI saja, tetapi regulasi dengan sanksi yang jelas tidak secepatnya dibuat. Pernyataan Ayu pun tak ayal merupakan bagian dari tuntutan serta harapan besar bagi Envy, Key, dan teman-teman pekerja seni lainnya. Bahwasannya pemerintah bisa mulai mendukung dan memberikan perhatian pada industri ilustrasi dan sejawatnya lewat edukasi, pengkajian mesin AI, dan regulasi agar nantinya masyarakat bisa lebih menghargai profesi mereka sebagai pekerja seni.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari